Aku menengadah. Memandang gerimis yang mulai turun dari
bawah lampu jalan. Aku merapatkan jaket. Mempercepat langkah. Ingin segera
sampai kamar kosku yang meskipun sempit tapi hangat. Gerimis berubah cepat
menjadi deras. Aku berlari seolah sedang berlomba dengan hujan yang turun
semakin deras. Namun akhirnya aku menyerah. Berteduh di emperan toko mainan anak-anak.
Terlihat boneka beruang besar berwarna coklat susu di etalase di belakangku.
Sial sekali aku tidak membawa payung. Lupa.
“ Selalu lupa,” katamu. Aku hanya nyengir. Kau selalu
memaafkan tentang aku yang pelupa dan ceroboh. Tidak pernah menyalahkan atau
memarahiku. Dan itu membuatku semakin ingin berubah lebih baik lagi. Setidaknya agar tidak mengecewakanmu. Yah
meskipun masih saja gagal. Aku masih pelupa. Dan ceroboh.
Ah, kenangan tentangmu melintas lagi. Aku kembali berlari
menembus hujan agar setidaknya ada yang kulakukan untuk menghilangkanmu sejenak
dari pikiranku. Tapi hujan benar-benar deras malam ini. Dan kosku masih tujuh
menit berjalan kaki santai. Sudah tentu kuyup jadinya bila memaksa
menerjang hujan. Aku memutuskan untuk masuk kedai kopi sepuluh langkah dari
tempatku sekarang. Berteduh.
Aku memesan cappuccino panas lantas memilih tempat duduk di
tepi jendela yang berhadapan langsung dengan jalan raya. Hangat sekali rasanya
berada di dalam ruangan. Tak banyak pengunjung malam ini. Hanya ada dua orang pria dewasa di pojok
kedai, dua orang pemudi di tepi jendela selang satu meja dariku dan sepasang
pemuda pemudi di arah jam sebelas. Terlihat mereka berdua sedang tertawa-tawa.
Si pemuda mengacak rambut gadisnya. Persis seperti yang kau lakukan padaku bila
sedang gemas. Misalnya saat aku mengomel soal rekan kerjaku yang tidak
bertanggung jawab meninggalkan pekerjaan semena-mena. Ceritaku begitu menggebu.
Aku sedang merasa kesal sekali. Kau mendengarkan dalam diam. Lalu tersenyum.
“ Kenapa malah senyum?” protesku, cemberut.
“ Sudah, jangan kesal lagi. Lakukan apa yang menjadi
tanggung jawabmu saja,” katamu sambil mengacak rambutku. Tersenyum lagi.
Aku masih cemberut. Kau malah terlihat semakin senang.
“ Ayo ku traktir es krim.” Kau menggandeng tanganku begitu
saja. Tanpa menunggu persetujuanku. Yah, meskipun tentu saja aku akan setuju. Siapa yang bisa menolak es krim? Aku memandangmu dari samping. Menyadari dengan tiba-tiba bahwa kau begitu
baik. Tak balas marah bahkan ketika aku mengomel padamu tentang sesuatu yang
bukan menjadi urusanmu. Pengertianmu justru membuatku merasa malu. Dan semakin
menghormatimu. Kesalku mendadak hilang. Aku tersenyum dan mempererat genggaman
tanganmu. Kau menoleh, merasakan erat genggamku, lantas tersenyum lagi. Senyum
yang akan selalu kurindukan.
“ Silakan cappuccinonya,”
lamunanku buyar ketika pramusaji meletakkan cangkir cappuccino di
depanku. Tergagap mengucap terima kasih. Aku menghembuskan nafas panjang dan
berusaha kembali pada realita. Berusaha untuk tak merindukanmu. Untuk tidak
larut pada sesuatu yang sudah tidak ada. Aku menyobek bungkus gula stik dan
hendak memasukkannya ke dalam cangkir. Namun gerakanku terhenti ketika
menyadari gambar yang terbentuk di atas foam cappuccino. Sebentuk hati. Hati
yang utuh. Sesuatu yang tidak lagi kumiliki sejak kau pergi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar