Tanjakan Cinta
Selepas makan siang, sholat dan istirahat kami pun
meneruskan perjalanan. Kabut semakin tebal. Dan tepat sebelum kami meninggalkan
Ranu Kumbolo, hujan turun. Mantel pun akhirnya dipakai.
Setelah berdoa untuk mengawali perjalanan, kami mulai
melangkah meninggalkan Ranu Kumbolo. Untuk keluar dari Ranu Kumbolo, kami harus
melewati sebuah tanjakan yang cukup panjang. Tanjakan ini populer disebut
Tanjakan Cinta.
![]() |
tepat sebelum meninggalkan Ranu Kumbolo, foto diambil oleh Mas David |
Tanjakan Cinta, Juni 2012 |
Terlepas dari mitos itu, aku sendiri lebih percaya tanjakan
itu mengingatkan bahwa ada cinta yang kutinggalkan dan akan kusambut kembali,
yakni Ranu Kumbolo.
Oro-Oro Ombo
Sukses menapaki Tanjakan Cinta dengan berkali-kali menoleh
ke belakang :p [melihat Ranu Kumbolo dari atas itu keren], kami pun kembali
disuguhi kejutan yang tak kalah indahnya. Oro-Oro Ombo. Sebuah padang luas
dipenuhi ilalalng juga Lavender. Pada musim kemarau, Lavender akan bersemi dan menciptakan
nuansa ungu di padang Oro-Oro Ombo.
Terdapat dua jalan untuk melintasi padang Oro-Oro Ombo. Yang
pertama lewat bawah, yakni melintas diantara ilalalang. Agak sedikit
curam saat turun menuju padang, tapi dengan lewat bawah kita akan bisa
menyentuh langsung tanaman yang tumbuh disana. Jalan yang kedua lewat atas,
yakni melewati pinggir bukit. Kita dapat menikmati Oro-Oro Ombo dari atas tanpa
melintasi jalur yang cukup curam.
Agar adil, kami melewati jalur atas saat berangkat dan jalur
bawah saat kembali.
Oro-Oro Ombo, Juni 2012 |
ungu |
![]() |
2 jalur untuk melintasi Oro-Oro Ombo |
Cemara Kandang
Setelah melintasi padang yang luas tanpa pohon yang menaungi,
tibalah kami dimana ratusan atau mungkin ribuan pohon terlihat sepanjang mata
memandang. Hutan Cemara Kandang.
Seperti hutan kebanyakan, akan banyak menemui pohon
berbatang besar di Cemara Kandang. Dan bukan pohon yang masih tegak berdiri
saja, pohon yang sudah tumbang pun tak sedikit. Pohon yang tumbang seringkali
dipakai untuk duduk-duduk para pendaki yang sedang istirahat. Kadang kala ada
yang melintang di jalan setapak yang
kami lalui, sehingga kami harus melompati batang pohon tersebut.
Keluar dari area rimbun pepohonan besar, kami memasuki
kawasan bernama Jambangan. Dari tempat ini terlihat gagahnya Mahameru. Tak
hanya itu, di kanan dan kiri jalan setapak banyak Edelweis yang tumbuh.
Edelweis-edelweis ini juga menjadi semacam pertanda, itu berarti tak lama lagi
kami akan sampai di afrika-nya Semeru, Kalimati.
senja di Cemara Kandang, November 2012 |
Mahameru di potret dari Jambangan |
Kalimati
Kalimati adalah sebuah padang luas dengan tanah yang tak
semua rata. Berbeda dengan Oro-Oro Ombo yang ditumbuhi ilalang yang cukup tinggi, Kalimati lebih
banyak ditumbuhi rumput berwarna hijau kecoklatan. Luasnya padang dan pohon
yang lebih banyak berada di tepi padang memberi kesan gersang pada Kalimati.
Itulah sebabnya Kalimati terlihat mirip dengan padang di Afrika [belum pernah
ke Afrika sih, liat di televisi aja gitu].
Ada sebuah sumber air di Kalimati. Bernama Sumber Mani.
Cukup jauh dan sulit jalan yang harus ditempuh untuk mencapai Sumber Mani. Pun
cukup membuatku jera untuk kesana lagi bila tidak terpaksa. Hehehe.. Itulah
sebabnya, kali ini sebisa mungkin botol-botol air kami harus sudah terisi penuh
dari Ranu Kumbolo. Jadi kami tak perlu mengisi air di Sumber Mani.
Hari sudah sempurna gelap ketika kami sampai di Kalimati.
Sudah banyak tenda yang berdiri. Kami pun bergerak memilih tempat. Sengaja
memilih di bagian ujung timur dengan pertimbangan tak terlalu jauh berjalan
saat akan mendaki tengah malam nanti.
Kalimati, November 2012 |
![]() |
jalan yang harus dilalui menuju Sumber Mani, Juni 2012 |
![]() |
Sumber Mani, Juni 2012 |
Begitu menemukan tempat di ujung timur yang tanahnya cukup
rata, kami pun tak membuang waktu lagi. Para pria mendirikan tenda, dan kami
para wanita memasak makan malam. Selepas makan malam, kami pun beristirahat.
Mengumpulkan kembali energi untuk pendakian ke puncak tengah malam nanti.
Brr...dan dinginnya Kalimati pun menghampiri. Pada musim kemarau, dinginnya
akan lebih menusuk lagi. Berbeda dengan Ranu Kumbolo yang dinginnya karena
berada di dekat danau, sepertinya di Kalimati dingin yang ditimbulkan lebih
berasal dari angin yang berhembus.
Arcopodo
diambil beberapa menit sebelum meninggalkan Kalimati |
Arcopodo
Pukul sebelas kami dibangunkan oleh tim pria. Dengan wajah
yang masih mengantuk kami pun bersiap. Membekali diri dengan jaket, syal,
kupluk, sarung tangan, juga gaiter. Keril? Tidak, kami tidak membawa keril.
Hanya tas kecil/daypack saja yang kami bawa. Terlalu memberatkan bila harus
membawa keril ke atas. Cukup membawa apa yang benar-benar kami butuhkan saja
seperti air, makanan, obat, senter/headlamp dan ah tentu saja kamera :p. Keril
dan barang-barang lain kami tinggalkan di dalam tenda.
Menjelang tengah malam kami pun siap berangkat menuju
puncak. Namun langkah kami dihentikan oleh seorang mas-mas. Katanya kami harus
melapor dahulu. Eh? Kenapa harus melapor lagi? Tapi ternyata itu dikarenakan
banyaknya pendaki yang hendak ke puncak. Untuk memperkecil kemungkinan buruk
yang bisa terjadi seperti hilang tak terdeteksi maka setiap rombongan pendaki
harus melapor dan menyerahkan KTP kepada petugas. Dan Kang Andi pun maju
mewakili tim kami. Beberapa menit kemudian Kang Andi kembali. Beres. Kami
berangkat.
Tap-tap-tap. Kami melangkah menapaki jalan setapak. Track
dari Kalimati menuju Arcopodo bisa dibilang berat. Setapak yang kecil dan terus
menanjak membuat langkah kami menjadi terasa lebih berat. Jarang sekali kami
temui ‘bonus’ atau tanah datar. Dan yang menarik dari pendakian malam itu
adalah kami harus mengantri untuk berjalan. Banyaknya [super banyak] pendaki
yang hendak ke puncak malam itu menyebabkan antrian yang sangat panjang. Bila
dilihat dari bawah, maka akan nampak headlamp para pendaki seperti barisan
kunang-kunang.
Normalnya perjalanan Kalimati menuju Arcopodo bisa ditempuh
dalam waktu kurang lebih 1,5 jam. Namun malam itu sepertinya waktu normal tak
bisa dicapai mengingat antrian panjang pendaki. Di sela-sela mengantri kami
mengobrol tentang apa saja, hingga tak terasa sampailah kami di ketinggian 2900
mdpl, Arcopodo.
Beberapa tenda terlihat didirikan di Arcopodo. Selain
Kalimati, Arcopodo memang menjadi salah satu pilihan untuk nge-camp bagi mereka
yang akan summit. Kami pun beristirahat sejenak di Arcopodo. Terlihat ada beberapa batu ‘in memoriam’ disana. Sengaja
dibuat untuk mengenang sahabat-sahabat mereka, pendaki yang meninggal maupun
hilang di Semeru.
Arcopodo dalam bahasa jawa berarti arca kembar [arco=arca;
podo=sama]dan dalam bahasa jawa kuno [arco=arca; padha=tempat]. Konon ada
beberapa orang yang dapat ‘melihat’ arca kembar ini. Versinya pun
bermacam-macam. Ada yang bilang kecil. Ada pula yang bilang sangat besar,
bahkan bisa terlihat dari Ranu Kumbolo. Entahlah.
Cemara Tunggal
Cukup beristirahat di Arcopodo, kami pun melanjutkan
perjalanan menuju batas vegetasi Gunung Semeru, Cemara Tunggal.
Menuju Cemara Tunggal kami menjumpai lagi batu-batu ‘in
memoriam’. Kami juga melihat papan peringatan ‘ DILARANG MENGINJAK BATU ‘ yang
dipaku di batang pohon. Papan peringatan itu berguna untuk memperingatkan kami,
para pendaki, yang hendak menuju puncak. Setelah melewati batas vegetasi nanti,
yang akan kami temui hanyalah pasir dan batu-batu yang tidak stabil. Dikatakan
tidak stabil karena batu-batu itu mudah sekali jatuh atau menggelinding ke
bawah bila diinjak. Dan tentu saja itu akan membahayakan pendaki yang berada di
bawah. Itulah sebabnya para pendaki hendaknya menginjak pasir, jangan batunya.
Setelah berjalan mengantri cukup lama, sampailah kami di
Cemara Tunggal. Cerah sekali malam itu. Bukan, tentu saja bukan karena
banyaknya headlamp yang menyerupai barisan kunang-kunang tadi. Melainkan karena
jutaan bintang di langit. Malam itu langit begitu indah untuk kami lewatkan
begitu saja. Maka kami pun memilih salah satu tempat datar di Cemara Tunggal
untuk bisa berbaring. Memandang langit, melihat bintang. Dan wow... Subhanallah
Maha Suci Allah yang menciptakan langit seindah ini, alam seindah ini.
Memandang bintang di tempat yang tinggi bersama sahabat itu
romantis kawan. Mendengar samar-samar penjelasan Mas David pada Teza tentang
rasi-rasi bintang, berbincang dengan Kang Dian, dan menikmati diamku-diam
mereka yang sama-sama terpesona oleh indahnya langit. Beberapa kali terlihat
pula bintang jatuh. Ah, indah sekali malam itu kawan. Indah sekali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar