Happiness is only real when shared.
-Into
The Wild-
***
Terlalu lama. Catper ini
nongkrong terlalu lama di kolong leptop saya. Sampai berdebu, berkalang jaring
laba-laba. Yang nanyain kapan catatan ini terbit sampai sudah lelah bertanya.
Maafkan. Kakak sibuk :)))
Berselang hanya dua minggu dari
pendakian Gunung Ungaran, saya berencana *lagi, rencana dadakan :p* mendaki
gunung cantik di kawasan DataranTinggi Dieng, Gunung Prau. Gunung dengan
ketinggian 2565 meter diatas permukaan laut ini merupakan puncak tertinggi di kawasan Dataran Tinggi Dieng. Karena
merupakan gunung tapal batas antara tiga kabupaten yakni Kabupaten Batang,
Kabupaten Wonosobo, dan Kabupaten Kendal maka terdapat tiga jalur pula yang
lazimnya digunakan para pendaki: jalur Pranten di Batang, jalur Patak Banteng
di Wonosobo dan jalur Kenjuran di Kendal. Dan karena salah satu partner mendaki
kali ini berasal dari kota Wonosobo, jadilah saya bersama teman-teman *yang
berhasil diajak mendaki dadakan* sepakat berangkat dari jalur Patak Banteng di
Wonosobo.
8 April 2015
Pukul delapan pagi. Peserta dari
Jogja yaitu saya, Fitria, dan Mba Nurul sudah duduk manis di mobil travel.
Carrier kami sudah ditata rapi di bagian paling belakang mobil. Kami siap
berangkat. Bismillah.
Perjalanan seringkali menawarkan
banyak pilihan. Ikut mengamati lalu lalang jalanan, ngobrol dengan teman
seperjalanan, sibuk dengan pikiran sendiri, atau juga kombinasi dari ketiganya.
Setidaknya bagi saya, perjalanan hampir selalu mampu menyediakan waktu yang
cukup lama untuk berpikir. Tentang beberapa hal, banyak hal, atau sekedar
refleksi yang telah lampau. Sering baper sih jadinya. Ah sudahlah.
Tengah hari kami sudah sampai di
Alun-alun Wonosobo, tempat yang kami sepakati dengan Adhi –peserta Wonosobo-
sebagai tempat bertemu. Dalam pandangan
saya, Alun-alun Wonosobo menjadi tempat yang benar-benar mampu digunakan
masyarakat Wonosobo pada khususnya. Selain karena menyediakan lapangan yang
cukup luas untuk bermain bola ataupun kasti, terdapat pula di sudut lapangan
sebuah area untuk bermain basket juga voli. Lapangan rumput ini dikelilingi
semacam trotoar yang didesain tersusun oleh batu-batu kecil agar tidak licin
untuk mereka yang ingin jalan-jalan, lari atau bersepeda. Dan sisi paling luar
Alun-alun terdapat pepohonan sebagai perindang dengan bangku-bangku duduk
terbuat dari semen atau pipa-pipa yang disusun. Alun-alun Wonosobo dikelilingi
bangunan dengan nilai fungsi yang sangat strategis. Terdapat kantor
pemerintahan, koramil, sekolah, taman kota, juga tempat ibadah seperti gereja
dan masjid. Dan disinilah kami, duduk di bangku Alun-alun dekat kolam menanti
Adhi datang. Tapi tak lama berselang, gerimis yang datang perlahan berubah
menjadi deras. Kami berteduh sekenanya.
hujan di Alun-alun Wonosobo |
Belum benar-benar reda ketika
kami bertiga pindah tempat ke masjid dekat Alun-alun untuk menunaikan ibadah
sholat. Menyempatkan untuk ngobrol sana-sini. Jajan jajanan tradisional yang
dijual ibu muda di masjid (mungkin mampir berteduh dan sholat juga). Foto-foto
dan mengamati arsitektur masjid yang beberapa waktu terakhir telah di renovasi.
Adhi belum juga datang. Kami mulai bosan. Belum berada di bosan level pengen
guling-guling di halaman masjid ketika akhirnya sang tuan rumah datang. Setelah
tanya ini itu, protes kenapa lama sekali, Adhi akhirnya mengajak kami jalan.
Makan. Benar, kami lapar.
Setelah mengisi perut kami siap
untuk mencari angkutan umum sebelum benar-benar sore dan angkutan-angkutan itu
lelah. Butuh lebih dari satu jam perjalanan untuk sampai di basecamp Patak
Banteng. Basecamp yang seperti biasanya terletak membaur dengan
rumah-rumah penduduk kaki gunung. Kami
tak berlama-lama. Membayar retribusi dengan fasilitas peta dan tempat leha-leha
lalu berangkat. Menuju senja.
Pukul lima sore lewat. Langit
masih terang. Menginjak anak-anak tangga di awal perjalanan dan di belakang
punggung kami telah tergelar lanskap
pemandangan rumah-rumah penduduk kaki gunung yang memadat. Seperti berumpun
sekaligus tersebar. Dikelilingi pegunungan dieng seperti teriosolasi. Isolasi
yang indah dan menyejukkan. Pendar matahari berseling dengan awan membuat mata
mengerjap. Menjelang senja.
rumah penduduk |
Stop tengok belakang. Di depan
ada pemandangan luar biasa. Perbukitan dengan kebun-kebun sayur milik warga
yang tersusun rapi. Jalan setapak berbatu menjadi akses bagi petani untuk menaikkan
pupuk atau membawa hasil panen dengan kendaraan bermesin. Menjadi akses pula
bagi kami menuju Pos 1, Sikut Dewo. Setengah enam lewat. Dan langit masih
cerah. Masih menjelang senja.
menjelang senja |
pos 1 |
Belok kiri setelah plang Pos 1,
memasuki area tanah. Kami menyaru dengan kebun sayur. Mengamati bayangan
sendiri yang jatuh tetap ke kebun sayur. Kurang dari setengah jam kami pun
sampai di Pos 2, Canggal Walangan. Jam enam kurang sedikit. Hampir senja.
bayangan kami |
pos 2 |
Bukit tak lagi sehijau saat
berangkat tadi. Menggelap. Warna langit berubah. Senja perlahan lahir. Biru
langit menjadi lebih pekat. Semburat orange memerah. Awan berarak mencoba
menutupi megahnya langit senja itu. Malu-malu. Kami mencoba pergi ke tempat
yang lebih tinggi untuk menangkap sedikit saja semburat senja dari sela pepohonan
yang mulai merapat seperti barisan tentara penjaga. Cekrek. Senja.
senja |
Gelap. Headlamp dinyalakan. Tak
lama lagi, kata Adhi. Ah, toh Adhi selalu berkata begitu tiap kali kami mendaki
bersama. Dan artinya bisa bervariasi. Bisa bermakna satu jam, setelah pohon
cantigi yang ke-berapa puluh, atau setelah memanjat tebing batu. Pokoknya
menyesuaikan saja deh. Jangan terlalu percaya dengan ucapan tak-lama-lagi. Eh
tapi beneran. Tiba-tiba kami sampai di puncak. Entahlah jam berapa. Tujuh
kurasa. Langit sudah gelap. Senja sudah lewat.
Seperti prediksi, tak ramai
layaknya weekend. Ini sebabnya, saya membuat rencana ini di tengah pekan. Saat
orang-orang kebanyakan sibuk-sibuknya di kantor, saya kelayapan. Saat orang
liburan, saya selonjoran di rumah. Dingin menusuk-nusuk seperti memori buruk
*halah.apalah ini.analogi semena-mena*. Adhi memilih lokasi. Bertiga yang lain
menyetujui. Bergegas membongkar tenda kuning baru milik Adhi. Bekerja sama
membangun tenda. Melawan dingin yang menusuk-nusuk nyeri. Berusaha seimbang
dengan angin yang menderu-deru. Hap-hap. Tenda pun berdiri dengan gagah.
Buru-buru kami memasukkan semua tas dan diri kami masing-masing. Terlalu
menyiksa untuk berada di luar lama-lama. Menjelang musim kemarau. Langit sudah
gelap. Kerlip lampu jauh di bawah sana menandakan kehidupan. Bulan sebentar
lagi muncul. Senja sudah jauh.
Masih terlalu awal untuk disebut
malam. Kami menyalakan kompor gas portable, menjerang air, membuat minuman
hangat, memasak, mengeluarkan cemilan, dan kartu keramat. UNO. Menghangatkan
diri dan hati. Kemudian sesuatu yang besar dan berwarna merah menyembul
terlihat dari balik pintu tenda yang tidak tertutup. Bulan penuh. Berwarna
merah. Benar-benar merah. Melintas ingatan pada beberapa hari yang lalu saat
menatap gerhana bulan secara langsung. Betapa yang penuh bisa menjadi gelap
total. Cekrek. Cekrek. Kamera tidak memadai, Kapten. Oke, pasrah saja. Merekam
lewat mata. Menyempurnakan senja.
itu bulan, ya |
9 April 2015
Selamat pagi, dari puncak Gunung
Prau.
Selamat ulang tahun, Fitria.
Pagi menjelang. Matahari belum
datang. Semburatnya sudah. Mewarnai langit di sela gunung-gunung yang
berjajar-jajar. Merapi, Merbabu, Sindoro, Sumbing, dan sederet pegunungan
Dieng. Ah, bukankah itu Lawu? Astaga. Ini benar-benar luar biasa. Sempurna.
Biru beradu dengan kuning orange
dan merah. Ah silakan saja sebut warnanya. Ini terlalu indah untuk digambarkan
dengan kata-kata. Dingin masih menggigit. Lampu kotadi bawah sana belum padam
seluruhnya. Cekrek. Cekrek. Takut kehilangan momen. Momen yang sebanding dengan
senja.
Kami mendaki bukit tetangga.
Mencoba menangkap sisi lain. Pukul enam lewat satu atau dua menit. Matahari
malu-malu terbit, menghangat. Mulai menjatuhkan
bayangan. Bulan penuh masih nampak. Perlahan tapi pasti bergeser. Mempersilakan
partner menggantikan. Sungguh Dia sebaik-baik Perencana. Bunga daisy merekah
anggun menyisakan tetes embun di ujung daun.
Puas menatapi sekumpulan bunga
daisy yang tumbuh liar, mandi cahaya matari pagi dan tentu saja pepotoan, kami
kembali ke tenda. Mengisi agenda pagi. Memasak. Tapi sebelumnya, karena hari
ini hari ulang tahun Fitria, saya telah dengan sengaja membawa kado, juga kado
titipan dari teman kami yang lain, teman kesayangan. Spesial bukan, ulang tahun
dengan kado lanskap dari puncak Gunung Prau. Selamat berbahagia, Fit :D.
bunga daisy |
Beberapa kali bersama, membuat
kami terbiasa. Adhi adalah penentu menu. Mba Nurul penjaga nutrisi. Saya sama
Fitria mah apa. Bantu sana sini saja. Icip sana sini :))). Penggembira ketika
Adhi keukeuh membuang batang brokoli dan Mba Nurul berkeras mempertahankannya.
Seru sekali. Pukul delapan lewat lima belas menit.
“ Kalsiumnya banyak,” kata Mba
Nurul mencoba memberi pemahaman nutrisi yang benar.
“ Tapi nggak enak,” Adhi
berkeras.
“ Ya udah, nanti yang makan
batangnya Mba Nurul aja,” Mba Nurul mencoba mengalah tapi tetap pada pendirian.
“ Oke.”
Pertunjukan selesai. Masak
dilanjut. Penghuni tenda tetangga kadang lewat dan bahkan berkunjung, penasaran dengan yang kami lakukan. Salam
sapa obrol dan bahkan saling meledek pun mengalir begitu saja, hangat. Gunung,
masih selalu begitu. Menawarkan keakraban yang sudah mulai mahal di perkotaan
padat penduduk. Dan beberapa saat kemudian, makanan pun siap. Saatnya sarapan.
Cekrek. Foto bak keluarga sehat nan gembira dulu sebelum adegan rebutan tempe
goreng dimulai. Terima kasih. Dan bahkan sarapan saja bisa seseru itu bersama
kalian :)
Dengan alasan memberi kesempatan
pada organ-organ pencernaan untuk bekerja, kami mengizinkan tubuh kami
bermalas-malasan di tenda. Mengistirahatkan tungkai, otak, dan hati dari segala
pelik. Menyenandungkan musik kebebasan. Menyeimbangkan diri dengan alam.
Mengisi ulang energi dan semangat.
Pukul sepuluh lewat ketika kami
mulai memberesi peralatan. Perlahan carrier mulai gembul terisi lagi. Dan
pelataran bekas tenda kami berdiri pun bersih. Ah, tenda tetangga pun mulai
berkemas. Obrol sana sini. Bertemu pula dengan tiga orang yang tidak lagi muda
dan tidak membawa carrier atau apapun yang menunjukkan mereka hendak camping
atau mendaki. Hanya seperti jalan-jalan santai di gunung. Bapak-bapak ini
rupanya sedang kangen gunung. Kurasa mereka pro di jamannya. Kami pun sepakat
untuk turun gunung bersama. Menanti mereka selesai packing kemudian foto
bersama. Lucu ketika menyadari salah satu anggota tenda tetangga memakai cincin
yang sama persis dengan milik Mba Nurul. Mungkin mereka anak yang tertukar,
atau kembar yang terpisah. Ah, sudahlah. Sebaiknya jangan diteruskan. Khawatir
catper ini akan berakhir seperti sinetron Uttaran.
bersama penghuni tenda tetangga |
yang (tidak) tertukar |
Sebelas tiga puluh sekian ketika
kami mulai bergerak turun. Menjelang tengah hari. Bergerak mendekati senja. Bergerak
menangkap senja di tempat lain. Selamat berburu senja, kalian :)
pulang |
PS: Hampir setahun. Dan catper
ini akhirnya rampung dibuat. Saya kembali menulis. Terima kasih untuk yang
setia menanti catatan ini. Juga untuk yang membuat saya harus kembali menulis
dan menyibukkan diri.
![]() |
kami, berfoto dari Puncak Prau |
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus