Kamis, 25 Desember 2014

Banyuwangi (1)





Jam di tanganku menunjukkan pukul empat kurang lima belas menit ketika tulisan ini dimulai. Masih tiga jam dan lima belas menit lagi hingga keretaku sampai di Stasiun Lempuyangan. Dan tiga puluh menit lagi hingga benar-benar sampai di rumah. Tambahan lagi satu jam bila kereta ini terlambat. Mengingat kereta ini kerap terlambat. Dan itu berarti hampir dua belas jam aku berada di kereta. Waktu yang diperlukan dari Banyuwangi untuk sampai di Jogjakarta atau sebaliknya. Ya, Banyuwangi. Catatanku kali ini tentang Banyuwangi, kota di ujung timur pulau Jawa. Bukan tanpa alasan aku menghabiskan cuti tahunan di kotanya suku Osing ini. Dan salah satu dari alasan-alasan itu adalah Alas Purwo dan Kawah Gunung Ijen.

Kopi yang kupesan sudah dingin. Tampias hujan di jendela kereta tak banyak lagi tersisa. Otakku bekerja menarik kembali ingatan di puluhan jam yang lalu. 



Hari itu Jumat, 5 Desember 2014. Jam kerja yang lebih pendek di hari Jumat memberiku banyak keuntungan. Salah satunya bisa bersiap-siap sebelum berangkat dengan kereta pukul dua lebih enam belas menit. Kereta ini tak menuju Banyuwangi, tapi Surabaya. Dari Surabaya lantas berganti kereta menuju Banyuwangi bersama partner. Dengan begitu, hari Sabtu dini hari aku sudah berada di Banyuwangi. Artinya, menambah waktu liburan.

Aku jarang merasa bosan saat melakukan perjalanan dengan kereta. Meski itu perjalanan tunggal. Tak banyak memang yang bisa dilakukan di kereta. Tapi ada banyak hal yang bisa dilihat dan diamati. Terutama mengamati manusia. Seperti siang itu, di awal perjalananku menuju Surabaya. Sesaat setelah menemukan tempat dudukku di kereta, datang seorang perempuan bertopi dengan ransel di punggung dan tas selempang kecil. Teman duduk di sebelahku rupanya. Diskusi kecil tentang ransel siapa yang diletakkan di atas dan ransel siapa yang di bawah membawa kami pada beberapa percakapan singkat sesudahnya. Perempuan asal Magelang itu kutaksir umurnya tak jauh dari umurku. Mungkin lebih tua satu sampai tiga tahun. Seorang guru sekolah dasar. Profesi yang tidak bisa kutebak sebelumnya. Pikiranku terlalu sempit membayangkan seorang guru selalu memakai rok atau celana juga kemeja licin dan rapi. Perempuan di sebelahku memakai celana katun, kaos, jaket casual berwarna biru, sepatu kets dan topi. Lebih masuk akal bila menebak dia seorang mahasiswi tingkat akhir. Berbeda denganku yang begitu duduk lantas mengeluarkan buku, dia justru memasukkan novel yang tengah dibacanya. Novel bergenre romance yang aku lupa judulnya. Dia berganti mengeluarkan earphone dan mulai mendengarkan musik. Lambat laun aku merasa hal itu lebih berguna. Karena kemudian aku seringkali dikejutkan oleh tawa yang tiba-tiba meledak ketika asyik membaca. Tawa itu berasal dari rombongan ibu-ibu di deretan belakang dari gerbong yang sama denganku. Kututup sejenak buku, lantas mulai mengamati rombongan ibu-ibu ini.  Sunda adalah bahasa yang mereka pakai. Jadi aku tak banyak mengerti apa yang mereka perbincangkan. Namun ada beberapa kata yang diucapkan yang tidak banyak dipakai oleh orang yang berprofesi diluar bidang kesehatan. Diagnosa awal mereka orang yang bergerak di bidang kesehatan. Kebanyakan mereka adalah perempuan, ditambah lagi block note yang dipakai oleh seorang dari mereka produksi sebuah perusahaan penghasil salah satu pil kontrasepsi, kusimpulkan mereka adalah bidan atau perawat. Bidan mungkin lebih mendekati. Dan diagnosaku tegak ketika kemudian aku mengobrol dengan salah satu diantara mereka. Rombongan Ikatan Bidan Indonesia (IBI) wilayah Tasik. Mereka hendak liburan ke Bromo. Aku meneruskan membaca.

Kota-kota sudah berganti. Cerah berganti gerimis lalu hujan berganti cerah lagi. Terang menjadi gelap. Kereta terlambat. Hampir sembilan puluh menit dari jadwal yang seharusnya. Aku berjalan bersama ibu guru teman dudukku. Dan ketika berpisah kami baru saling bertukar nama. Yuda. Namanya terdengar seperti nama laki-laki. Tapi mungkin itu hanya nama panggilan saja. Partnerku sudah menunggu. Kami akan melanjutkan perjalanan dengan kereta berikutnya menuju Banyuwangi. Masih enam puluh menit lagi. Beruntung Mutiara Timur Malam tidak terlambat datang. Lima jam dan tiga puluh menit kurang lebih waktu tempuh yang diperlukan untuk sampai di Stasiun Kalibaru, tujuan kami. Dua jam pertama di kereta kami habiskan dengan menonton film berjudul Lucy. Film yang mampu membuat mata lelahku tetap terjaga. Bagus! Jam-jam selanjutkan kami habiskan untuk istirahat. Aku hampir tak bisa tidur di kereta pertama. Seringnya dikejutkan oleh ledakan tawa rombongan bidan tadi membuat tidurku sama sekali tidak berkualitas.

Mataku masih terasa berat ketika dibangunkan. Kami sampai di Stasiun Kalibaru. Ini kali pertama aku menginjakkan kaki di Banyuwangi, kotanya. Hai, selamat pagi Banyuwangi. Dijemput oleh ayahnya dan segera meluncur ke rumah. Rumah keluarganya, rumah yang akan kutinggali beberapa hari ke depan. Tak sampai lima menit berkendara dengan motor kami pun sampai. Ah, dekat sekali rupanya dengan stasiun. Berkenalan dan berbincang hingga pagi cukup terang. Niatnya hendak melihat sunrise dari Gunung Gumitir yang katanya tak jauh dari rumah. Namun sesaat setelah keluar dari gang rumah aku disuguhi merahnya langit pagi Banyuwangi. Subhanallah, indah sekali. Langit benar-benar begitu merah. Begitu terpesonanya hingga tidak sempat memotret. Aahh.. Lepas melewati Stasiun Kalibaru, gerimis berubah menjadi butiran air yang lebih besar dan banyak. Hujan. Kami pun putar balik. Batal melihat sunrise dari Gunung Gumitir. Tak apa. Mungkin kali lain bisa melihat indahnya langit pagi Banyuwangi dari sana.



Di Banyuwangi, selain bahasa Jawa, bahasa yang lazim digunakan adalah bahasa Madura. Dan meskipun masih terhimpun dalam satu provinsi Jawa Timur, bahasa orang Madura ini benar-benar membuatku pusing. Rasanya seperti menonton acara Si Bolang ketika mendengar anak-anak kecil ngobrol bersahutan. Senang mendengarkan mereka berbicara meskipun aku tidak mengerti sama sekali. Belum lagi logat yang dipakai. Ada logat Osing yang (katanya) berbeda, meskipun aku masih belum bisa menangkap dimana letak perbedaannya. Toh, aku sama sekali tak mengerti. Tapi sekali lagi, aku selalu menikmati roaming bahasa, sama seperti ketika aku berkumpul bersama kawan-kawan yang berbahasa Sunda. Yeah, happy roaming :D

Mengisi pagi dengan berkenalan dengan lingkungan sekitar rumah. Dan astaga, Gunung Raung terlihat sangat dekat. Gunung yang terkenal dengan tingkat kesulitan cukup tinggi itu seolah menyapa. Hai, semoga suatu saat bisa berkenalan lebih dekat lagi. Setelah beristirahat sebentar lalu mandi, aku disuguhi hidangan istimewa. Hidangan yang sangat dia suka. Tradisi turun temurun yang masih dilakukan hingga sekarang. Jenang Safar. Jenang ini hanya dibuat pada bulan Safar dalam kalender Hijriyah. Yah, meskipun tidak masalah bila ingin membuatnya di bulan selain Safar. Tapi tradisi di bulan Safar, jenang ini selalu dibuat. Aku tidak mengenal tradisi ini di keluarga atau lingkungan sekitarku. Ini membuatnya menjadi unik. Jenang yang berbahan dasar utama tepung ketan ini mirip dengan Jenang Grendul di Jogja. Ada bulatan-bulatan kenyal di antara tekstur jenang yang lembut. Dan oh, ternyata ada ketan putih di dasar piring yang tertutup jenang. Kenyang!

Siang menjelang. Saatnya bertualang. Tak begitu jauh dari rumah, konon ada air terjun. Maka pergilah kami kesana bersama si adek. Kota ini dikelilingi bukit dan pegunungan. Menyejukkan sejauh mata memandang. Kami juga melewati perkebunan cokelat. Sempat berhenti sejenak untuk mengetahui seperti apa serangga bernama lokal Rarowe. Suaranya riuh sekali mengiringi perjalanan kami. Jalanan yang tidak rata dengan genangan air disana-sini justru membuat kami kegirangan. Seru sekali. Waktu menunjukkan pukul dua belas lebih dua puluh lima menit ketika kami memarkir motor. Air terjun belum lagi nampak. Tersembunyi di balik rimbunnya pepohonan. Kami harus menuruni anak-anak tangga yang terbuat dari batu untuk mencapai air terjun. Dan gerimis turun tepat ketika kami sampai. Ah, sudah kepalang tanggung. Rasanya sayang kalau tidak menyentuh air. Kami pun turun ke sungai. Air terjun yang kami datangi kali ini terdiri dari dua air terjun yang bermuara pada satu sungai. Gerimis dan tampias air terjun mulai membasahi jilbab dan jaketku. Aduh, rasanya malah jadi pengen nyebur. Tak puas hanya bermain di bawah air terjun, kami pun berjalan menyusuri jalan setapak menuju sungai bagian atas. Pengen nyebur lagi deh melihat betapa jernihnya air sungai :3






Puas bermain, baju sudah basah, kami pun beranjak pulang. Masih dengan keseruan jalanan yang tidak rata. Juga obrolan lucu dan polos khas si adek. Mulai dari absennya foto Pak Presiden baru di kelasnya hingga tebak-tebakan harimau. Dan bahkan dengan mengingatnya saja, bibirku masih tertarik ke atas, tersenyum sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar