Rabu, 09 Januari 2013

3676 mdpl (5~habis): 15 menit saja [Mahameru]


you don't need to climb a mountain to know that it's high
[ Paulo Coelho ]



SUMMIT ATTACK!

Tibalah saatnya kami berada di batas vegetasi Gunung Semeru. Dimana kini kami harus terus menatap pasir dan batu. Tak ada pohon dan rumput apalagi danau. Dan perjuangan yang sesungguhnya pun baru akan dimulai.

Tak pernah mudah melewati track yang berpasir dan berbatu seperti itu. Naik 3 langkah, turun 2 langkah. Melorot.  Apalagi kami dilarang menginjak batu. Kami pun benar-benar memilih dan memilah apa yang akan kami injak. Dan harus selalu waspada bila ada yang meneriakkan batu/rock dari atas. Sudah menjadi semacam aturan tak tertulis di Semeru bila ada yang menginjak batu kemudian batu itu menggelinding ke bawah maka dia wajib memperingatkan yang berada di bawah dengan berteriak batu/rock. Yang melihat dan mendengarnya pun demikian adanya, meneruskan memperingatkan ke bawah sambil melindungi diri.

Hari masih gelap. Kami bertujuh bersama ratusan pendaki berjalan dan bahkan merangkak di atas pasir Semeru. Merangkak? Ya, kami merangkak layaknya Spiderman yang sedang berjalan menempel di dinding bangunan. Sebab ternyata dengan merangkak ternyata lebih cepat dan lebih mudah daripada berjalan.

Teza dan Teh Nadia merangkak
Kami merangkak dan terus merangkak. Hingga terdengar suara teriakan bersahutan ‘batu’. Aku pun melongok ke atas, tak melihat apa pun tapi tetap berusaha melindungi diri dengan melompat ke arah kanan dan menutupi kepala dengan kedua tangan. Teza sepertinya sempat melihat si batu menggelinding itu. Lumayan besar katanya. Huffff.... Setelah deg-degannya selesai kami pun lanjut merangkak. Mendengar kabar dari atas bahwa ada yang terluka terkena batu dan baru di perban. Di perban? Berarti lukanya cukup besar. Entah benar atau tidaknya namun hal itu cukup membuatku merinding mendengarnya. Ya Allah, lindungi kami semua....

Tidak berapa lama, semburat sang fajar mulai nampak. Cahaya mulai menerangi sehingga kami bisa melihat pasir dan batu dengan jelas. Headlamp pun dimatikan. Kami meyakini waktu Subuh sudah tiba, maka kami sepakat untuk sholat terlebih dahulu sebelum meneruskan pendakian. Kami memilih tempat yang berada di pinggir, agar tak mengganggu pendaki yang lain. Dengan menggunakan pasir Semeru kami bertayamum. Duduk di pasir, kami pun sholat Subuh. Istimewa sekali sholat subuh kala itu. Berada di ketinggian diatas 3000 mdpl, duduk di atas gunung pasir beratapkan langit, merasakan desau angin fajar, syahdu sekali.


sesaat setelah sholat subuh
Selesai sholat kami meneruskan perjuangan. Diperkirakan kami berada di ketinggian 3300 hingga 3400 mdpl ketika kami beristirahat lagi. Tiba-tiba saja Kang Arai melepas kupluknya dan berkata, “ Kiki, akang sampai disini saja”. Sontak aku kaget. Puncak tak lama lagi. Tapi Kang Arai memilih untuk berhenti di ketinggian ini. Aku tak paham benar apa alasan sebenarnya Kang Arai, tapi aku yakin dia memiliki pertimbangannya sendiri. Kang Dian sempat berucap tak muncak satu, lainnya juga enggak. Tapi Kang Arai menolak mentah-mentah. Katanya kami harus tetap melanjutkan perjuangan sampai puncak. Cukup lama kami berdebat tentang hal itu. Hingga akhirnya diputuskan aku, Teza, Teh Nadia dan Kang Dian tetap naik sedangkan Kang Arai akan ditemani Kang Andi turun ke Kalimati. Karena logistik dan P3K dibawa oleh Mas David yang sudah berada di atas kami, aku pun membekali Kang Arai seada-adanya dengan betadine juga madu. Sedih sekali rasanya waktu itu. Sudah hampir mau menangis malah. Kami sudah berjuang bersama-sama sejak dari bawah. Dan karena formasi yang sudah ditetapkan yakni Kang Arai yang berjalan di depanku, maka Kang Arai lah yang selama perjalanan banyak membantuku. Berat sekali harus berpisah dengan Kang Arai kala itu.

moment sebelum berpisah :'(
Tapi perjuangan kami terus dilanjutkan. Tak berapa jauh, kami melihat sosok Mas David. Dia pun menanyakan keberadaan Kang Andi dan Kang Arai. Kami menceritakan kejadian beberapa menit yang lalu. Dan disinilah terjadi perundingan kembali. Mas David bilang,” Kalo mau ke puncak, aku temenin. Tapi jalannya harus ngejoss, jam 7 sudah harus sampai puncak. Gimana?”. Aku melihat jam tangan. Hah? jam 6 kurang. Apa iya dalam waktu 1 jam bisa sampai puncak. Aku mendongak. Melihat gunung pasir yang entah puncaknya dimana. Tapi aku optimis saja. Teringat kata Kang Arai ketika mendapat kabar jalur pendakian Semeru ditutup. Yang penting usaha maksimal dulu. Berjalan dulu. Mau jam 7 sampai atau tidak yang penting usaha dulu. Aku pun menyanggupi syarat dari Mas David. Teza, Teh Nadia dan Kang Dian gamang. Aku tahu benar Teza sebenarnya ingin, ingin sekali berada di Mahameru. Aku pun yakin sebenarnya dia masih sanggup. Tapi angka ‘7’ membuatnya ragu. Khawatir tidak bisa sampai tepat waktu, maka Teza pun memilih untuk tidak meneruskan pendakian. Pun begitu adanya dengan Teh Nadia dan Kang Dian. Ah, berat sekali rasanya tanpa mereka.

Akhirnya aku dan Mas David pun berjalan. Setengah jam selanjutnya aku masih memiliki energi yang cukup untuk berjalan dan merangkak layaknya sebelumnya. Setengah jam selanjutnya aku sudah mulai lelah, benar-benar lelah. Batas waktu yang ditentukan dan minimnya waktu istirahat yang ditoleransi Mas David membuatku tak bisa bersantai-santai lama. Jalan dan terus berjalan. Merangkak dan terus merangkak. Dan 15 menit terakhir adalah waktu yang benar-benar menguras energi fisik, otak juga hati. Terhitung 6 jam lebih kami berjalan sejak dari Kalimati tengah malam tadi, jelas saja lelah itu ada dalam kami. Namun begitu, otakku terus melogika bahwa banyak sekali orang bisa sampai sana, Mahameru, maka aku pun akan bisa bila diusahakan. Dan dalam keadaan demikian, hati manusia terkadang tak lantas memberi dukungan kepada salah satunya, fisik atau otak. Maka di 15 menit terakhir itu frustasi dan putus asa menjadi tipis sekali batasnya.

Para pendaki yang kami jumpai berkata puncak sebentar lagi. Sudah mau pingsan saja rasanya. Tapi toh aku terseok-seok masih berjalan. Dengan sisa-sisa energi yang kumiliki dibantu dengan sedikit paksaan dari Mas David, sampailah aku di batu terakhir dimana dibaliknya adalah puncak Semeru, Mahameru.

Allahuakbar! Subhanallah! Aku pun langsung menjatuhkan diri. Tergeletak di tanah. Minim energi. Saat itulah Mas David berkata, “ Jam 7:30 kita turun”. Aku melihat jam tanganku. 7:15. What?? Pingsan aja deh pengennya -_-

Aku tahu, sepenuhnya tahu, tujuan Mas David tak buruk. Dia tidak mau kami membuat kawan-kawan kami yang dibawah menunggu terlalu lama. Iya, aku paham.

15 menit yang berharga tak mau kusiakan. Aku pun beranjak dari tanah. Masih terseok mengumpulkan ceceran energi yang tersisa. Mengabadikan yang ada disana, di 3676 mdpl, tanah tertinggi Pulau Jawa.

puncak Semeru, Mahameru

in memoriam Soe Hok Gie & Idhan Lubis
07:30 tepat aku menghentikan semua aktifitas memotretku. Aku melihat sekeliling mencari Mas David. Banyaknya orang yang berada di puncak membuatku sulit menemukannya. Akhirnya kuputuskan untuk menunggu Mas David di ujung jalan turun. Beberapa menit kemudian datanglah Mas David. Ketiduran katanya heuuu -_-. Kami duduk sejenak melihat apa yang terlihat dari atas. Kalau kukatakan sejenak bersama Mas David, itu sejenak yang sesungguhnya. Sebab tentu saja si tangguh itu takkan berlama-lama bersantai. Dan kemudian, kami pun turun. Selamat tinggal Mahameru. Sampai bertemu lagi di hari ketika tak hanya 15 menit yang kumiliki, di hari ketika aku bisa berdiri bersama sahabatku. Disini, di 3676 mdpl, Mahameru.

1 komentar: