Kawah Gunung Ijen
Sudah sore ketika kami keluar dari kawasan Taman Nasional
Alas Purwo. Tujuan berikutnya adalah Rogojampi. Sebuah kawasan dimana salah
seorang sepupunya tinggal. Kami akan mampir sejenak untuk istirahat atau
sekedar numpang mandi sebelum melanjutkan perjalanan ke Kawah Gunung Ijen.
Sempat berhenti sejenak di tepi jalan untuk mengambil gambar langit senja yang
sayang dilewatkan. Sudah lepas maghrib ketika kami akhirnya sampai di rumah
sepupunya. Yang berkesan dari kunjungan itu buatku adalah anak mereka yang
diberi nama Heaven. Aku belum pernah menjumpai bocah kecil dengan nama seperti
itu. Umurnya sekitar tiga tahun. Aktif sekali, terlihat sangat tertarik dengan
warna-warna dan terutama tertarik pada benda-benda berbahan beling. Bersyukur sekali
bertemu banyak orang baik di perjalananku kali ini. Kak Her, ayah Heaven,
memiliki kesenangan menerima tamu di rumahnya. Dia tak segan untuk menawari
menginap bahkan untuk orang yang baru saja dikenalnya di warung makan. Baik
sekali. Kak Her begitu antusias bertanya soal gunung-gunung dan pendakian.
Membuat lawan bicara juga ikut antusias ketika menjawab.
Pukul sembilan adalah waktu yang kami sepakati untuk berangkat. Sayangnya, aku ketiduran. Penat berjalan kaki sembilan kilometer membawa kantuk datang lebih awal rupanya. Pukul sepuluh tepat ketika kami bersiap-siap meninggalkan rumah Kak Her. Ketiduran satu jam tak membuatku lupa instruksi dari Kak Her untuk menuju Kawah Gunung Ijen. Lampu merah patung kuda belok kiri, lurus, lampu merah kedua belok kiri, lewat rel kereta, patung bagong belok kiri, pertigaan pertama dari situ belok kanan dan luruuuusss terus. Instruksi yang terdengar mudah dan dekat nyatanya tidak. Butuh waktu satu jam dan tiga puluh menit untuk mencapai basecamp Kawah Gunung Ijen. Belum lagi instruksi yang terakhir yakni belok kanan dan lurus terus itu tak bermakna lurus yang sesungguhnya. Jalan memang hanya ada satu, tak ada persimpangan. Tapi sungguh, bilangan keloknya sangat banyak. Belum lagi malam yang makin pekat, dingin yang mulai menggigit, kantuk yang mulai menyerang, dan sepinya jalanan. Jalan yang kami lalui benar-benar sunyi, nol pengendara selain kami. Di depan kami nampak dua gunung tinggi menjulang diantara kegelapan malam. Di kanan kiri jalan yang kami lalui tak ada lagi rumah ataupun lampu jalan. Yang ada hanya semak dan pepohonan. Membuat perjalanan kami semakin mencekam.
senja di hari ke tujuh bulan Desember |
Pukul sembilan adalah waktu yang kami sepakati untuk berangkat. Sayangnya, aku ketiduran. Penat berjalan kaki sembilan kilometer membawa kantuk datang lebih awal rupanya. Pukul sepuluh tepat ketika kami bersiap-siap meninggalkan rumah Kak Her. Ketiduran satu jam tak membuatku lupa instruksi dari Kak Her untuk menuju Kawah Gunung Ijen. Lampu merah patung kuda belok kiri, lurus, lampu merah kedua belok kiri, lewat rel kereta, patung bagong belok kiri, pertigaan pertama dari situ belok kanan dan luruuuusss terus. Instruksi yang terdengar mudah dan dekat nyatanya tidak. Butuh waktu satu jam dan tiga puluh menit untuk mencapai basecamp Kawah Gunung Ijen. Belum lagi instruksi yang terakhir yakni belok kanan dan lurus terus itu tak bermakna lurus yang sesungguhnya. Jalan memang hanya ada satu, tak ada persimpangan. Tapi sungguh, bilangan keloknya sangat banyak. Belum lagi malam yang makin pekat, dingin yang mulai menggigit, kantuk yang mulai menyerang, dan sepinya jalanan. Jalan yang kami lalui benar-benar sunyi, nol pengendara selain kami. Di depan kami nampak dua gunung tinggi menjulang diantara kegelapan malam. Di kanan kiri jalan yang kami lalui tak ada lagi rumah ataupun lampu jalan. Yang ada hanya semak dan pepohonan. Membuat perjalanan kami semakin mencekam.
Sudah hampir merasa jalanan ini tak ada ujungnya ketika
akhirnya kami menemukan lampu dan bangunan. Basecamp Kawah Gunung Ijen. Belum
jauh dari menit ke dua puluh lima lewat jam sebelas ketika kami memarkir motor.
Terlihat segerombolan anak muda tak jauh dari area parkir motor. Kami pun
bertanya pada mereka perihal pendaftaran dan pembayaran retribusi sebab tak
terlihat ada pintu yang terbuka di bangunan-bangunan ini. Kami tak tahu mesti
mendaftar kemana. Dan mereka sendiri tak tahu kemana perginya si bapak
pendaftar. Tapi mereka disarankan untuk memulai pendakian jam satu dini hari
agar tidak mengganggu perjalanan para penambang belerang. Ijen memang terkenal
dengan tambang belerangnya. Para penambang biasanya membawa dua buah keranjang
dari bambu yang dihubungkan dengan sebilah bambu atau kayu untuk kemudian diisi
belerang dan mereka panggul dari area kawah gunung. Berat.
Kurang beberapa menit menjelang pukul satu, kami bersiap.
Terlihat sebuah bangunan di kiri jalan dari arah pintu masuk yang terbuka
pintunya. Kami pun masuk. Dan benar rupanya, disitulah tempat pembayaran
retribusi. Kami berangkat bersamaan dengan rombongan anak muda tadi, yang rupanya
berangkat dari Kampung Inggris, Pare, Kediri. Di awal perjalanan kami berjalan
di belakang rombongan. Namun seringnya mereka istirahat membuat kami pun
menyalip dan akhirnya berada cukup jauh di depan mereka. Satu jam pertama
pendakian jalanan begitu menanjak. Hampir tidak ada tanah landai yang sering
kami sebut ‘bonus’. Benar-benar menanjak. Komposisi tanah dan kerikil kecil
ditambah lagi dalam keadaan menanjak seperti ini membuatku benar-benar
bersyukur hujan tidak turun. Akan sangat licin bila saja hujan turun cukup
deras.
Pukul dua kurang lima menit ketika kami memutuskan untuk
duduk sejenak di sebuah bangunan semi-permanen yang terlihat seperti sebuah
warung. Bersama kami waktu itu ada seorang turis perempuan sedang mendengarkan
penjelasan dari guide setempat. Nguping sedikit rasanya tak apa untuk mendapat
tambahan informasi perihal Ijen. Kami tak berlama-lama, sebab istirahat yang
terlalu lama biasanya membuat badan malas bergerak kembali. Jalan tak terlalu
menanjak lagi di satu jam kedua. Banyak tanah landai yang berkelok. Lelah dan
kantuk kembali menyerang, atau mungkin sebenarnya tak pernah pergi? Dan
kemudian aku sampai pada titik dimana asap kawah mulai terlihat. Lereng
diantara kawah dan tempatku berdiri terasa mencekam dalam sunyi dan kegelapan.
Teksturnya membentuk pola seperti garis-garis jalur lelehan lava berwarna gelap
dan terang berselang-seling. Membuatku membayangkan seperti mendarat di bulan.
Dari titik aku berdiri, kami harus turun melewati jalan yang
berbatu-batu untuk dapat melihat fenomena yang menjadi ciri khas Gunung Ijen
ini, Blue Fire, Api Biru. Fenomena api biru ini terjadi sepanjang hari
sebenarnya, hanya saja akan terlihat sangat jelas saat malam atau gelap.
Terletak di dekat kawah sehingga kami harus turun untuk bisa melihat lebih
dekat. Ada batu-batu yang disusun menjadi anak tangga dan diberi pagar di
beberapa titik berbahaya. Namun semakin ke bawah, semakin jarang anak tangga
batu ini dijumpai dan semakin tercium pula aroma belerang yang khas. Masker pun
menjadi wajib digunakan demi keamanan. Beberapa kali kami berpapasan dengan
para penambang yang mengangkut belerang. Jalan yang sempit membuat kami
bergeser merapat pada batu untuk memberi jalan bagi para penambang. Ini kali
pertama aku menyaksikan fenomena api biru. Membayangkan ada sebuah kompor gas
raksasa di dalam gunung dan mengeluarkan kobaran api biru besar yang
menjilat-jilat. Indah sekali. Benar-benar indah.
Kamera pocketku tak terlalu mampu menangkap kobaran api biru. Tapi aku memiliki kamera yang jauh lebih baik yang bahkan tidak perlu mensetting untuk membuatnya berubah menjadi kamera perekam. Mata. Mataku akan menangkap gambar fenomena langka blue fire Kawah Gunung Ijen dan secara otomatis mengirimnya ke ruangan penyimpanan file memori di otak. Rombongan anak muda yang kami selip tadi sudah mulai berdatangan ketika aku menyerah (mencoba) mengambil gambar api biru. Kami pun beranjak naik lagi. Berpapasan dengan banyak turis lokal maunpun mancanegara dalam perjalanan dari kawah. Mereka baru akan turun ke dekat kawah.
blue fire dari kejauhan |
berfoto dengan blue fire |
Kamera pocketku tak terlalu mampu menangkap kobaran api biru. Tapi aku memiliki kamera yang jauh lebih baik yang bahkan tidak perlu mensetting untuk membuatnya berubah menjadi kamera perekam. Mata. Mataku akan menangkap gambar fenomena langka blue fire Kawah Gunung Ijen dan secara otomatis mengirimnya ke ruangan penyimpanan file memori di otak. Rombongan anak muda yang kami selip tadi sudah mulai berdatangan ketika aku menyerah (mencoba) mengambil gambar api biru. Kami pun beranjak naik lagi. Berpapasan dengan banyak turis lokal maunpun mancanegara dalam perjalanan dari kawah. Mereka baru akan turun ke dekat kawah.
Masih pukul empat pagi ketika kami sampai di atas lagi.
Masih gelap. Dan istirahat menjadi pilihan yang masuk akal karena tak ada hal
lain yang bisa dilakukan. Tak ada sunrise yang spektakuler hari itu meskipun
menyaksikan langit pagi dari gunung selalu indah. Mendung menggantung. Semoga
tidak hujan. Dan ketika cahaya perlahan menerangi sekitarku yang semula gelap
pekat, terlihatlah pesona kawah Ijen yang sesungguhnya. Kawah yang memiliki
tingkat keasaman sangat tinggi itu begitu indah dengan warna hijaunya. Asap yang
keluar dari dasar kawah menambah efek dramatis. Para penambang belerang masih
lalu lalang. Pemandangan yang semenakjubkan ini sudah menjadi makanan
sehari-hari buat mereka. Melihat pengunjung yang tercengang dan kegirangan
mengambil gambar keindahan Ijen pun pastilah sudah terlalu sering. Beratnya beban belerang yang mereka pikul
tentulah lebih menuntut fokus.
langit pagi hari ke delapan bulan Desember |
kawah Ijen |
penambang belerang |
kelokan setapak |
selat Bali (?) dilihat dari Ijen |
lembah penghiburan kala lelah |
Pondok Bunder Kawah Ijen |
Menikmati secangkir kopi hangat di warung terasa menyenangkan sebelum kami benar-benar turun dan pulang. Kembali ke peradaban dengan padatnya aneka aktifitas manusia. Dan Ijen, terima kasih untuk suguhan yang sangat luar biasa ini. Semoga ada kali lain bagi kakiku untuk menapaki lagi setapakmu.
pulang |
***
Pagi keempat di Banyuwangi. Saatnya berkemas. Dan seperti
pagi-pagi sebelumnya yang tidak biasa di Banyuwangi, pagi itu rupanya ada
kejutan yang sudah disiapkan untukku. Adek masuk ke kamar dan membawa kue tart
dengan lilin yang menyala di atasnya ketika aku tengah berkemas. Kue ulang
tahunku. Ya, hari itu 9 Desember, hari ulang tahunku. Aku mendadak kehilangan kata-kata
saat melihat itu semua. Kaget bercampur senang dan haru. Terima kasih ya, kamu.
Berat rasanya berpamitan. Tapi mesti dilakukan. Dan tepat
pukul delapan pagi ketika Sri Tanjung meninggalkan Kalibaru. Meninggalkan kota
yang sudah membekaliku dengan kenangan yang kubagi maupun yang kusimpan
sendiri. Terima kasih, Banyuwangi.
Pukul sepuluh lebih dua puluh delapan menit ketika aku
menyelesaikan catatan ini. Sudah malam. Aku sudah cukup banyak mengingat.
Waktunya istirahat dan membiarkan otakku merapikan kembali memori yang sudah
kubongkar di beberapa waktu terakhir ini. Selamat malam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar