Selasa, 08 Januari 2013

3676 mdpl (4): mitos Tanjakan Cinta hingga indahnya gemintang di langit Cemara Tunggal



Tanjakan Cinta

Selepas makan siang, sholat dan istirahat kami pun meneruskan perjalanan. Kabut semakin tebal. Dan tepat sebelum kami meninggalkan Ranu Kumbolo, hujan turun. Mantel pun akhirnya dipakai.

tepat sebelum meninggalkan Ranu Kumbolo, foto diambil oleh Mas David
Setelah berdoa untuk mengawali perjalanan, kami mulai melangkah meninggalkan Ranu Kumbolo. Untuk keluar dari Ranu Kumbolo, kami harus melewati sebuah tanjakan yang cukup panjang. Tanjakan ini populer disebut Tanjakan Cinta.
Tanjakan Cinta, Juni 2012
Ada mitos yang cukup terkenal tentang tanjakan ini. Dikatakan bahwa siapa yang mendaki tanjakan ini sambil memikirkan orang yang dicintai tanpa menoleh sekalipun ke belakang, maka orang itu akan bersatu dengan orang yang dicintainya. Banyak yang tidak percaya, namun tak sedikit pula yang percaya dan mencobanya.

Terlepas dari mitos itu, aku sendiri lebih percaya tanjakan itu mengingatkan bahwa ada cinta yang kutinggalkan dan akan kusambut kembali, yakni Ranu Kumbolo.

Oro-Oro Ombo
Oro-Oro Ombo, Juni 2012
Sukses menapaki Tanjakan Cinta dengan berkali-kali menoleh ke belakang :p [melihat Ranu Kumbolo dari atas itu keren], kami pun kembali disuguhi kejutan yang tak kalah indahnya. Oro-Oro Ombo. Sebuah padang luas dipenuhi ilalalng juga Lavender. Pada musim kemarau, Lavender akan bersemi dan menciptakan nuansa ungu di padang Oro-Oro Ombo.

ungu
Terdapat dua jalan untuk melintasi padang Oro-Oro Ombo. Yang pertama lewat bawah, yakni melintas diantara ilalalang. Agak sedikit curam saat turun menuju padang, tapi dengan lewat bawah kita akan bisa menyentuh langsung tanaman yang tumbuh disana. Jalan yang kedua lewat atas, yakni melewati pinggir bukit. Kita dapat menikmati Oro-Oro Ombo dari atas tanpa melintasi jalur yang cukup curam.

2 jalur untuk melintasi Oro-Oro Ombo
Agar adil, kami melewati jalur atas saat berangkat dan jalur bawah saat kembali.

Cemara Kandang

Setelah melintasi padang yang luas tanpa pohon yang menaungi, tibalah kami dimana ratusan atau mungkin ribuan pohon terlihat sepanjang mata memandang. Hutan Cemara Kandang.

Seperti hutan kebanyakan, akan banyak menemui pohon berbatang besar di Cemara Kandang. Dan bukan pohon yang masih tegak berdiri saja, pohon yang sudah tumbang pun tak sedikit. Pohon yang tumbang seringkali dipakai untuk duduk-duduk para pendaki yang sedang istirahat. Kadang kala ada yang  melintang di jalan setapak yang kami lalui, sehingga kami harus melompati batang pohon tersebut.

senja di Cemara Kandang, November 2012
Keluar dari area rimbun pepohonan besar, kami memasuki kawasan bernama Jambangan. Dari tempat ini terlihat gagahnya Mahameru. Tak hanya itu, di kanan dan kiri jalan setapak banyak Edelweis yang tumbuh. Edelweis-edelweis ini juga menjadi semacam pertanda, itu berarti tak lama lagi kami akan sampai di afrika-nya Semeru, Kalimati.

Mahameru di potret dari Jambangan
Kalimati

Kalimati adalah sebuah padang luas dengan tanah yang tak semua rata. Berbeda dengan Oro-Oro Ombo yang ditumbuhi ilalang yang cukup tinggi, Kalimati lebih banyak ditumbuhi rumput berwarna hijau kecoklatan. Luasnya padang dan pohon yang lebih banyak berada di tepi padang memberi kesan gersang pada Kalimati. Itulah sebabnya Kalimati terlihat mirip dengan padang di Afrika [belum pernah ke Afrika sih, liat di televisi aja gitu].

Kalimati, November 2012
Ada sebuah sumber air di Kalimati. Bernama Sumber Mani. Cukup jauh dan sulit jalan yang harus ditempuh untuk mencapai Sumber Mani. Pun cukup membuatku jera untuk kesana lagi bila tidak terpaksa. Hehehe.. Itulah sebabnya, kali ini sebisa mungkin botol-botol air kami harus sudah terisi penuh dari Ranu Kumbolo. Jadi kami tak perlu mengisi air di Sumber Mani.

jalan yang harus dilalui menuju Sumber Mani, Juni 2012
Sumber Mani, Juni 2012
Hari sudah sempurna gelap ketika kami sampai di Kalimati. Sudah banyak tenda yang berdiri. Kami pun bergerak memilih tempat. Sengaja memilih di bagian ujung timur dengan pertimbangan tak terlalu jauh berjalan saat akan mendaki tengah malam nanti.

Begitu menemukan tempat di ujung timur yang tanahnya cukup rata, kami pun tak membuang waktu lagi. Para pria mendirikan tenda, dan kami para wanita memasak makan malam. Selepas makan malam, kami pun beristirahat. Mengumpulkan kembali energi untuk pendakian ke puncak tengah malam nanti. Brr...dan dinginnya Kalimati pun menghampiri. Pada musim kemarau, dinginnya akan lebih menusuk lagi. Berbeda dengan Ranu Kumbolo yang dinginnya karena berada di dekat danau, sepertinya di Kalimati dingin yang ditimbulkan lebih berasal dari angin yang berhembus.

diambil beberapa menit sebelum meninggalkan Kalimati

Arcopodo

Pukul sebelas kami dibangunkan oleh tim pria. Dengan wajah yang masih mengantuk kami pun bersiap. Membekali diri dengan jaket, syal, kupluk, sarung tangan, juga gaiter. Keril? Tidak, kami tidak membawa keril. Hanya tas kecil/daypack saja yang kami bawa. Terlalu memberatkan bila harus membawa keril ke atas. Cukup membawa apa yang benar-benar kami butuhkan saja seperti air, makanan, obat, senter/headlamp dan ah tentu saja kamera :p. Keril dan barang-barang lain kami tinggalkan di dalam tenda.

Menjelang tengah malam kami pun siap berangkat menuju puncak. Namun langkah kami dihentikan oleh seorang mas-mas. Katanya kami harus melapor dahulu. Eh? Kenapa harus melapor lagi? Tapi ternyata itu dikarenakan banyaknya pendaki yang hendak ke puncak. Untuk memperkecil kemungkinan buruk yang bisa terjadi seperti hilang tak terdeteksi maka setiap rombongan pendaki harus melapor dan menyerahkan KTP kepada petugas. Dan Kang Andi pun maju mewakili tim kami. Beberapa menit kemudian Kang Andi kembali. Beres. Kami berangkat.

Tap-tap-tap. Kami melangkah menapaki jalan setapak. Track dari Kalimati menuju Arcopodo bisa dibilang berat. Setapak yang kecil dan terus menanjak membuat langkah kami menjadi terasa lebih berat. Jarang sekali kami temui ‘bonus’ atau tanah datar. Dan yang menarik dari pendakian malam itu adalah kami harus mengantri untuk berjalan. Banyaknya [super banyak] pendaki yang hendak ke puncak malam itu menyebabkan antrian yang sangat panjang. Bila dilihat dari bawah, maka akan nampak headlamp para pendaki seperti barisan kunang-kunang.

Normalnya perjalanan Kalimati menuju Arcopodo bisa ditempuh dalam waktu kurang lebih 1,5 jam. Namun malam itu sepertinya waktu normal tak bisa dicapai mengingat antrian panjang pendaki. Di sela-sela mengantri kami mengobrol tentang apa saja, hingga tak terasa sampailah kami di ketinggian 2900 mdpl, Arcopodo.

Beberapa tenda terlihat didirikan di Arcopodo. Selain Kalimati, Arcopodo memang menjadi salah satu pilihan untuk nge-camp bagi mereka yang akan summit. Kami pun beristirahat sejenak di Arcopodo. Terlihat ada  beberapa batu ‘in memoriam’ disana. Sengaja dibuat untuk mengenang sahabat-sahabat mereka, pendaki yang meninggal maupun hilang di Semeru.

Arcopodo dalam bahasa jawa berarti arca kembar [arco=arca; podo=sama]dan dalam bahasa jawa kuno [arco=arca; padha=tempat]. Konon ada beberapa orang yang dapat ‘melihat’ arca kembar ini. Versinya pun bermacam-macam. Ada yang bilang kecil. Ada pula yang bilang sangat besar, bahkan bisa terlihat dari Ranu Kumbolo. Entahlah.

Cemara Tunggal

Cukup beristirahat di Arcopodo, kami pun melanjutkan perjalanan menuju batas vegetasi Gunung Semeru, Cemara Tunggal. 

Menuju Cemara Tunggal kami menjumpai lagi batu-batu ‘in memoriam’. Kami juga melihat papan peringatan ‘ DILARANG MENGINJAK BATU ‘ yang dipaku di batang pohon. Papan peringatan itu berguna untuk memperingatkan kami, para pendaki, yang hendak menuju puncak. Setelah melewati batas vegetasi nanti, yang akan kami temui hanyalah pasir dan batu-batu yang tidak stabil. Dikatakan tidak stabil karena batu-batu itu mudah sekali jatuh atau menggelinding ke bawah bila diinjak. Dan tentu saja itu akan membahayakan pendaki yang berada di bawah. Itulah sebabnya para pendaki hendaknya menginjak pasir, jangan batunya.

Setelah berjalan mengantri cukup lama, sampailah kami di Cemara Tunggal. Cerah sekali malam itu. Bukan, tentu saja bukan karena banyaknya headlamp yang menyerupai barisan kunang-kunang tadi. Melainkan karena jutaan bintang di langit. Malam itu langit begitu indah untuk kami lewatkan begitu saja. Maka kami pun memilih salah satu tempat datar di Cemara Tunggal untuk bisa berbaring. Memandang langit, melihat bintang. Dan wow... Subhanallah Maha Suci Allah yang menciptakan langit seindah ini, alam seindah ini. 

Memandang bintang di tempat yang tinggi bersama sahabat itu romantis kawan. Mendengar samar-samar penjelasan Mas David pada Teza tentang rasi-rasi bintang, berbincang dengan Kang Dian, dan menikmati diamku-diam mereka yang sama-sama terpesona oleh indahnya langit. Beberapa kali terlihat pula bintang jatuh. Ah, indah sekali malam itu kawan. Indah sekali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar