Minggu, 23 Desember 2018

Sehari di Bukittinggi


Sudah lama sekali sejak kali terakhir saya menulis di blog. Dua tahun berlalu sejak postingan terakhir. Rasanya agak canggung ketika akan memulai kembali. Semoga setelah dua tahun yang sibuk oleh beberapa urusan yang menjadi prioritas, saya dapat lebih rajin menulis seperti dulu.

***


Adat biaso kito pakai, limbago nan samo dituang, nan elok samo dipakai nan buruak samo dibuang.
Yang baik sama dipakai, yang buruk sama ditinggalkan.
-Anonim

Bukittinggi

Siapa sangka keinginan saya bertahun-tahun yang lalu untuk pergi ke Bukittinggi terwujud tahun ini. Bila belum bisa melihat Big Ben yang asli, bolehlah suatu saat melihat Jam Gadang, pikir saya waktu itu. Dan sekali lagi, Tuhan mewujudkan harapan saya dengan caraNya yang sangat gamblang. Bahkan ketika saya hampir lupa pernah memiliki keinginan itu.

Kamis, 15 November 2018

Perjalanan saya dan suami dimulai dari Pekanbaru, rumah mertua. Butuh waktu kurang lebih 6 jam bermobil untuk sampai di kota Bukittinggi. Dengan rute Bangkinang, Kuok, Payakumbuh dan Jalan Sumatera Barat-Riau kami disuguhi pemandangan sungai besar serta perbukitan yang memanjakan mata. Ah, dan tidak lupa kami pun melewati jalan kelok Sembilan yang terkenal itu. Tak seperti yang tampak di foto-foto lama, Kelok Sembilan saat ini telah dipenuhi oleh pedagang dan beragam spot foto yang katanya sedang kekinian.

Sekitar pukul 16:30 kami pun sampai dengan  selamat di Zaky Guest House, penginapan yang kami pesan secara online . Pemilik penginapan yang bernama Pak Zaky ini sangat baik hati, beliau mengurus sendiri segala hal di penginapannya termasuk memasang sprai baru, mengganti galon hingga mengantar sarapan. Zaky Guest House pun sepertinya sedang melebarkan sayap, terbukti dengan pembangunan bangunan baru untuk menambah jumlah kamar yang dapat disewa. Kami termasuk yang mendapat kamar baru. Bangunan didesain seperti rumah dengan beberapa kamar dengan kamar mandi dalam, satu ruang tengah untuk makan dan menonton televisi serta sebuah dapur untuk digunakan bersama. Sebenarnya Pak Zaky juga menyewakan sepeda motor, hal itu menjadi salah satu pertimbangan kami memilih menginap di Zaky Guest House selain akses mudah ke Jam Gadang dan harga sewa yang bersahabat. Tapi sebelum kedatangan kami, motor Pak Zaky ‘digondol’ oleh pelanggannya sehingga Pak Zaky masih enggan menyewakan motor lagi.

Jalan-jalan kami mulai setelah isya. Agenda kami adalah mencari persewaan motor dan melihat Jam Gadang di malam hari. Menyewa motor di Bukittinggi ternyata sulit sekali. Warga Bukittinggi tidak mudah percaya pada turis lokal karena banyaknya kasus kriminal seperti motor yang dibawa ‘lari’ oleh sang penyewa. Karena tidak berhasil mendapatkan motor untuk disewa, jadilah kami berjalan-jalan saja menuju Jam Gadang. Sayang seribu sayang, Jam Gadang sedang dalam proses renovasi sehingga sekelilingnya diberi pagar dari seng.

Jum’at, 16 November 2018

Selamat pagi, Bukittinggi!
Hari kedua semoga lebih beruntung. Kami mengawali pagi dengan berjalan kaki kembali mencari persewaan motor. Bukannya mendapat motor sewaan, kami justru menemukan gang menuju benteng Fort de Kock. Ah, lupakan soal motor, ayo jalan(-jalan)!


Benteng Fort de Kock


Sepi ketika kami sampai di kawasan Benteng Fort de Kock. Hanya ada satu dua orang pengunjung selain kami berdua. Dengan membayar tiket seharga lima belas ribu rupiah untuk satu orang, kami bisa berkeliling di kawasan Benteng Fort de Kock sekaligus Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan. 

Benteng Fort de Kock menjadi saksi kegigihan pasukan Paderi yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol dalam melawan pasukan Hindia Belanda. Benteng yang berada di puncak Bukit Jirek ini didirikan sekitar tahun 1825 oleh Johan Heinrich Conrad Bauer yang saat itu memimpin salah satu satuan pasukan tentara Hindia-Belanda ke wilayah pedalaman Sumatera Barat. Nama lokasi ini didedikasikan Bauer kepada pejabat Letnan Gubernur Jenderal Hindia-Belanda yang sekaligus Komandan Militer kala itu, Hendrik Merkus Baron de Kock.

Sejarah Perang Paderi (1803–1838) dimulai oleh pertikaian antara Kaum Adat yang masih berpegang adat lama dan Kaum Paderi yang berpegang pada syariat Islam berujung pada masuknya tentara Hindia-Belanda ke dalam konflik tersebut. Pemerintah Hindia-Belanda yang dimintai bantuan oleh Kaum Adat dengan leluasa mendirikan sejumlah benteng di wilayah dataran tinggi Minangkabau untuk mengalahkan Kaum Paderi, di antaranya Fort de Kock di Bukittinggi dan Fort van der Capellen di Batusangkar. Perjanjian kerjasama antara Kaum Adat dan Hindia-Belanda tersebut pada akhirnya berbalik merugikan Kaum Adat sendiri dan menyebabkan runtuhnya Kerajaan Pagaruyung.

Bangunan yang kami kunjungi boleh dikatakan tidak mirip dengan benteng karena memang hampir tidak ada yang tersisa dari bangunan asli benteng yang terletak sekitar 1 km di sebelah utara Jam Gadang ini. Pemandangan yang terlihat hanya sisa-sisa parit yang pernah ada di benteng tersebut. Di atas area benteng ini, kini berdiri sebuah bangunan bercat krem yang dapat digunakan oleh pengunjung untuk melihat pemandangan sekeliling Kota Bukittinggi. Karena ketiadaan wujud dari benteng aslinya, bangunan berbentuk kotak inilah yang sering diabadikan orang dalam foto-foto perjalanan mereka ketika mengunjungi Benteng Fort de Kock. 

Jambatan Limpapeh

Puas mengelilingi area di sekitar Benteng Fort de Kock, kami melanjutkan perjalanan ke Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan. Kedua tempat ini dihubungkan oleh sebuah jembatan yang populer di Bukittinggi, Jambatan (jembatan) Limpapeh.


Jambatan Limpapeh yang menggantung di atas Jalan Ahmad Yani ini memiliki panjang 90 meter. Dengan sign besar berwarna merah bertuliskan ‘Jambatan Limpapeh’, jembatan ini cukup fotogenik sehingga banyak turis yang berfoto dengan latar sign tersebut. Pada bagian tengah jembatan terdapat gardu menyerupai rumah adat Minangkabau berukuran kecil dengan atap gonjong yang khas, hal yang mungkin tidak ditemui di jembatan di daerah lain. Dari atas Jembatan Limpapeh, wisatawan dapat melihat pemandangan kota Bukittinggi yang cukup padat dan khas dengan atap-atap gonjong di beberapa tempat.


Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan

Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan yang dibangun sekitar tahun 1900-an ini merupakan salah satu kebun binatang tertua di Indonesia. Pada mulanya taman ini hanya berupa taman biasa tanpa koleksi binatang, namun berangsur-angsur koleksi binatang pun dimasukkan sehingga pada tahun 1929 resmi menjadi kebun binatang. Wisatawan dapat melihat koleksi binatang yang cukup banyak di taman ini. Bermacam burung, tapir, beruang, harimau, rusa, ular, ikan dan banyak lagi.

Museum Zoologi

Sesuai dengan namanya, taman ini tak hanya berisi koleksi binatang. Di dalamnya dibangun pula Rumah Adat Baanjuang, rumah adat Minangkabau yang menyimpan beraneka ragam koleksi peninggalan budaya dan sejarah masyarakat Minang seperti pakaian adat, perhiasan, peralatan rumah tangga, peralatan pertanian, alat musik serta alat-alat kesenian lainnya.

Rumah Adat Baanjuang

Wisatawan juga dapat menyewa pakaian adat di Rumah Adat Baanjuang ini untuk kemudian berfoto-foto di kawasan wisata. Saya pun penasaran ingin merasakan bagaimana sensasi menggunakan suntiang, hiasan kepala yang dipakai pengantin wanita minang. Dengan biaya sewa dua puluh ribu rupiah saya pun dibantu memakai pakaian pengantin wanita adat minang lengkap dengan suntiangnya untuk kemudian berfoto layaknya pengantin minang.






Jam Gadang

Sudah menjelang waktu sholat jumat ketika kami meninggalkan Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan. Tak berapa jauh berjalan, kami pun menemukan masjid di seberang Pasar Atas, Masjid Raya Bukittinggi. Selepas sholat jumat, kami berkeliling di Pasar Atas. Beli apa? Beli daster bergambar Jam Gadang :)))). Barulah setelah itu kami berjalan menuju Jam Gadang sekedar melihat-lihat dari jauh (karena tak bisa masuk).


Jam Gadang yang merupakan landmark kota Bukittinggi menjadi destinasi favorit pelancong dari berbagai daerah. Nama Gadang berasal dari bahasa Minang yang berarti “besar”, sesuai untuk menggambarkan jam yang berdiameter 80 cm dan ditempatkan di empat sisi menara setinggi 26 meter. Berlokasi di pusat kota Bukittinggi, Jam Gadang dikelilingi oleh Pasar Atas, Pasar Bawah, Plaza Bukittinggi dan Istana Bung Hatta.





Dibangun pada masa penjajahan Belanda, Jam Gadang dimaksudkan sebagai kado dari Ratu Belanda kepada sekretaris kota Bukittinggi, Rook Marker. Bahkan, jam ini didatangkan langsung dari Belanda dan konon katanya mesin jam ini dibuat eksklusif hanya dua saja di dunia yaitu Big Ben di London dan Jam Gadang di Bukittinggi. Hal yang unik dari Jam Gadang ini adalah angka romawi IV yang tertulis IIII. Beragam versi cerita pun beredar di masyarakat terkait hal tersebut. Tidak diketahui dengan pasti kebenarannya.

Tidak banyak yang dapat saya ceritakan tentang ruang-ruang yang ada di dalam menara Jam Gadang karena proses renovasi yang tengah berlangsung. Semoga ada kesempatan lain untuk berkunjung kembali dan naik ke menara Jam Gadang.

Lobang Jepang

Lobang (goa) Jepang menjadi salah satu destinasi yang menarik untuk dikunjungi di kawasan Taman Panorama Bukittinggi selain Jam Gadang dan Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan. Masih berada satu kawasan dengan Jam Gadang, lokasi ini bisa ditempuh dengan 15 menit berjalan kaki atau sekitar 5 menit bermobil. Lobang Jepang merupakan sebuah terowongan perlindungan yang dibangun pada masa pendudukan Jepang untuk kepentingan pertahanan. Banyak tenaga kerja paksa atau romusha dari pulau Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi yang dikerahkan untuk menggali terowongan ini. Kenapa tidak ada pekerja dari Bukittinggi? Konon ini merupakan strategi Jepang untuk menjaga kerahasiaan proyek pembangunan.

Pintu masuk Lobang Jepang

Wisatawan dapat meminta jasa pemandu untuk menemani menyusuri Lobang Jepang. Kami berdua sih masuk saja tanpa pemandu :))) . Perlu menuruni lebih dari seratus anak tangga untuk sampai di dasar goa. Setelah itu kami disambut lorong-lorong panjang yang remang-remang. Beberapa lampu kuning  dipasang di tiap jarak tertentu di sepanjang goa untuk memandu. Untuk keperluan wisata, lorong Lobang Jepang hanya dibuka sepanjang kurang lebih 1,5 kilometer. Terdapat pembagian ruang-ruang di Lobang Jepang seperti Ruang Amunisi, Pintu Pelarian, Barak Militer, Ruang Rapat, Ruang Makan, Penjara, Dapur, dan Pintu Penyergapan. Kata masbojo, dulu dinding di Lobang Jepang tidak seperti saat kami kunjungi. Sepertinya renovasi masih terus dilakukan  di Lobang Jepang untuk mempercantik kawasan wisata tersebut dan bahkan masih ada pekerja saat kami berkunjung.

Panorama Ngarai Sianok

Masih berada di kawasan Taman Panorama, wisatawan dapat menikmati eloknya pemandangan Ngarai Sianok dari kejauhan. Ngarai Sianok adalah sebuah lembah sempit yang dikelilingi bukit-bukit bertebing curam dengan aliran sungai di tengahnya. Lembah Sianok terbentuk karena proses turunnya sebagian lempengan bumi yang membentuk patahan berwujud jurang yang curam. Kicau burung, gemericik air, hijau pepohonan, udara sejuk dan nyaman adalah komposisi indah yang menyusun panorama cantik Ngarai Sianok.


Taruko Café

Sambil menikmati sejuknya udara di Taman Panorama, kami mencoba daring mencari tempat wisata lain yang cukup dekat dengan lokasi kami. Masih terlalu awal untuk pulang ke penginapan. Tapi tak cukup banyak waktu untuk mendaki ratusan anak tangga di Janjang Saribu. Taruko Café adalah jawabannya. Sebuah café di lembah Ngarai Sianok yang tidak hanya menyajikan makanan dan minuman yang membuat kenyang, tapi juga menyajikan pemandangan indah yang membuat mata senang.

Bangunan café ini terbuat dari kayu dengan tepian café yang sengaja dibuat cukup lebar untuk menjadi meja sehingga para pengunjung dapat menikmati sajian café dengan panorama langsung menghadap sungai dan tebing Ngarai Sianok. 

Taruko Cafe

Di sudut halaman café terdapat bangunan yang mirip dengan Rangkiang khas Minangkabau, ayunan kayu, dan perahu kecil. Properti yang lengkap dengan latar sungai dan tebing Ngarai Sianok cocok untuk mereka yang hobi berfoto. Saya dan suami betah sekali berada di café ini. Ditemani coklat panas dan teh talua, kami merasa Taruko adalah tempat yang sempurna untuk menikmati sore. 


Sabtu, 17 November 2018

Hari terakhir di Bukittinggi. Saatnya kembali ke Pekanbaru. Meskipun hanya sehari, nyatanya banyak tempat menarik di Bukittinggi yang dapat dikunjungi. Terima kasih Bukittinggi, semoga suatu saat diberi kesempatan mengunjungi tempat menarik lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar