Selasa, 15 Januari 2013

sangkaku


sangkaku akan berani
menatap punggungmu menjauh pergi
lalu membiarkan pecah tangis dan caci
kemudian tak peduli

sangkaku akan berani
tanpamu berjalan sendiri
timpang selayak tak berkaki
teramputasi

sangkaku akan berani
membakar puisi cintamu dalam api
menyisakan abu sepi
lalu sendiri

sangkaku akan berani
dan benarlah apa yang disangkakan hati
kemudian aku menari
lalu mati.

Rabu, 09 Januari 2013

menelisik asik kisah pewayangan di Gua Kiskendo dan menyusuri lika liku jalanan Waduk Sermo




Alkisah pada jaman dahulu hiduplah sepasang kakak beradik bernama Mahesasura dan Lembusura. Mereka adalah pemimpin para binatang buas. Mereka hidup di sebuah gua bernama Kiskendo. Tubuh mereka besar, berbadan manusia namun berkepala hewan. Mereka sakti sekali, hingga bila salah satunya mati maka bisa hidup kembali bila dilangkahi oleh saudaranya.

Satu hari Mahesasura bermimpi menikah dengan dewi tercantik di kahyangan yakni Dewi Tara. Dan saat terbangun, Mahesasura menyampaikan mimpinya pada sang adik, Lembusura. Mahesasura hendak mewujudkan mimpinya menjadi kenyataan. Maka berangkatlah keduanya menuju kahyangan untuk melamar Dewi Tara. Tapi apa mau dikata, lamaran Mahesasura ditolak oleh para dewa. Menjadi marahlah Mahesasura, merasa terhina. Mereka pun mengamuk di kahyangan dan berhasil menculik Dewi Tara ke bumi.

Para dewa pun kemudian bermusyawarah agar bisa membawa Dewi Tara kembali ke kahyangan dan membinasakan Mahesasura juga adiknya Lembusura. Maka diputuskanlah mereka akan menggunakan kekuatan kedewaan yang disebut Aji Pancasona. Namun kekuatan itu hanya bisa dipergunakan oleh mereka yang putih hatinya. Maka dipilihlah seorang pertapa suci putra Resi Gotama bernama Subali. Subali pun menyanggupi permintaan para dewa. Bersama adiknya Sugriwa, Subali pun berangkat menuju gua tempat tinggal Mahesasura dan Lembusura.

Sampailah Subali dan Sugriwa di mulut gua. Subali meminta adiknya untuk berjaga di depan gua. Tak lama kemudian keluarlah Subali bersama Dewi Tara. Subali pun hendak masuk lagi ke dalam gua untuk membinasakan Mahesasura  dan Lembusura. Namun sebelum masuk, Subali berpesan kepada Sugriwa.
“ Adikku, tolong jaga Dewi Tara disini. Nanti, bila darah yang keluar dari Gua Kiskendo ini berwarna merah, maka berarti akulah yang memenangkan pertarungan. Namun bila darah yang keluar berwarna putih, maka berarti akulah yang tewas. Bila hal kedua yang terjadi, tutuplah mulut gua ini dengan batu besar dan kembalilah ke kahyangan.”

Subali pun bertarung dengan Mahesasura dan Lembusura. Namun ketika Subali sudah membinasakan salah satunya, mereka dapat hidup kembali setelah dilangkahi oleh saudaranya. Maka Subali pun berfikir untuk membinasakan keduanya bersamaan. Subali kemudian mengubah tubuhnya menjadi besar. Setelah itu Subali memegang kepala Mahesasura dan Lembusura dan saling membenturkannya. Binasalah keduanya secara bersamaan. Dan mengalirlah darah yang bercampur otak berwarna merah dan putih.

Melihat hal itu, Sugriwa mengira kakaknya meninggal bersamaan dengan dua raksasa itu. Maka Sugriwa pun kemudian menutup mulut gua dengan batu besar dan kembali ke kahyangan bersama Dewi Tara. Kedatangan mereka disambut gembira oleh para dewa. Setelah mendengar cerita bahwa Subali meninggal, maka para dewa pun menikahkan adiknya yakni Sugriwa dengan Dewi Tara.

Sementara itu Subali yang berhasil memenangkan pertarungan dan hendak keluar dari gua melihat pintu gua ditutup dengan batu besar. Subali merasa dikhianati oleh adiknya. Menjadi marahlah Subali dan menghancurkan batu itu lalu serta merta menuju kahyangan. Sesampainya di kahyangan, Subali melihat adiknya bersanding dengan Dewi Tara di pelaminan. Bertambah marahlah Subali dan langsung menghajar Sugriwa. Sugriwa tak diberi kesempatan untuk menjelaskan. Dan pertarungan sengit antara kakak beradik itu pun tak terelakkan hingga datanglah ayah mereka, Resi Gotama. Setelah mendengar pengakuan dari Sugriwa, menjadi marahlah Resi Gotama kepada Subali. Menurut Resi Gotama tak ada manusia yang berdarah putih. Maka atas ketakaburannya, Subali pun dikutuk oleh ayahnya sendiri. Sedangkan Sugriwa mendapatkan restu untuk menikah dengan Dewi Tara. Dan setelah menikah, Sugriwa membangun sebuah kerajaan bernama Pancawati di Gua Kiskendo.

***

Kurang lebih begitulah kisah yang berkembang populer tentang Gua Kiskendo, sebuah gua yang berada di Pegunungan Menoreh tepatnya di Desa Jatimulyo, Kecamatan Girimulyo, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta. Berada di ketinggian 1200 mdpl, gua ini cukup populer sebagai obyek wisata dan masih dianggap tempat keramat oleh masyarakat sekitarnya.

Gua inilah yang kami pilih sebagai destinasi untuk mengisi liburan Natal [25 Desember 2012] lalu. Hari masih pagi ketika Kasih, salah seorang sahabatku sejak SMP, datang ke rumahku. Aku belum lagi mandi dan masih asyik bergelung di kasur sambil menonton acara televisi Home Alone. Setelah sehari yang lalu batal kemana-mana disebabkan oleh ketidakjelasan destinasi dan kemacetan parah yang melanda Jogja, hari itu kami memutuskan untuk plesir de Kulon Progo.

Pukul 10.30 kami bergerak meninggalkan rumah. Berbekal info di internet dan bertanya pada kawan yang sudah pernah kesana, kami menyusuri jalan menuju Gua Kiskendo. Tidak terlalu sulit untuk mencapai gua ini. Cukup mencari Jalan Wates di peta, lalu teruslah ke arah barat hingga bertemu pertigaan terminal Ngeplang. Dari pertigaan itu, beloklah ke kanan atau ke arah utara. Susuri saja jalan utama, ikuti papan petunjuk yang ada. Dan voila! Sampailah kami di Gua Kiskendo. Estimasi kami sempurna meleset. Kami memperkirakan butuh waktu 2 jam untuk mencapai Gua Kiskendo. Tapi ternyata cukup 1 jam saja waktu yang dibutuhkan dari rumahku yang berada di sekitar kawasan Godean.

menuju Gua Kiskendo
Setelah memarkir motor, kami pun membeli tiket masuk ke dalam gua. Cukup membayar 2000 rupiah saja dan kami sudah bebas menikmati obyek wisata Gua Kiskendo. Terdapat sebuah relief besar di dekat pintu masuk Gua Kiskendo. Konon relief ini adalah penggambaran kisah pewayangan tentang sejarah Gua Kiskendo.

relief di dekat pintu masuk Gua Kiskendo
Gua Kiskendo adalah gua di bawah tanah, maka sebelum masuk kami pun menyewa sebuah headlamp sebagai sumber penerangan saat berada di dalam gua. Melewati gerbang pintu masuk gua, kami langsung dihadapkan pada anak-anak tangga yang mengarah ke bawah. Di anak tangga yang terbawah sempurnalah di depan sana lorong kegelapan *tsaahh*. 

mulut gua dilihat dari atas
mulut gua dilihat dari bawah
Terdapat semacam path di Gua Kiskendo. Tentu saja ini dibuat untuk memudahkan para wisatawan selama berkeliling di gua. Berbekal headlamp kami pun menyusuri gua. Mengamati dinding dan bagian atas gua. Sedang di bawah kami ada semacam sungai yang airnya sangat jernih.


ngeri juga liat batu di tikungan ini :p
sungai dalam gua
Semelong, jalan tempat keluarnya Subali setelah bertempur
Sekandang, diyakini sebagai tempat bertempurnya Subali dan Mahesasura-Lembusura
Kasih berfoto bersama 'lidah Mahesasura dan Lembusura'
salah satu lorong di Gua Kiskendo
Dirasa cukup mengelilingi seluruh gua, kami pun beranjak keluar. Berkeliling di area di luar gua. Obyek wisata Gua Kiskendo tak hanya menyuguhkan gua sebagai daya tarik wisatawan, namun terdapat pula camping ground juga gardu pandang. Maka kami pun ‘blusukan’ ke semua sudutnya :D

Hari belum lagi sore. Tanggung rasanya kalau langsung pulang *alesan*. Jadi diputuskanlah kami sekalian mengunjungi obyek wisata Waduk Sermo. Mumpung tak begitu jauh, pikir kami. Tapi ternyataaaaa...menuju Waduk Sermo dari Gua Kiskendo itu bikin jantung deg-degan dan badan pegal. Jalanan yang berkelok dan naik turun membuat kami harus selalu fokus. Padahal pemandangan di kanan-kiri kami begitu menggoda.

Setelah sempat salah jalan dan hampir tersesat :p, tibalah kami akhirnya di satu-satunya waduk di Jogjakarta, Waduk Sermo. Waduk yang dibuat dengan membendung Kali Ngrancah ini selain dipergunakan sebagai penyangga air untuk  pertanian di sekitar area waduk juga dimanfaatkan sebagai obyek wisata yang cukup menarik. Para wisatawan bisa memancing, berkeliling dengan kapal kecil, ataupun sekedar duduk-duduk menikmati keindahan Waduk Sermo dengan latar belakang perbukitan menoreh. Sejuk sekali memandangnya kawan :D. Tapi aku pribadi lebih menyukai memandang Waduk Sermo dari ketinggian. Lebih keren! :D

Waduk Sermo dilihat dari atas
Waduk Sermo
hijauuuu :D
Jam ditanganku menunjukkan pukul 15.30. Baterai kamera sudah diujung tanduk kematian. Waktunya bagi kami untuk pulang. Mengakhiri perjalanan yang tanpa rencana untuk hari ini. Dan semoga esok akan ada perjalanan-perjalanan seru lain untuk dibagi bersama sahabat :)

Selamat malam.

3676 mdpl (5~habis): 15 menit saja [Mahameru]


you don't need to climb a mountain to know that it's high
[ Paulo Coelho ]



SUMMIT ATTACK!

Tibalah saatnya kami berada di batas vegetasi Gunung Semeru. Dimana kini kami harus terus menatap pasir dan batu. Tak ada pohon dan rumput apalagi danau. Dan perjuangan yang sesungguhnya pun baru akan dimulai.

Tak pernah mudah melewati track yang berpasir dan berbatu seperti itu. Naik 3 langkah, turun 2 langkah. Melorot.  Apalagi kami dilarang menginjak batu. Kami pun benar-benar memilih dan memilah apa yang akan kami injak. Dan harus selalu waspada bila ada yang meneriakkan batu/rock dari atas. Sudah menjadi semacam aturan tak tertulis di Semeru bila ada yang menginjak batu kemudian batu itu menggelinding ke bawah maka dia wajib memperingatkan yang berada di bawah dengan berteriak batu/rock. Yang melihat dan mendengarnya pun demikian adanya, meneruskan memperingatkan ke bawah sambil melindungi diri.

Hari masih gelap. Kami bertujuh bersama ratusan pendaki berjalan dan bahkan merangkak di atas pasir Semeru. Merangkak? Ya, kami merangkak layaknya Spiderman yang sedang berjalan menempel di dinding bangunan. Sebab ternyata dengan merangkak ternyata lebih cepat dan lebih mudah daripada berjalan.

Teza dan Teh Nadia merangkak
Kami merangkak dan terus merangkak. Hingga terdengar suara teriakan bersahutan ‘batu’. Aku pun melongok ke atas, tak melihat apa pun tapi tetap berusaha melindungi diri dengan melompat ke arah kanan dan menutupi kepala dengan kedua tangan. Teza sepertinya sempat melihat si batu menggelinding itu. Lumayan besar katanya. Huffff.... Setelah deg-degannya selesai kami pun lanjut merangkak. Mendengar kabar dari atas bahwa ada yang terluka terkena batu dan baru di perban. Di perban? Berarti lukanya cukup besar. Entah benar atau tidaknya namun hal itu cukup membuatku merinding mendengarnya. Ya Allah, lindungi kami semua....

Tidak berapa lama, semburat sang fajar mulai nampak. Cahaya mulai menerangi sehingga kami bisa melihat pasir dan batu dengan jelas. Headlamp pun dimatikan. Kami meyakini waktu Subuh sudah tiba, maka kami sepakat untuk sholat terlebih dahulu sebelum meneruskan pendakian. Kami memilih tempat yang berada di pinggir, agar tak mengganggu pendaki yang lain. Dengan menggunakan pasir Semeru kami bertayamum. Duduk di pasir, kami pun sholat Subuh. Istimewa sekali sholat subuh kala itu. Berada di ketinggian diatas 3000 mdpl, duduk di atas gunung pasir beratapkan langit, merasakan desau angin fajar, syahdu sekali.


sesaat setelah sholat subuh
Selesai sholat kami meneruskan perjuangan. Diperkirakan kami berada di ketinggian 3300 hingga 3400 mdpl ketika kami beristirahat lagi. Tiba-tiba saja Kang Arai melepas kupluknya dan berkata, “ Kiki, akang sampai disini saja”. Sontak aku kaget. Puncak tak lama lagi. Tapi Kang Arai memilih untuk berhenti di ketinggian ini. Aku tak paham benar apa alasan sebenarnya Kang Arai, tapi aku yakin dia memiliki pertimbangannya sendiri. Kang Dian sempat berucap tak muncak satu, lainnya juga enggak. Tapi Kang Arai menolak mentah-mentah. Katanya kami harus tetap melanjutkan perjuangan sampai puncak. Cukup lama kami berdebat tentang hal itu. Hingga akhirnya diputuskan aku, Teza, Teh Nadia dan Kang Dian tetap naik sedangkan Kang Arai akan ditemani Kang Andi turun ke Kalimati. Karena logistik dan P3K dibawa oleh Mas David yang sudah berada di atas kami, aku pun membekali Kang Arai seada-adanya dengan betadine juga madu. Sedih sekali rasanya waktu itu. Sudah hampir mau menangis malah. Kami sudah berjuang bersama-sama sejak dari bawah. Dan karena formasi yang sudah ditetapkan yakni Kang Arai yang berjalan di depanku, maka Kang Arai lah yang selama perjalanan banyak membantuku. Berat sekali harus berpisah dengan Kang Arai kala itu.

moment sebelum berpisah :'(
Tapi perjuangan kami terus dilanjutkan. Tak berapa jauh, kami melihat sosok Mas David. Dia pun menanyakan keberadaan Kang Andi dan Kang Arai. Kami menceritakan kejadian beberapa menit yang lalu. Dan disinilah terjadi perundingan kembali. Mas David bilang,” Kalo mau ke puncak, aku temenin. Tapi jalannya harus ngejoss, jam 7 sudah harus sampai puncak. Gimana?”. Aku melihat jam tangan. Hah? jam 6 kurang. Apa iya dalam waktu 1 jam bisa sampai puncak. Aku mendongak. Melihat gunung pasir yang entah puncaknya dimana. Tapi aku optimis saja. Teringat kata Kang Arai ketika mendapat kabar jalur pendakian Semeru ditutup. Yang penting usaha maksimal dulu. Berjalan dulu. Mau jam 7 sampai atau tidak yang penting usaha dulu. Aku pun menyanggupi syarat dari Mas David. Teza, Teh Nadia dan Kang Dian gamang. Aku tahu benar Teza sebenarnya ingin, ingin sekali berada di Mahameru. Aku pun yakin sebenarnya dia masih sanggup. Tapi angka ‘7’ membuatnya ragu. Khawatir tidak bisa sampai tepat waktu, maka Teza pun memilih untuk tidak meneruskan pendakian. Pun begitu adanya dengan Teh Nadia dan Kang Dian. Ah, berat sekali rasanya tanpa mereka.

Akhirnya aku dan Mas David pun berjalan. Setengah jam selanjutnya aku masih memiliki energi yang cukup untuk berjalan dan merangkak layaknya sebelumnya. Setengah jam selanjutnya aku sudah mulai lelah, benar-benar lelah. Batas waktu yang ditentukan dan minimnya waktu istirahat yang ditoleransi Mas David membuatku tak bisa bersantai-santai lama. Jalan dan terus berjalan. Merangkak dan terus merangkak. Dan 15 menit terakhir adalah waktu yang benar-benar menguras energi fisik, otak juga hati. Terhitung 6 jam lebih kami berjalan sejak dari Kalimati tengah malam tadi, jelas saja lelah itu ada dalam kami. Namun begitu, otakku terus melogika bahwa banyak sekali orang bisa sampai sana, Mahameru, maka aku pun akan bisa bila diusahakan. Dan dalam keadaan demikian, hati manusia terkadang tak lantas memberi dukungan kepada salah satunya, fisik atau otak. Maka di 15 menit terakhir itu frustasi dan putus asa menjadi tipis sekali batasnya.

Para pendaki yang kami jumpai berkata puncak sebentar lagi. Sudah mau pingsan saja rasanya. Tapi toh aku terseok-seok masih berjalan. Dengan sisa-sisa energi yang kumiliki dibantu dengan sedikit paksaan dari Mas David, sampailah aku di batu terakhir dimana dibaliknya adalah puncak Semeru, Mahameru.

Allahuakbar! Subhanallah! Aku pun langsung menjatuhkan diri. Tergeletak di tanah. Minim energi. Saat itulah Mas David berkata, “ Jam 7:30 kita turun”. Aku melihat jam tanganku. 7:15. What?? Pingsan aja deh pengennya -_-

Aku tahu, sepenuhnya tahu, tujuan Mas David tak buruk. Dia tidak mau kami membuat kawan-kawan kami yang dibawah menunggu terlalu lama. Iya, aku paham.

15 menit yang berharga tak mau kusiakan. Aku pun beranjak dari tanah. Masih terseok mengumpulkan ceceran energi yang tersisa. Mengabadikan yang ada disana, di 3676 mdpl, tanah tertinggi Pulau Jawa.

puncak Semeru, Mahameru

in memoriam Soe Hok Gie & Idhan Lubis
07:30 tepat aku menghentikan semua aktifitas memotretku. Aku melihat sekeliling mencari Mas David. Banyaknya orang yang berada di puncak membuatku sulit menemukannya. Akhirnya kuputuskan untuk menunggu Mas David di ujung jalan turun. Beberapa menit kemudian datanglah Mas David. Ketiduran katanya heuuu -_-. Kami duduk sejenak melihat apa yang terlihat dari atas. Kalau kukatakan sejenak bersama Mas David, itu sejenak yang sesungguhnya. Sebab tentu saja si tangguh itu takkan berlama-lama bersantai. Dan kemudian, kami pun turun. Selamat tinggal Mahameru. Sampai bertemu lagi di hari ketika tak hanya 15 menit yang kumiliki, di hari ketika aku bisa berdiri bersama sahabatku. Disini, di 3676 mdpl, Mahameru.

Selasa, 08 Januari 2013

3676 mdpl (4): mitos Tanjakan Cinta hingga indahnya gemintang di langit Cemara Tunggal



Tanjakan Cinta

Selepas makan siang, sholat dan istirahat kami pun meneruskan perjalanan. Kabut semakin tebal. Dan tepat sebelum kami meninggalkan Ranu Kumbolo, hujan turun. Mantel pun akhirnya dipakai.

tepat sebelum meninggalkan Ranu Kumbolo, foto diambil oleh Mas David
Setelah berdoa untuk mengawali perjalanan, kami mulai melangkah meninggalkan Ranu Kumbolo. Untuk keluar dari Ranu Kumbolo, kami harus melewati sebuah tanjakan yang cukup panjang. Tanjakan ini populer disebut Tanjakan Cinta.
Tanjakan Cinta, Juni 2012
Ada mitos yang cukup terkenal tentang tanjakan ini. Dikatakan bahwa siapa yang mendaki tanjakan ini sambil memikirkan orang yang dicintai tanpa menoleh sekalipun ke belakang, maka orang itu akan bersatu dengan orang yang dicintainya. Banyak yang tidak percaya, namun tak sedikit pula yang percaya dan mencobanya.

Terlepas dari mitos itu, aku sendiri lebih percaya tanjakan itu mengingatkan bahwa ada cinta yang kutinggalkan dan akan kusambut kembali, yakni Ranu Kumbolo.

Oro-Oro Ombo
Oro-Oro Ombo, Juni 2012
Sukses menapaki Tanjakan Cinta dengan berkali-kali menoleh ke belakang :p [melihat Ranu Kumbolo dari atas itu keren], kami pun kembali disuguhi kejutan yang tak kalah indahnya. Oro-Oro Ombo. Sebuah padang luas dipenuhi ilalalng juga Lavender. Pada musim kemarau, Lavender akan bersemi dan menciptakan nuansa ungu di padang Oro-Oro Ombo.

ungu
Terdapat dua jalan untuk melintasi padang Oro-Oro Ombo. Yang pertama lewat bawah, yakni melintas diantara ilalalang. Agak sedikit curam saat turun menuju padang, tapi dengan lewat bawah kita akan bisa menyentuh langsung tanaman yang tumbuh disana. Jalan yang kedua lewat atas, yakni melewati pinggir bukit. Kita dapat menikmati Oro-Oro Ombo dari atas tanpa melintasi jalur yang cukup curam.

2 jalur untuk melintasi Oro-Oro Ombo
Agar adil, kami melewati jalur atas saat berangkat dan jalur bawah saat kembali.

Cemara Kandang

Setelah melintasi padang yang luas tanpa pohon yang menaungi, tibalah kami dimana ratusan atau mungkin ribuan pohon terlihat sepanjang mata memandang. Hutan Cemara Kandang.

Seperti hutan kebanyakan, akan banyak menemui pohon berbatang besar di Cemara Kandang. Dan bukan pohon yang masih tegak berdiri saja, pohon yang sudah tumbang pun tak sedikit. Pohon yang tumbang seringkali dipakai untuk duduk-duduk para pendaki yang sedang istirahat. Kadang kala ada yang  melintang di jalan setapak yang kami lalui, sehingga kami harus melompati batang pohon tersebut.

senja di Cemara Kandang, November 2012
Keluar dari area rimbun pepohonan besar, kami memasuki kawasan bernama Jambangan. Dari tempat ini terlihat gagahnya Mahameru. Tak hanya itu, di kanan dan kiri jalan setapak banyak Edelweis yang tumbuh. Edelweis-edelweis ini juga menjadi semacam pertanda, itu berarti tak lama lagi kami akan sampai di afrika-nya Semeru, Kalimati.

Mahameru di potret dari Jambangan
Kalimati

Kalimati adalah sebuah padang luas dengan tanah yang tak semua rata. Berbeda dengan Oro-Oro Ombo yang ditumbuhi ilalang yang cukup tinggi, Kalimati lebih banyak ditumbuhi rumput berwarna hijau kecoklatan. Luasnya padang dan pohon yang lebih banyak berada di tepi padang memberi kesan gersang pada Kalimati. Itulah sebabnya Kalimati terlihat mirip dengan padang di Afrika [belum pernah ke Afrika sih, liat di televisi aja gitu].

Kalimati, November 2012
Ada sebuah sumber air di Kalimati. Bernama Sumber Mani. Cukup jauh dan sulit jalan yang harus ditempuh untuk mencapai Sumber Mani. Pun cukup membuatku jera untuk kesana lagi bila tidak terpaksa. Hehehe.. Itulah sebabnya, kali ini sebisa mungkin botol-botol air kami harus sudah terisi penuh dari Ranu Kumbolo. Jadi kami tak perlu mengisi air di Sumber Mani.

jalan yang harus dilalui menuju Sumber Mani, Juni 2012
Sumber Mani, Juni 2012
Hari sudah sempurna gelap ketika kami sampai di Kalimati. Sudah banyak tenda yang berdiri. Kami pun bergerak memilih tempat. Sengaja memilih di bagian ujung timur dengan pertimbangan tak terlalu jauh berjalan saat akan mendaki tengah malam nanti.

Begitu menemukan tempat di ujung timur yang tanahnya cukup rata, kami pun tak membuang waktu lagi. Para pria mendirikan tenda, dan kami para wanita memasak makan malam. Selepas makan malam, kami pun beristirahat. Mengumpulkan kembali energi untuk pendakian ke puncak tengah malam nanti. Brr...dan dinginnya Kalimati pun menghampiri. Pada musim kemarau, dinginnya akan lebih menusuk lagi. Berbeda dengan Ranu Kumbolo yang dinginnya karena berada di dekat danau, sepertinya di Kalimati dingin yang ditimbulkan lebih berasal dari angin yang berhembus.

diambil beberapa menit sebelum meninggalkan Kalimati

Arcopodo

Pukul sebelas kami dibangunkan oleh tim pria. Dengan wajah yang masih mengantuk kami pun bersiap. Membekali diri dengan jaket, syal, kupluk, sarung tangan, juga gaiter. Keril? Tidak, kami tidak membawa keril. Hanya tas kecil/daypack saja yang kami bawa. Terlalu memberatkan bila harus membawa keril ke atas. Cukup membawa apa yang benar-benar kami butuhkan saja seperti air, makanan, obat, senter/headlamp dan ah tentu saja kamera :p. Keril dan barang-barang lain kami tinggalkan di dalam tenda.

Menjelang tengah malam kami pun siap berangkat menuju puncak. Namun langkah kami dihentikan oleh seorang mas-mas. Katanya kami harus melapor dahulu. Eh? Kenapa harus melapor lagi? Tapi ternyata itu dikarenakan banyaknya pendaki yang hendak ke puncak. Untuk memperkecil kemungkinan buruk yang bisa terjadi seperti hilang tak terdeteksi maka setiap rombongan pendaki harus melapor dan menyerahkan KTP kepada petugas. Dan Kang Andi pun maju mewakili tim kami. Beberapa menit kemudian Kang Andi kembali. Beres. Kami berangkat.

Tap-tap-tap. Kami melangkah menapaki jalan setapak. Track dari Kalimati menuju Arcopodo bisa dibilang berat. Setapak yang kecil dan terus menanjak membuat langkah kami menjadi terasa lebih berat. Jarang sekali kami temui ‘bonus’ atau tanah datar. Dan yang menarik dari pendakian malam itu adalah kami harus mengantri untuk berjalan. Banyaknya [super banyak] pendaki yang hendak ke puncak malam itu menyebabkan antrian yang sangat panjang. Bila dilihat dari bawah, maka akan nampak headlamp para pendaki seperti barisan kunang-kunang.

Normalnya perjalanan Kalimati menuju Arcopodo bisa ditempuh dalam waktu kurang lebih 1,5 jam. Namun malam itu sepertinya waktu normal tak bisa dicapai mengingat antrian panjang pendaki. Di sela-sela mengantri kami mengobrol tentang apa saja, hingga tak terasa sampailah kami di ketinggian 2900 mdpl, Arcopodo.

Beberapa tenda terlihat didirikan di Arcopodo. Selain Kalimati, Arcopodo memang menjadi salah satu pilihan untuk nge-camp bagi mereka yang akan summit. Kami pun beristirahat sejenak di Arcopodo. Terlihat ada  beberapa batu ‘in memoriam’ disana. Sengaja dibuat untuk mengenang sahabat-sahabat mereka, pendaki yang meninggal maupun hilang di Semeru.

Arcopodo dalam bahasa jawa berarti arca kembar [arco=arca; podo=sama]dan dalam bahasa jawa kuno [arco=arca; padha=tempat]. Konon ada beberapa orang yang dapat ‘melihat’ arca kembar ini. Versinya pun bermacam-macam. Ada yang bilang kecil. Ada pula yang bilang sangat besar, bahkan bisa terlihat dari Ranu Kumbolo. Entahlah.

Cemara Tunggal

Cukup beristirahat di Arcopodo, kami pun melanjutkan perjalanan menuju batas vegetasi Gunung Semeru, Cemara Tunggal. 

Menuju Cemara Tunggal kami menjumpai lagi batu-batu ‘in memoriam’. Kami juga melihat papan peringatan ‘ DILARANG MENGINJAK BATU ‘ yang dipaku di batang pohon. Papan peringatan itu berguna untuk memperingatkan kami, para pendaki, yang hendak menuju puncak. Setelah melewati batas vegetasi nanti, yang akan kami temui hanyalah pasir dan batu-batu yang tidak stabil. Dikatakan tidak stabil karena batu-batu itu mudah sekali jatuh atau menggelinding ke bawah bila diinjak. Dan tentu saja itu akan membahayakan pendaki yang berada di bawah. Itulah sebabnya para pendaki hendaknya menginjak pasir, jangan batunya.

Setelah berjalan mengantri cukup lama, sampailah kami di Cemara Tunggal. Cerah sekali malam itu. Bukan, tentu saja bukan karena banyaknya headlamp yang menyerupai barisan kunang-kunang tadi. Melainkan karena jutaan bintang di langit. Malam itu langit begitu indah untuk kami lewatkan begitu saja. Maka kami pun memilih salah satu tempat datar di Cemara Tunggal untuk bisa berbaring. Memandang langit, melihat bintang. Dan wow... Subhanallah Maha Suci Allah yang menciptakan langit seindah ini, alam seindah ini. 

Memandang bintang di tempat yang tinggi bersama sahabat itu romantis kawan. Mendengar samar-samar penjelasan Mas David pada Teza tentang rasi-rasi bintang, berbincang dengan Kang Dian, dan menikmati diamku-diam mereka yang sama-sama terpesona oleh indahnya langit. Beberapa kali terlihat pula bintang jatuh. Ah, indah sekali malam itu kawan. Indah sekali.