Jam di tanganku menunjukkan pukul empat kurang lima belas
menit ketika tulisan ini dimulai. Masih tiga jam dan lima belas menit lagi
hingga keretaku sampai di Stasiun Lempuyangan. Dan tiga puluh menit lagi hingga
benar-benar sampai di rumah. Tambahan lagi satu jam bila kereta ini terlambat.
Mengingat kereta ini kerap terlambat. Dan itu berarti hampir dua belas jam aku
berada di kereta. Waktu yang diperlukan dari Banyuwangi untuk sampai di
Jogjakarta atau sebaliknya. Ya, Banyuwangi. Catatanku kali ini tentang
Banyuwangi, kota di ujung timur pulau Jawa. Bukan tanpa alasan aku menghabiskan
cuti tahunan di kotanya suku Osing ini. Dan salah satu dari alasan-alasan itu adalah
Alas Purwo dan Kawah Gunung Ijen.
Kopi yang kupesan sudah dingin. Tampias hujan di jendela
kereta tak banyak lagi tersisa. Otakku bekerja menarik kembali ingatan di
puluhan jam yang lalu.
Hari itu Jumat, 5 Desember 2014. Jam kerja yang lebih pendek
di hari Jumat memberiku banyak keuntungan. Salah satunya bisa bersiap-siap
sebelum berangkat dengan kereta pukul dua lebih enam belas menit. Kereta ini
tak menuju Banyuwangi, tapi Surabaya. Dari Surabaya lantas berganti kereta
menuju Banyuwangi bersama partner. Dengan begitu, hari Sabtu dini hari aku
sudah berada di Banyuwangi. Artinya, menambah waktu liburan.
Aku jarang merasa bosan saat melakukan perjalanan dengan
kereta. Meski itu perjalanan tunggal. Tak banyak memang yang bisa dilakukan di
kereta. Tapi ada banyak hal yang bisa dilihat dan diamati. Terutama mengamati
manusia. Seperti siang itu, di awal perjalananku menuju Surabaya. Sesaat setelah
menemukan tempat dudukku di kereta, datang seorang perempuan bertopi dengan
ransel di punggung dan tas selempang kecil. Teman duduk di sebelahku rupanya.
Diskusi kecil tentang ransel siapa yang diletakkan di atas dan ransel siapa
yang di bawah membawa kami pada beberapa percakapan singkat sesudahnya.
Perempuan asal Magelang itu kutaksir umurnya tak jauh dari umurku. Mungkin
lebih tua satu sampai tiga tahun. Seorang guru sekolah dasar. Profesi yang
tidak bisa kutebak sebelumnya. Pikiranku terlalu sempit membayangkan seorang
guru selalu memakai rok atau celana juga kemeja licin dan rapi. Perempuan di
sebelahku memakai celana katun, kaos, jaket casual berwarna biru, sepatu kets
dan topi. Lebih masuk akal bila menebak dia seorang mahasiswi tingkat akhir.
Berbeda denganku yang begitu duduk lantas mengeluarkan buku, dia justru
memasukkan novel yang tengah dibacanya. Novel bergenre romance yang aku lupa
judulnya. Dia berganti mengeluarkan earphone dan mulai mendengarkan musik.
Lambat laun aku merasa hal itu lebih berguna. Karena kemudian aku seringkali
dikejutkan oleh tawa yang tiba-tiba meledak ketika asyik membaca. Tawa itu
berasal dari rombongan ibu-ibu di deretan belakang dari gerbong yang sama
denganku. Kututup sejenak buku, lantas mulai mengamati rombongan ibu-ibu ini. Sunda adalah bahasa yang mereka pakai. Jadi
aku tak banyak mengerti apa yang mereka perbincangkan. Namun ada beberapa kata
yang diucapkan yang tidak banyak dipakai oleh orang yang berprofesi diluar
bidang kesehatan. Diagnosa awal mereka orang yang bergerak di bidang kesehatan.
Kebanyakan mereka adalah perempuan, ditambah lagi block note yang dipakai oleh
seorang dari mereka produksi sebuah perusahaan penghasil salah satu pil
kontrasepsi, kusimpulkan mereka adalah bidan atau perawat. Bidan mungkin lebih
mendekati. Dan diagnosaku tegak ketika kemudian aku mengobrol dengan salah satu
diantara mereka. Rombongan Ikatan Bidan Indonesia (IBI) wilayah Tasik. Mereka
hendak liburan ke Bromo. Aku meneruskan membaca.
Kota-kota sudah berganti. Cerah berganti gerimis lalu hujan
berganti cerah lagi. Terang menjadi gelap. Kereta terlambat. Hampir sembilan
puluh menit dari jadwal yang seharusnya. Aku berjalan bersama ibu guru teman
dudukku. Dan ketika berpisah kami baru saling bertukar nama. Yuda. Namanya
terdengar seperti nama laki-laki. Tapi mungkin itu hanya nama panggilan saja.
Partnerku sudah menunggu. Kami akan melanjutkan perjalanan dengan kereta
berikutnya menuju Banyuwangi. Masih enam puluh menit lagi. Beruntung Mutiara
Timur Malam tidak terlambat datang. Lima jam dan tiga puluh menit kurang lebih
waktu tempuh yang diperlukan untuk sampai di Stasiun Kalibaru, tujuan kami. Dua
jam pertama di kereta kami habiskan dengan menonton film berjudul Lucy. Film
yang mampu membuat mata lelahku tetap terjaga. Bagus! Jam-jam selanjutkan kami
habiskan untuk istirahat. Aku hampir tak bisa tidur di kereta pertama.
Seringnya dikejutkan oleh ledakan tawa rombongan bidan tadi membuat tidurku
sama sekali tidak berkualitas.
Mataku masih terasa berat ketika dibangunkan. Kami sampai di
Stasiun Kalibaru. Ini kali pertama aku menginjakkan kaki di Banyuwangi,
kotanya. Hai, selamat pagi Banyuwangi. Dijemput oleh ayahnya dan segera
meluncur ke rumah. Rumah keluarganya, rumah yang akan kutinggali beberapa hari
ke depan. Tak sampai lima menit berkendara dengan motor kami pun sampai. Ah,
dekat sekali rupanya dengan stasiun. Berkenalan dan berbincang hingga pagi
cukup terang. Niatnya hendak melihat sunrise dari Gunung Gumitir yang katanya
tak jauh dari rumah. Namun sesaat setelah keluar dari gang rumah aku disuguhi
merahnya langit pagi Banyuwangi. Subhanallah, indah sekali. Langit benar-benar
begitu merah. Begitu terpesonanya hingga tidak sempat memotret. Aahh.. Lepas
melewati Stasiun Kalibaru, gerimis berubah menjadi butiran air yang lebih besar
dan banyak. Hujan. Kami pun putar balik. Batal melihat sunrise dari Gunung
Gumitir. Tak apa. Mungkin kali lain bisa melihat indahnya langit pagi
Banyuwangi dari sana.
Di Banyuwangi, selain bahasa Jawa, bahasa yang lazim
digunakan adalah bahasa Madura. Dan meskipun masih terhimpun dalam satu
provinsi Jawa Timur, bahasa orang Madura ini benar-benar membuatku pusing.
Rasanya seperti menonton acara Si Bolang ketika mendengar anak-anak kecil
ngobrol bersahutan. Senang mendengarkan mereka berbicara meskipun aku tidak
mengerti sama sekali. Belum lagi logat yang dipakai. Ada logat Osing yang
(katanya) berbeda, meskipun aku masih belum bisa menangkap dimana letak
perbedaannya. Toh, aku sama sekali tak mengerti. Tapi sekali lagi, aku selalu
menikmati roaming bahasa, sama seperti ketika aku berkumpul bersama kawan-kawan
yang berbahasa Sunda. Yeah, happy roaming :D
Mengisi pagi dengan berkenalan dengan lingkungan sekitar
rumah. Dan astaga, Gunung Raung terlihat sangat dekat. Gunung yang terkenal
dengan tingkat kesulitan cukup tinggi itu seolah menyapa. Hai, semoga suatu
saat bisa berkenalan lebih dekat lagi. Setelah beristirahat sebentar lalu
mandi, aku disuguhi hidangan istimewa. Hidangan yang sangat dia suka. Tradisi
turun temurun yang masih dilakukan hingga sekarang. Jenang Safar. Jenang ini
hanya dibuat pada bulan Safar dalam kalender Hijriyah. Yah, meskipun tidak
masalah bila ingin membuatnya di bulan selain Safar. Tapi tradisi di bulan
Safar, jenang ini selalu dibuat. Aku tidak mengenal tradisi ini di keluarga
atau lingkungan sekitarku. Ini membuatnya menjadi unik. Jenang yang berbahan
dasar utama tepung ketan ini mirip dengan Jenang Grendul di Jogja. Ada
bulatan-bulatan kenyal di antara tekstur jenang yang lembut. Dan oh, ternyata
ada ketan putih di dasar piring yang tertutup jenang. Kenyang!
Siang menjelang. Saatnya bertualang. Tak begitu jauh dari
rumah, konon ada air terjun. Maka pergilah kami kesana bersama si adek. Kota
ini dikelilingi bukit dan pegunungan. Menyejukkan sejauh mata memandang. Kami
juga melewati perkebunan cokelat. Sempat berhenti sejenak untuk mengetahui
seperti apa serangga bernama lokal Rarowe. Suaranya riuh sekali mengiringi
perjalanan kami. Jalanan yang tidak rata dengan genangan air disana-sini justru
membuat kami kegirangan. Seru sekali. Waktu menunjukkan pukul dua belas lebih
dua puluh lima menit ketika kami memarkir motor. Air terjun belum lagi nampak.
Tersembunyi di balik rimbunnya pepohonan. Kami harus menuruni anak-anak tangga
yang terbuat dari batu untuk mencapai air terjun. Dan gerimis turun tepat
ketika kami sampai. Ah, sudah kepalang tanggung. Rasanya sayang kalau tidak
menyentuh air. Kami pun turun ke sungai. Air terjun yang kami datangi kali ini
terdiri dari dua air terjun yang bermuara pada satu sungai. Gerimis dan tampias
air terjun mulai membasahi jilbab dan jaketku. Aduh, rasanya malah jadi pengen
nyebur. Tak puas hanya bermain di bawah air terjun, kami pun berjalan menyusuri
jalan setapak menuju sungai bagian atas. Pengen nyebur lagi deh melihat betapa
jernihnya air sungai :3
Puas bermain, baju sudah basah, kami pun beranjak pulang.
Masih dengan keseruan jalanan yang tidak rata. Juga obrolan lucu dan polos khas
si adek. Mulai dari absennya foto Pak Presiden baru di kelasnya hingga
tebak-tebakan harimau. Dan bahkan dengan mengingatnya saja, bibirku masih
tertarik ke atas, tersenyum sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar