Sudah lama sekali sejak kali
terakhir saya menulis di blog. Dua tahun berlalu sejak postingan terakhir.
Rasanya agak canggung ketika akan memulai kembali. Semoga setelah dua tahun
yang sibuk oleh beberapa urusan yang menjadi prioritas, saya dapat lebih rajin
menulis seperti dulu.
***
Adat biaso kito pakai, limbago nan samo dituang, nan elok samo dipakai nan buruak samo dibuang.
Yang baik sama dipakai, yang buruk sama ditinggalkan.
-Anonim
Bukittinggi
Siapa sangka keinginan saya
bertahun-tahun yang lalu untuk pergi ke Bukittinggi terwujud tahun ini. Bila
belum bisa melihat Big Ben yang asli, bolehlah suatu saat melihat Jam Gadang,
pikir saya waktu itu. Dan sekali lagi, Tuhan mewujudkan harapan saya dengan
caraNya yang sangat gamblang. Bahkan ketika saya hampir lupa pernah memiliki
keinginan itu.
Kamis, 15 November 2018
Perjalanan saya dan suami dimulai
dari Pekanbaru, rumah mertua. Butuh waktu kurang lebih 6 jam bermobil
untuk sampai di kota Bukittinggi. Dengan rute Bangkinang, Kuok, Payakumbuh dan
Jalan Sumatera Barat-Riau kami disuguhi pemandangan sungai besar serta
perbukitan yang memanjakan mata. Ah, dan tidak lupa kami pun melewati jalan
kelok Sembilan yang terkenal itu. Tak seperti yang tampak di foto-foto lama,
Kelok Sembilan saat ini telah dipenuhi oleh pedagang dan beragam spot foto yang katanya sedang kekinian.
Sekitar pukul 16:30 kami pun
sampai dengan selamat di Zaky Guest House, penginapan yang kami pesan
secara online . Pemilik penginapan
yang bernama Pak Zaky ini sangat baik hati, beliau mengurus sendiri segala hal di penginapannya termasuk memasang sprai baru, mengganti galon hingga
mengantar sarapan. Zaky Guest House
pun sepertinya sedang melebarkan sayap, terbukti dengan pembangunan bangunan
baru untuk menambah jumlah kamar yang dapat disewa. Kami termasuk yang mendapat
kamar baru. Bangunan didesain seperti rumah dengan beberapa kamar dengan kamar
mandi dalam, satu ruang tengah untuk makan dan menonton televisi serta sebuah
dapur untuk digunakan bersama. Sebenarnya Pak Zaky juga menyewakan sepeda
motor, hal itu menjadi salah satu pertimbangan kami memilih menginap di Zaky Guest House selain akses mudah ke Jam
Gadang dan harga sewa yang bersahabat. Tapi sebelum kedatangan kami, motor Pak Zaky ‘digondol’ oleh pelanggannya sehingga Pak Zaky masih
enggan menyewakan motor lagi.
Jalan-jalan kami mulai setelah
isya. Agenda kami adalah mencari persewaan motor dan melihat Jam Gadang di
malam hari. Menyewa motor di Bukittinggi ternyata sulit sekali. Warga
Bukittinggi tidak mudah percaya pada turis lokal karena banyaknya kasus
kriminal seperti motor yang dibawa ‘lari’ oleh sang penyewa. Karena tidak
berhasil mendapatkan motor untuk disewa, jadilah kami berjalan-jalan saja
menuju Jam Gadang. Sayang seribu sayang, Jam Gadang sedang dalam proses
renovasi sehingga sekelilingnya diberi pagar dari seng.
Jum’at, 16 November 2018
Selamat pagi, Bukittinggi!
Hari kedua semoga lebih
beruntung. Kami mengawali pagi dengan berjalan kaki kembali mencari persewaan
motor. Bukannya mendapat motor sewaan, kami justru menemukan gang menuju
benteng Fort de Kock. Ah, lupakan soal motor, ayo jalan(-jalan)!
Benteng Fort de Kock
Sepi ketika kami sampai di
kawasan Benteng Fort de Kock. Hanya ada satu dua orang pengunjung selain kami
berdua. Dengan membayar tiket seharga lima belas ribu rupiah untuk satu orang,
kami bisa berkeliling di kawasan Benteng Fort de Kock sekaligus Taman Margasatwa
dan Budaya Kinantan.
Benteng Fort de Kock menjadi saksi kegigihan pasukan Paderi yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol dalam melawan
pasukan Hindia Belanda. Benteng yang berada di puncak Bukit Jirek ini
didirikan sekitar tahun 1825
oleh Johan Heinrich Conrad Bauer yang saat itu memimpin salah satu satuan
pasukan tentara Hindia-Belanda ke wilayah pedalaman Sumatera Barat. Nama lokasi ini didedikasikan Bauer kepada
pejabat Letnan Gubernur Jenderal Hindia-Belanda yang sekaligus Komandan Militer
kala itu, Hendrik Merkus Baron de Kock.
Sejarah Perang Paderi
(1803–1838) dimulai oleh pertikaian antara Kaum Adat yang masih berpegang adat lama dan
Kaum Paderi yang berpegang pada syariat Islam berujung pada masuknya tentara
Hindia-Belanda ke dalam konflik tersebut. Pemerintah
Hindia-Belanda yang dimintai bantuan oleh Kaum Adat dengan leluasa mendirikan
sejumlah benteng di wilayah dataran tinggi Minangkabau untuk
mengalahkan Kaum Paderi, di antaranya Fort de Kock di Bukittinggi dan Fort van
der Capellen di Batusangkar. Perjanjian kerjasama antara Kaum Adat dan
Hindia-Belanda tersebut pada akhirnya berbalik merugikan Kaum Adat sendiri dan
menyebabkan runtuhnya Kerajaan Pagaruyung.
Bangunan yang kami kunjungi boleh
dikatakan tidak mirip dengan benteng karena memang hampir tidak ada yang
tersisa dari bangunan asli benteng yang terletak sekitar 1 km di sebelah utara
Jam Gadang ini. Pemandangan yang terlihat hanya sisa-sisa parit yang pernah ada
di benteng tersebut. Di atas area benteng ini, kini berdiri sebuah bangunan
bercat krem yang dapat
digunakan oleh pengunjung untuk melihat pemandangan sekeliling Kota
Bukittinggi. Karena ketiadaan wujud dari benteng aslinya, bangunan berbentuk kotak inilah yang sering
diabadikan orang dalam foto-foto perjalanan mereka ketika mengunjungi Benteng Fort de Kock.
Jambatan Limpapeh
Puas mengelilingi area di sekitar Benteng Fort de Kock, kami melanjutkan
perjalanan ke Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan. Kedua tempat ini
dihubungkan oleh sebuah jembatan yang populer di Bukittinggi, Jambatan (jembatan)
Limpapeh.
Jambatan Limpapeh yang menggantung di atas Jalan Ahmad Yani ini memiliki
panjang 90 meter. Dengan sign besar
berwarna merah bertuliskan ‘Jambatan Limpapeh’, jembatan ini cukup fotogenik sehingga
banyak turis yang berfoto dengan latar sign
tersebut. Pada bagian tengah jembatan terdapat gardu
menyerupai rumah adat Minangkabau berukuran kecil dengan atap gonjong yang
khas, hal yang mungkin tidak ditemui di jembatan di daerah lain. Dari atas
Jembatan Limpapeh, wisatawan dapat melihat pemandangan kota Bukittinggi yang
cukup padat dan khas dengan atap-atap gonjong di beberapa tempat.
Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan
Taman Margasatwa dan Budaya
Kinantan yang dibangun sekitar tahun 1900-an ini merupakan salah satu kebun
binatang tertua di Indonesia. Pada mulanya taman ini hanya berupa taman biasa
tanpa koleksi binatang, namun berangsur-angsur koleksi binatang pun dimasukkan
sehingga pada tahun 1929 resmi menjadi kebun binatang. Wisatawan dapat melihat
koleksi binatang yang cukup banyak di taman ini. Bermacam burung, tapir, beruang,
harimau, rusa, ular, ikan dan banyak lagi.
Museum Zoologi |
Sesuai dengan namanya, taman ini
tak hanya berisi koleksi binatang. Di dalamnya dibangun pula Rumah Adat
Baanjuang, rumah adat Minangkabau yang menyimpan beraneka ragam koleksi
peninggalan budaya dan sejarah masyarakat Minang seperti pakaian adat,
perhiasan, peralatan rumah tangga, peralatan pertanian, alat musik serta
alat-alat kesenian lainnya.
Rumah Adat Baanjuang |
Wisatawan juga dapat menyewa
pakaian adat di Rumah Adat Baanjuang ini untuk kemudian berfoto-foto di kawasan
wisata. Saya pun penasaran ingin merasakan bagaimana sensasi menggunakan
suntiang, hiasan kepala yang dipakai pengantin wanita minang. Dengan biaya sewa dua puluh ribu rupiah saya pun dibantu memakai pakaian pengantin wanita adat minang
lengkap dengan suntiangnya untuk kemudian berfoto layaknya pengantin minang.
Jam Gadang
Sudah menjelang waktu sholat
jumat ketika kami meninggalkan Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan. Tak berapa
jauh berjalan, kami pun menemukan masjid di seberang Pasar Atas, Masjid Raya
Bukittinggi. Selepas sholat jumat, kami berkeliling di Pasar Atas. Beli apa?
Beli daster bergambar Jam Gadang :)))). Barulah setelah itu kami berjalan
menuju Jam Gadang sekedar melihat-lihat dari jauh (karena tak bisa masuk).
Jam Gadang yang merupakan landmark kota Bukittinggi menjadi
destinasi favorit pelancong dari berbagai daerah. Nama Gadang berasal dari
bahasa Minang yang berarti “besar”, sesuai untuk menggambarkan jam yang
berdiameter 80 cm dan ditempatkan di empat sisi menara setinggi 26 meter.
Berlokasi di pusat kota Bukittinggi, Jam Gadang dikelilingi oleh Pasar Atas,
Pasar Bawah, Plaza Bukittinggi dan Istana Bung Hatta.
Dibangun pada masa penjajahan
Belanda, Jam Gadang dimaksudkan sebagai kado dari Ratu Belanda kepada sekretaris
kota Bukittinggi, Rook Marker. Bahkan, jam ini didatangkan langsung dari
Belanda dan konon katanya mesin jam ini dibuat eksklusif hanya dua saja di
dunia yaitu Big Ben di London dan Jam Gadang di Bukittinggi. Hal yang unik dari
Jam Gadang ini adalah angka romawi IV yang tertulis IIII. Beragam versi cerita
pun beredar di masyarakat terkait hal tersebut. Tidak diketahui dengan pasti
kebenarannya.
Tidak banyak yang dapat saya
ceritakan tentang ruang-ruang yang ada di dalam menara Jam Gadang karena proses
renovasi yang tengah berlangsung. Semoga ada kesempatan lain untuk berkunjung kembali dan naik ke menara Jam Gadang.
Lobang Jepang
Lobang (goa) Jepang menjadi salah
satu destinasi yang menarik untuk dikunjungi di kawasan Taman Panorama
Bukittinggi selain Jam Gadang dan Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan. Masih
berada satu kawasan dengan Jam Gadang, lokasi ini bisa ditempuh dengan 15 menit
berjalan kaki atau sekitar 5 menit bermobil. Lobang Jepang merupakan sebuah
terowongan perlindungan yang dibangun pada masa pendudukan Jepang untuk
kepentingan pertahanan. Banyak tenaga kerja paksa atau romusha dari pulau Jawa,
Kalimantan, dan Sulawesi yang dikerahkan untuk menggali terowongan ini. Kenapa
tidak ada pekerja dari Bukittinggi? Konon ini merupakan strategi Jepang untuk
menjaga kerahasiaan proyek pembangunan.
Pintu masuk Lobang Jepang |
Wisatawan dapat meminta jasa
pemandu untuk menemani menyusuri Lobang Jepang. Kami berdua sih masuk saja
tanpa pemandu :))) . Perlu menuruni lebih dari seratus anak tangga untuk sampai
di dasar goa. Setelah itu kami disambut lorong-lorong panjang yang
remang-remang. Beberapa lampu kuning
dipasang di tiap jarak tertentu di sepanjang goa untuk memandu. Untuk
keperluan wisata, lorong Lobang Jepang hanya dibuka sepanjang kurang lebih 1,5
kilometer. Terdapat pembagian ruang-ruang di Lobang Jepang seperti Ruang
Amunisi, Pintu Pelarian, Barak Militer, Ruang Rapat, Ruang Makan, Penjara,
Dapur, dan Pintu Penyergapan. Kata masbojo, dulu dinding di Lobang Jepang tidak
seperti saat kami kunjungi. Sepertinya renovasi masih terus dilakukan di Lobang Jepang untuk mempercantik kawasan
wisata tersebut dan bahkan masih ada pekerja saat kami berkunjung.
Panorama Ngarai Sianok
Masih berada di kawasan Taman
Panorama, wisatawan dapat menikmati eloknya pemandangan Ngarai Sianok dari
kejauhan. Ngarai Sianok adalah sebuah lembah sempit yang dikelilingi
bukit-bukit bertebing curam dengan aliran sungai di tengahnya. Lembah Sianok
terbentuk karena proses turunnya sebagian lempengan bumi yang membentuk patahan
berwujud jurang yang curam. Kicau burung, gemericik air, hijau pepohonan, udara
sejuk dan nyaman adalah komposisi indah yang menyusun panorama cantik Ngarai
Sianok.
Taruko Café
Sambil menikmati sejuknya udara
di Taman Panorama, kami mencoba daring mencari tempat wisata lain yang cukup
dekat dengan lokasi kami. Masih terlalu awal untuk pulang ke penginapan. Tapi
tak cukup banyak waktu untuk mendaki ratusan anak tangga di Janjang Saribu.
Taruko Café adalah jawabannya. Sebuah café di lembah Ngarai Sianok yang tidak
hanya menyajikan makanan dan minuman yang membuat kenyang, tapi juga menyajikan
pemandangan indah yang membuat mata senang.
Bangunan café ini terbuat dari
kayu dengan tepian café yang sengaja dibuat cukup lebar untuk menjadi meja
sehingga para pengunjung dapat menikmati sajian café dengan panorama langsung
menghadap sungai dan tebing Ngarai Sianok.
Taruko Cafe |
Di sudut halaman café terdapat
bangunan yang mirip dengan Rangkiang khas Minangkabau, ayunan kayu, dan perahu
kecil. Properti yang lengkap dengan latar sungai dan tebing Ngarai Sianok cocok
untuk mereka yang hobi berfoto. Saya dan suami betah sekali berada di café ini.
Ditemani coklat panas dan teh talua, kami merasa Taruko adalah tempat yang
sempurna untuk menikmati sore.
Sabtu, 17 November 2018
Hari terakhir di Bukittinggi.
Saatnya kembali ke Pekanbaru. Meskipun hanya sehari, nyatanya banyak tempat
menarik di Bukittinggi yang dapat dikunjungi. Terima kasih Bukittinggi, semoga suatu saat diberi kesempatan mengunjungi tempat menarik lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar