Senin, 09 Februari 2015

perempuan di bawah hujan #1



Aku menengadah. Memandang gerimis yang mulai turun dari bawah lampu jalan. Aku merapatkan jaket. Mempercepat langkah. Ingin segera sampai kamar kosku yang meskipun sempit tapi hangat. Gerimis berubah cepat menjadi deras. Aku berlari seolah sedang berlomba dengan hujan yang turun semakin deras. Namun akhirnya aku menyerah. Berteduh di emperan toko mainan anak-anak. Terlihat boneka beruang besar berwarna coklat susu di etalase di belakangku. Sial sekali aku tidak membawa payung. Lupa. 

“ Selalu lupa,” katamu. Aku hanya nyengir. Kau selalu memaafkan tentang aku yang pelupa dan ceroboh. Tidak pernah menyalahkan atau memarahiku. Dan itu membuatku semakin ingin berubah lebih baik lagi.  Setidaknya agar tidak mengecewakanmu. Yah meskipun masih saja gagal. Aku masih pelupa. Dan ceroboh.

Ah, kenangan tentangmu melintas lagi. Aku kembali berlari menembus hujan agar setidaknya ada yang kulakukan untuk menghilangkanmu sejenak dari pikiranku. Tapi hujan benar-benar deras malam ini. Dan kosku masih tujuh menit berjalan kaki santai. Sudah tentu kuyup jadinya bila memaksa menerjang hujan. Aku memutuskan untuk masuk kedai kopi sepuluh langkah dari tempatku sekarang. Berteduh. 

Aku memesan cappuccino panas lantas memilih tempat duduk di tepi jendela yang berhadapan langsung dengan jalan raya. Hangat sekali rasanya berada di dalam ruangan. Tak banyak pengunjung malam ini.  Hanya ada dua orang pria dewasa di pojok kedai, dua orang pemudi di tepi jendela selang satu meja dariku dan sepasang pemuda pemudi di arah jam sebelas. Terlihat mereka berdua sedang tertawa-tawa. Si pemuda mengacak rambut gadisnya. Persis seperti yang kau lakukan padaku bila sedang gemas. Misalnya saat aku mengomel soal rekan kerjaku yang tidak bertanggung jawab meninggalkan pekerjaan semena-mena. Ceritaku begitu menggebu. Aku sedang merasa kesal sekali. Kau mendengarkan dalam diam. Lalu tersenyum. 

“ Kenapa malah senyum?” protesku, cemberut.

“ Sudah, jangan kesal lagi. Lakukan apa yang menjadi tanggung jawabmu saja,” katamu sambil mengacak rambutku. Tersenyum lagi. 

Aku masih cemberut. Kau malah terlihat semakin senang.

“ Ayo ku traktir es krim.” Kau menggandeng tanganku begitu saja. Tanpa menunggu persetujuanku. Yah, meskipun tentu saja aku akan setuju. Siapa yang bisa menolak es krim? Aku memandangmu dari samping. Menyadari dengan tiba-tiba bahwa kau begitu baik. Tak balas marah bahkan ketika aku mengomel padamu tentang sesuatu yang bukan menjadi urusanmu. Pengertianmu justru membuatku merasa malu. Dan semakin menghormatimu. Kesalku mendadak hilang. Aku tersenyum dan mempererat genggaman tanganmu. Kau menoleh, merasakan erat genggamku, lantas tersenyum lagi. Senyum yang akan selalu kurindukan.

“ Silakan cappuccinonya,”  lamunanku buyar ketika pramusaji meletakkan cangkir cappuccino di depanku. Tergagap mengucap terima kasih. Aku menghembuskan nafas panjang dan berusaha kembali pada realita. Berusaha untuk tak merindukanmu. Untuk tidak larut pada sesuatu yang sudah tidak ada. Aku menyobek bungkus gula stik dan hendak memasukkannya ke dalam cangkir. Namun gerakanku terhenti ketika menyadari gambar yang terbentuk di atas foam cappuccino. Sebentuk hati. Hati yang utuh. Sesuatu yang tidak lagi kumiliki sejak kau pergi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar