Kamis, 17 Maret 2016

kami dan Prau



Happiness is only real when shared.

-Into The Wild-

***
Terlalu lama. Catper ini nongkrong terlalu lama di kolong leptop saya. Sampai berdebu, berkalang jaring laba-laba. Yang nanyain kapan catatan ini terbit sampai sudah lelah bertanya. Maafkan. Kakak sibuk :)))

Berselang hanya dua minggu dari pendakian Gunung Ungaran, saya berencana *lagi, rencana dadakan :p* mendaki gunung cantik di kawasan DataranTinggi Dieng, Gunung Prau. Gunung dengan ketinggian 2565 meter diatas permukaan laut ini merupakan puncak tertinggi  di kawasan Dataran Tinggi Dieng. Karena merupakan gunung tapal batas antara tiga kabupaten yakni Kabupaten Batang, Kabupaten Wonosobo, dan Kabupaten Kendal maka terdapat tiga jalur pula yang lazimnya digunakan para pendaki: jalur Pranten di Batang, jalur Patak Banteng di Wonosobo dan jalur Kenjuran di Kendal. Dan karena salah satu partner mendaki kali ini berasal dari kota Wonosobo, jadilah saya bersama teman-teman *yang berhasil diajak mendaki dadakan* sepakat berangkat dari jalur Patak Banteng di Wonosobo.

8 April 2015

Pukul delapan pagi. Peserta dari Jogja yaitu saya, Fitria, dan Mba Nurul sudah duduk manis di mobil travel. Carrier kami sudah ditata rapi di bagian paling belakang mobil. Kami siap berangkat. Bismillah. 

Perjalanan seringkali menawarkan banyak pilihan. Ikut mengamati lalu lalang jalanan, ngobrol dengan teman seperjalanan, sibuk dengan pikiran sendiri, atau juga kombinasi dari ketiganya. Setidaknya bagi saya, perjalanan hampir selalu mampu menyediakan waktu yang cukup lama untuk berpikir. Tentang beberapa hal, banyak hal, atau sekedar refleksi yang telah lampau. Sering baper sih jadinya. Ah sudahlah.

Tengah hari kami sudah sampai di Alun-alun Wonosobo, tempat yang kami sepakati dengan Adhi –peserta Wonosobo- sebagai tempat bertemu.  Dalam pandangan saya, Alun-alun Wonosobo menjadi tempat yang benar-benar mampu digunakan masyarakat Wonosobo pada khususnya. Selain karena menyediakan lapangan yang cukup luas untuk bermain bola ataupun kasti, terdapat pula di sudut lapangan sebuah area untuk bermain basket juga voli. Lapangan rumput ini dikelilingi semacam trotoar yang didesain tersusun oleh batu-batu kecil agar tidak licin untuk mereka yang ingin jalan-jalan, lari atau bersepeda. Dan sisi paling luar Alun-alun terdapat pepohonan sebagai perindang dengan bangku-bangku duduk terbuat dari semen atau pipa-pipa yang disusun. Alun-alun Wonosobo dikelilingi bangunan dengan nilai fungsi yang sangat strategis. Terdapat kantor pemerintahan, koramil, sekolah, taman kota, juga tempat ibadah seperti gereja dan masjid. Dan disinilah kami, duduk di bangku Alun-alun dekat kolam menanti Adhi datang. Tapi tak lama berselang, gerimis yang datang perlahan berubah menjadi deras. Kami berteduh sekenanya.

hujan di Alun-alun Wonosobo

Belum benar-benar reda ketika kami bertiga pindah tempat ke masjid dekat Alun-alun untuk menunaikan ibadah sholat. Menyempatkan untuk ngobrol sana-sini. Jajan jajanan tradisional yang dijual ibu muda di masjid (mungkin mampir berteduh dan sholat juga). Foto-foto dan mengamati arsitektur masjid yang beberapa waktu terakhir telah di renovasi. Adhi belum juga datang. Kami mulai bosan. Belum berada di bosan level pengen guling-guling di halaman masjid ketika akhirnya sang tuan rumah datang. Setelah tanya ini itu, protes kenapa lama sekali, Adhi akhirnya mengajak kami jalan. Makan. Benar, kami lapar.

Setelah mengisi perut kami siap untuk mencari angkutan umum sebelum benar-benar sore dan angkutan-angkutan itu lelah. Butuh lebih dari satu jam perjalanan untuk sampai di basecamp Patak Banteng. Basecamp yang seperti biasanya terletak membaur dengan rumah-rumah  penduduk kaki gunung. Kami tak berlama-lama. Membayar retribusi dengan fasilitas peta dan tempat leha-leha lalu berangkat. Menuju senja.
Pukul lima sore lewat. Langit masih terang. Menginjak anak-anak tangga di awal perjalanan dan di belakang punggung kami telah tergelar  lanskap pemandangan rumah-rumah penduduk kaki gunung yang memadat. Seperti berumpun sekaligus tersebar. Dikelilingi pegunungan dieng seperti teriosolasi. Isolasi yang indah dan menyejukkan. Pendar matahari berseling dengan awan membuat mata mengerjap. Menjelang senja.

rumah penduduk

Stop tengok belakang. Di depan ada pemandangan luar biasa. Perbukitan dengan kebun-kebun sayur milik warga yang tersusun rapi. Jalan setapak berbatu menjadi akses bagi petani untuk menaikkan pupuk atau membawa hasil panen dengan kendaraan bermesin. Menjadi akses pula bagi kami menuju Pos 1, Sikut Dewo. Setengah enam lewat. Dan langit masih cerah. Masih menjelang senja.

menjelang senja

pos 1

Belok kiri setelah plang Pos 1, memasuki area tanah. Kami menyaru dengan kebun sayur. Mengamati bayangan sendiri yang jatuh tetap ke kebun sayur. Kurang dari setengah jam kami pun sampai di Pos 2, Canggal Walangan. Jam enam kurang sedikit. Hampir senja.

bayangan kami


pos 2

Bukit tak lagi sehijau saat berangkat tadi. Menggelap. Warna langit berubah. Senja perlahan lahir. Biru langit menjadi lebih pekat. Semburat orange memerah. Awan berarak mencoba menutupi megahnya langit senja itu. Malu-malu. Kami mencoba pergi ke tempat yang lebih tinggi untuk menangkap sedikit saja semburat senja dari sela pepohonan yang mulai merapat seperti barisan tentara penjaga. Cekrek. Senja.

senja

Gelap. Headlamp dinyalakan. Tak lama lagi, kata Adhi. Ah, toh Adhi selalu berkata begitu tiap kali kami mendaki bersama. Dan artinya bisa bervariasi. Bisa bermakna satu jam, setelah pohon cantigi yang ke-berapa puluh, atau setelah memanjat tebing batu. Pokoknya menyesuaikan saja deh. Jangan terlalu percaya dengan ucapan tak-lama-lagi. Eh tapi beneran. Tiba-tiba kami sampai di puncak. Entahlah jam berapa. Tujuh kurasa. Langit sudah gelap. Senja sudah lewat.

Seperti prediksi, tak ramai layaknya weekend. Ini sebabnya, saya membuat rencana ini di tengah pekan. Saat orang-orang kebanyakan sibuk-sibuknya di kantor, saya kelayapan. Saat orang liburan, saya selonjoran di rumah. Dingin menusuk-nusuk seperti memori buruk *halah.apalah ini.analogi semena-mena*. Adhi memilih lokasi. Bertiga yang lain menyetujui. Bergegas membongkar tenda kuning baru milik Adhi. Bekerja sama membangun tenda. Melawan dingin yang menusuk-nusuk nyeri. Berusaha seimbang dengan angin yang menderu-deru. Hap-hap. Tenda pun berdiri dengan gagah. Buru-buru kami memasukkan semua tas dan diri kami masing-masing. Terlalu menyiksa untuk berada di luar lama-lama. Menjelang musim kemarau. Langit sudah gelap. Kerlip lampu jauh di bawah sana menandakan kehidupan. Bulan sebentar lagi muncul. Senja sudah jauh.

Masih terlalu awal untuk disebut malam. Kami menyalakan kompor gas portable, menjerang air, membuat minuman hangat, memasak, mengeluarkan cemilan, dan kartu keramat. UNO. Menghangatkan diri dan hati. Kemudian sesuatu yang besar dan berwarna merah menyembul terlihat dari balik pintu tenda yang tidak tertutup. Bulan penuh. Berwarna merah. Benar-benar merah. Melintas ingatan pada beberapa hari yang lalu saat menatap gerhana bulan secara langsung. Betapa yang penuh bisa menjadi gelap total. Cekrek. Cekrek. Kamera tidak memadai, Kapten. Oke, pasrah saja. Merekam lewat mata. Menyempurnakan senja.

itu bulan, ya

9 April 2015

Selamat pagi, dari puncak Gunung Prau.
Selamat ulang tahun, Fitria.


Pagi menjelang. Matahari belum datang. Semburatnya sudah. Mewarnai langit di sela gunung-gunung yang berjajar-jajar. Merapi, Merbabu, Sindoro, Sumbing, dan sederet pegunungan Dieng. Ah, bukankah itu Lawu? Astaga. Ini benar-benar luar biasa. Sempurna. 


Biru beradu dengan kuning orange dan merah. Ah silakan saja sebut warnanya. Ini terlalu indah untuk digambarkan dengan kata-kata. Dingin masih menggigit. Lampu kotadi bawah sana belum padam seluruhnya. Cekrek. Cekrek. Takut kehilangan momen. Momen yang sebanding dengan senja.

Kami mendaki bukit tetangga. Mencoba menangkap sisi lain. Pukul enam lewat satu atau dua menit. Matahari malu-malu terbit, menghangat.  Mulai menjatuhkan bayangan. Bulan penuh masih nampak. Perlahan tapi pasti bergeser. Mempersilakan partner menggantikan. Sungguh Dia sebaik-baik Perencana. Bunga daisy merekah anggun menyisakan tetes embun di ujung daun. 




























Puas menatapi sekumpulan bunga daisy yang tumbuh liar, mandi cahaya matari pagi dan tentu saja pepotoan, kami kembali ke tenda. Mengisi agenda pagi. Memasak. Tapi sebelumnya, karena hari ini hari ulang tahun Fitria, saya telah dengan sengaja membawa kado, juga kado titipan dari teman kami yang lain, teman kesayangan. Spesial bukan, ulang tahun dengan kado lanskap dari puncak Gunung Prau. Selamat berbahagia, Fit :D. 

bunga daisy

Beberapa kali bersama, membuat kami terbiasa. Adhi adalah penentu menu. Mba Nurul penjaga nutrisi. Saya sama Fitria mah apa. Bantu sana sini saja. Icip sana sini :))). Penggembira ketika Adhi keukeuh membuang batang brokoli dan Mba Nurul berkeras mempertahankannya. Seru sekali. Pukul delapan lewat lima belas menit.


“ Kalsiumnya banyak,” kata Mba Nurul mencoba memberi pemahaman nutrisi yang benar.
“ Tapi nggak enak,” Adhi berkeras.
“ Ya udah, nanti yang makan batangnya Mba Nurul aja,” Mba Nurul mencoba mengalah tapi tetap pada pendirian.
“ Oke.”

Pertunjukan selesai. Masak dilanjut. Penghuni tenda tetangga kadang lewat dan bahkan berkunjung,  penasaran dengan yang kami lakukan. Salam sapa obrol dan bahkan saling meledek pun mengalir begitu saja, hangat. Gunung, masih selalu begitu. Menawarkan keakraban yang sudah mulai mahal di perkotaan padat penduduk. Dan beberapa saat kemudian, makanan pun siap. Saatnya sarapan. Cekrek. Foto bak keluarga sehat nan gembira dulu sebelum adegan rebutan tempe goreng dimulai. Terima kasih. Dan bahkan sarapan saja bisa seseru itu bersama kalian :)


Dengan alasan memberi kesempatan pada organ-organ pencernaan untuk bekerja, kami mengizinkan tubuh kami bermalas-malasan di tenda. Mengistirahatkan tungkai, otak, dan hati dari segala pelik. Menyenandungkan musik kebebasan. Menyeimbangkan diri dengan alam. Mengisi ulang energi dan semangat.

Pukul sepuluh lewat ketika kami mulai memberesi peralatan. Perlahan carrier mulai gembul terisi lagi. Dan pelataran bekas tenda kami berdiri pun bersih. Ah, tenda tetangga pun mulai berkemas. Obrol sana sini. Bertemu pula dengan tiga orang yang tidak lagi muda dan tidak membawa carrier atau apapun yang menunjukkan mereka hendak camping atau mendaki. Hanya seperti jalan-jalan santai di gunung. Bapak-bapak ini rupanya sedang kangen gunung. Kurasa mereka pro di jamannya. Kami pun sepakat untuk turun gunung bersama. Menanti mereka selesai packing kemudian foto bersama. Lucu ketika menyadari salah satu anggota tenda tetangga memakai cincin yang sama persis dengan milik Mba Nurul. Mungkin mereka anak yang tertukar, atau kembar yang terpisah. Ah, sudahlah. Sebaiknya jangan diteruskan. Khawatir catper ini akan berakhir seperti sinetron Uttaran.

bersama penghuni tenda tetangga
yang (tidak) tertukar
Sebelas tiga puluh sekian ketika kami mulai bergerak turun. Menjelang tengah hari. Bergerak mendekati senja. Bergerak menangkap senja di tempat lain. Selamat berburu senja, kalian :)

pulang


PS: Hampir setahun. Dan catper ini akhirnya rampung dibuat. Saya kembali menulis. Terima kasih untuk yang setia menanti catatan ini. Juga untuk yang membuat saya harus kembali menulis dan menyibukkan diri.

kami, berfoto dari Puncak Prau

1 komentar: