Minggu, 29 Desember 2013

menjemput panggilan (nama) di 3265 mdpl, Lawu



Menjadi gunung yang paling ingin kudaki di tahun ini (2013) setelah sempat urung mendakinya di tahun 2012. Entah dengan alasan apa. Dan seketika mataku berbinar melihat tanggal merah di hari Sabtu, 25 Mei 2013. Kesempatan bagus untuk mendaki agar tak memangkas cuti. Terima kasih Waisak :D

Tim kali ini berjumlah 4 orang. Mas Dhanny – yang entah sudah berapa kali “main” ke gunung yang terkenal mistis itu. Saras dan Rising – yang kemudian berteman setelah  tak sengaja bertemu di stasiun kereta di Surabaya. Dan aku sendiri.

Lawu. Gunung dengan ketinggian 3265 mdpl ini terletak di perbatasan provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Itu sebabnya ada dua jalur yang lazim digunakan untuk mendaki Lawu: Cemarasewu di Sarangan, Jawa Timur dan Cemarakandang di Tawangmangu, Jawa Tengah. Basecamp kedua jalur tersebut hanya berjarak kurang lebih 200 meter. Kali ini atas saran dari Saras, kami akan menggunakan jalur Cemarasewu. Meskipun lebih nge-track, tapi relatif lebih cepat, katanya. Oke sip! Gunung Lawu memiliki tiga puncak yakni Hargo Dalem, Hargo Dumiling, dan Hargo Dumilah. Yang terakhir adalah puncak Lawu yang tertinggi. Dengan tak hanya mengantongi misteri dan legendanya, eksotisme Lawu telah berhasil memikat banyak pendaki untuk datang mendaki.

Berangkat dari Jogja seorang diri, aku memilih menggunakan kereta Prameks. Kurang beruntung karena ternyata tempat duduk sepenuhnya telah terisi. Pilihan yang tersisa tinggal berdiri selama satu jam dengan keril penuh dan menenteng helm. Dan setelah berganti-ganti posisi berdiri, memindah-mindah posisi helm di tangan juga menggeser-geser keril, sampai jua lah aku di stasiun Solo Balapan. Saras akan menjemputku dari sini. Tak lama berselang, Saras, gadis yang baru kukenal enam bulan itu pun muncul. Kami pun segera meluncur menuju gerbang utama UNS, tempat yang disepakati Saras dan Rising untuk bertemu. 

Menjelang tengah hari, kami bergerak menuju Cemarasewu. Cuaca cukup cerah. Memasuki kawasan perbatasan, cuaca berkabut mulai memonopoli pemandangan khas pegunungan. Meski begitu, di pinggir-pinggir jalan tak jauh dari basecamp Cemarakandang dan Cemarasewu ramai sekali. Penjual makanan nampak berjejer. Dengan konsumen yang kebanyakan muda-mudi. Tak lebih dari tiga jam, kami telah memarkir motor di penitipan sepeda motor tak jauh dari gerbang Cemarasewu. Tak hendak langsung mendaki, kami sepakat mengisi perut dahulu sambil menunggu kedatangan Mas Dhanny yang berangkat dari Madiun. 

Yang tak terduga kadang muncul terlalu tiba-tiba *halah*. Belum lagi makanan pesanan tiba, hujan mendadak turun dengan derasnya. Beserta itu pula, tak lama kemudian Mas Dhanny datang. Dengan berlari-lari kecil, Mas Dhanny menghampiri warung tempat kami makan. Melihat derasnya hujan, kami pun sepakat memulai pendakian setelah hujan mereda.

Menjelang pukul lima sore, kami pun siap memulai pendakian. Melewati gerbang Cemarasewu jalan yang kami lalui berupa bebatuan yang tertata rapi dengan pepohonan mengapit di kanan kiri. Harum tanah selepas hujan menguar, melepaskan hawa sejuk ke seluruh penjuru. Belum lagi jauh, hujan kembali turun. Gerimis yang kemudian menjadi deras mengharuskan kami memakai jas hujan. Dan dalam hujan kami lanjut berjalan.



Masih sore ketika kami sampai di Pos 1. Hujan nampaknya tak hendak benar-benar berhenti. Masih sesekali turun, sesekali pula berhenti. Di Pos 1 aku menjumpai ada warung yang menjual aneka gorengan juga minuman. Waaa...yang begini ini nih tidak sering dijumpai di gunung lain. Kami tak hendak berlama-lama. Setelah istirahat secukupnya, kami melanjutkan perjalanan.

Pos 2 penuh sesak ketika kami tiba. Sudah tak bisa masuk lagi. Kami hanya bisa berdiri sender-sender ayam dan mencuri-curi duduk di tepi jalan masuk Pos. Hujan belum lagi berhenti. Kami sepakat meneruskan perjalanan dan membangun tenda setelah sampai di Pos 5. Masih jauh.



Menjelang pukul sembilan malam kami sampai di Pos 3. Air hujan yang sukses masuk ke sepatuku membuatku sedikit menggigil. Sandal gunung nampaknya lebih cocok dipakai di Lawu. Udara sangat dingin. Dan senang sekali rasanya menerima segelas minuman hangat yang dibuatkan Rising untuk kami. 



Sebagian besar track Lawu adalah tangga berbatu. Dan entah mengapa mendaki di sebuah “tangga” terasa lebih berat dibandingkan dengan tanah biasa. Atau hanya perasaanku saja karena sudah merasa lelah dan kedinginan.

Sudah benar-benar malam ketika kami mencapai Pos 5. Entah tadi Pos 4 ada dimana. Berasa tidak melewati. Tapi belakangan aku tahu, tak ada bangunan disana, hanya penanda. Dan karena kami berjalan di malam hari agaknya penanda itu tak terlihat olehku. Alhamdulillah hujan telah reda. Tak membuang waktu, kami pun mendirikan tenda. Dan karena tak ingin berlama-lama di luar tenda, setelah semua ritual selesai dilakukan kami pun beranjak masuk dalam tenda. Reputasi ekstra dingin di Lawu ternyata tak hanya isapan jempol belaka. Memang dingin. Beruntung hujan turun dari sore, membuat cuaca tak sedingin bila tak ada hujan. Namun kaos kaki dan celana basah pun sama jua akhirnya menambah dingin lebih terasa.






Masih pagi ketika kami mendengar suara-suara dari luar tenda. Rupanya ketika kami telah terlelap beberapa pendaki lain mendirikan tenda di dekat tenda kami. Bahkan ketika aku keluar untuk menangkap moment sang surya terbit, terlihat sekelompok pemuda yang nampaknya baru saja sampai di Pos 5.

Bulan masih jelas terlihat di atas kami. Di ufuk timur matahari perlahan menampakkan diri. Kami pun menggabungkan diri dengan para pendaki lain untuk bersama-sama menyambut terbitnya sang mentari di Pos 5, Lawu. Selalu ada perasaan yang berbeda setiap kali melihat terbitnya mentari beserta gumpalan awan dari ketinggian. Perasaan yang entah mengapa mengantarkan rindu  yang menjalar namun sulit dijabarkan.






Menatap track menuju puncak Lawu dari Pos 5 mengingatkanku pada setapak Merbabu. Nampak serupa oleh sebab hijau dimana-mana. Matari mulai benderang, tak lagi malu-malu muncul dari balik awan. Kami pun mempersiapkan diri melanjutkan perjalananan menuju puncak. Kali ini Saras memilih tak ikut, jaga tenda saja, katanya. Jadilah kami bertiga saja menuju 3265 mdpl. 



Masih dengan jalan setapak berbatu, langkah kami mantap meninggalkan Pos 5. Cuaca cukup cerah dengan kabut tipis disana-sini. Tak jauh dari Pos 5, terdapat sebuah mata air yang bentuknya serupa dengan sumur. Sendhang Drajat. Di sendhang ini, pendaki diperbolehkan mengambil air namun dilarang mandi/nyebur. Bersebelahan dengan sendhang yang konon keramat itu, terdapat sebuah bangunan tanpa dinding dengan sebuah batu di tengahnya. Di sekitar batu tersebut terdapat dupa juga bebungaan semacam sajen. Tak jauh dari Sendhang Drajat, kami dapat melihat warung Mbok Yem yang tersohor itu. Sayang, kali itu aku tak bisa menyambangi warung Mbok Yem. Semoga kali lain aku ke Lawu, bisa mengunjungi atau mungkin menginap di warung Mbok Yem.




Menjelang puncak, jalanan batu yang tertata sudah tak nampak lagi. Berganti dengan tanah dan batu. Ah! Senang sekali rasanya menjejak tanah lagi.  Sepenuhnya tanah. Tak melulu batu. 

“ Akan ada surprise buat kamu, Ki, nanti di puncak,” kata Rising sesaat sebelum puncak.
“ Oh ya? Apa?” udah dibilang surprise, dengan bodohnya aku masih bertanya apa -,-‘’
“ Ya liat aja nanti di puncak.”

Dan kemudian, aku melihat tugu itu. Tugu Hargo Dumilah, puncak tertinggi Lawu. 3265 mdpl. Sudah ramai sekali orang berfoto-foto saat kami tiba. Bahkan aku khawatir tak memiliki kesempatan berfoto dengan tenang di Tugu Hargo Dumilah. 



Kami pun duduk-duduk dahulu di kaki tugu sebelum mendapat kesempatan berfoto sambil sesekali mengambil foto pemandangan dari puncak Lawu. Dan kemudian Rising menunjukkan padaku surprise yang dia maksud tadi. Surprise itu berupa tulisan namaku di Tugu Hargo Dumilah. Bukan, bukan tulisan yang ditulis menggunakan pilox atau tipe-x yang biasanya digunakan oknum kurang bertanggung jawab. Namaku tercetak bersebelahan sisi dengan tulisan Puncak Lawu, Hargo Dumilah. Benar-benar tercetak. Tercetak sebagai salah satu sponsor (mungkin) dalam pembangunan tugu ini dahulu. KIKY, salah satu merk buku tulis yang juga kupakai saat sekolah, tercetak manis di Tugu Hargo Dumilah. Ah, nampaknya sekarang aku tahu mengapa aku ingin sekali mendaki Lawu. Panggilan nama, kurasa :p



Belum puas berfoto sebenarnya. Tapi karena nampaknya kesempatan eksklusif tak menunjukkan tanda-tanda akan tiba, kami pun memutuskan untuk menyudahi. Selamat tinggal Hargo Dumilah. Sampai berjumpa lagi di lain kesempatan, insyaAlloh.



Aku melangkah ringan menuruni setapak. Senang :D. Kabut mulai bergerak, semakin tebal. Sesampainya di Pos 5, kami pun mengganjal perut dahulu sebelum bergerak turun. Nampak lagi burung Jalak Lawu di sekitar tenda kami. Burung yang juga kami jumpai melompat-lompat di jalan setapak saat kami memulai pendakian kemarin. Burung ini nampak sangat ramah, terbukti tak merasa terganggu berada dekat-dekat dengan manusia. Konon, dinamai Jalak Lawu karena merupakan fauna tetap penghuni Lawu.



Belum lewat tengah hari ketika kami beranjak turun. Kabut masih nampak disana-sini. Tangga batu yang semalam tampak samar, kini terlihat begitu jelas. Ah begini rupanya bebatuan yang kami daki semalam. Dan kurang beruntung, aku terpeleset hingga jatuh menggelundung. Yak! Terima kasih batu. Aku tak harus merosot begitu jauh ke bawah karena ditahan batu. Namun ternyata efek benturan yang terjadi di lutut nampaknya tak berdampak lokal, sistemik. Sakit yang sangat membuat gerakanku menjadi terbatas. Dan sempurnalah ketika hujan mulai turun. Yang kulakukan kemudian hanyalah berusaha terus bergerak sembari meneguhkan hati. Kebas. Maaf teman-teman, bila kemudian aku mendadak menjadi pendiam :p

Dan begitulah. Sampai jua kami di basecamp. Lepas bersih-bersih badan, kami mengisi kembali energi dengan makan di warung yang kemarin sambil mengulang cerita ketika berada di gunung. Kemudian tibalah saat yang menjadi jodoh pertemuan, perpisahan. Aku, Saras dan Rising kembali ke Solo, sedang Mas Dhanny kembali ke Madiun.



Terima kasih Saras, untuk permulaan perkenalan kita yang tak biasa, yang kemudian menjadikan perjalanan ini ada. Terima kasih Rising, untuk kebaikan, kesabaran dan juga “surprise”nya :D. Terima kasih Mas Dhanny, untuk kebaikan dan kerepotan yang saya hadirkan :p. Terima kasih kalian, yang menjadikan perjalanan Lawu ini menjadi tidak biasa :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar