Perjalanan
kali ini sedikit berbeda. Partner pendakian yang biasanya didominasi kaum adam,
kali ini seluruhnya kaum hawa. Istimewa sekali. Empat perempuan, dua motor, dua
kamera SLR, satu pocket-cam, satu teleskop. Formasi lengkap ekspedisi Gunung
Andong. Rencana semula perjalanan ke Gunung Andong ini adalah untuk menemani
salah satu teman survey lokasi
pendakian. Tapi si teman justru mengalami kecelakaan saat akan menuju Jogja
*lekas pulih Risma :)*. Namun rencana sudah dibuat. Dan tinggallah kami
ber-empat yang akan mendaki. Dokumentasi tentu akan dibagi pada Risma. Sebagai
pelega rasa.
Berkenalan
dengan dua diantara tiga perempuan itu di salah satu klub astronomi. Bidang
yang kami geluti tak sama, kami hanya dipersatukan oleh kesukaan yang sama dan persaudaraan
antar perempuan :p. Dan itu sudah cukup membuat perjalanan kali ini menjadi
benar-benar tidak biasa.
Aku, Adyn,
Bela, dan Cikol. Kami berempat sepakat berangkat dari Jogja hari Kamis, 28
Agustus 2014 pukul 17.15 WIB. Apa daya default jam kebanyakan orang Indonesia
-termasuk kami- ter-setting agak menyerupai karet. Jadilah kami berangkat ba’da
maghrib. Menembus hingar kota Jogja kala malam, geliat kota Magelang, juga
jalanan yang berkelok-kelok menuju kecamatan Ngablak. Dingin yang menusuk
justru membangkitkan semangat. Semangat memacu motor lebih kencang agar lekas
sampai basecamp. Kabut tebal kadangkala menghalangi pandangan mata terhadap
jalanan di depan. Mewajibkan kami untuk ekstra hati-hati. Dan bahagia itu mulai
datang ketika pasar Ngablak sudah terlihat. Kami pun berbelok ke arah kiri.
Menuju desa Girirejo, dusun Sawit, dimana basecamp Gunung Andong berada.
Pukul 20.40
WIB kami sampai dengan selamat dan kedinginan di basecamp. Rencana awal kami
tidur di basecamp dan memulai pendakian sekitar jam tiga dini hari. Ah, tapi
apalah arti rencana-rencana. Bisa dibicarakan lagi nanti. Ada yang lebih
penting yakni menghalau dingin yang sepertinya sudah terlanjur menempel di
badan kami. Mie instan dan minuman hangat pun segera dipesan. Beruntung di
basecamp tidak ada yang menginap selain kami berempat, jadilah pengabadian
momen-momen yang kurang penting semacam makan dan adegan menjelang tidur
berjalan lancar :)).
tiket masuk Gn Andong beserta bonusnya, stiker |
Menjelang
pukul tiga pagi kami bangun dan bersiap-siap. Sedikit mendiskusikan apa yang
mesti dibawa dan apa yang mesti ditinggal. Dan terjadilah insiden tripod Adyn
patah di detik terakhir keberangkatan. Entah apa pasalnya. Kami pun berjibaku
membenarkan ke posisi seharusnya dan tetap tak bisa sempurna seperti sedia
kala. Tapi ya sudahlah. Sudah diusahakan. Perjalanan tetap harus dilanjutkan. Pukul
empat pagi kami pun memulai pendakian dari basecamp. Bismillah...
Langit masih
gelap. Dingin dan kabut belum hilang sempurna. Kami berjalan di setapak ber-semen
yang kanan-kirinya masih di dominasi kebun sayur milik penduduk.
Obrolan-obrolan perempuan menjadikan gapura titik awal pendakian terasa tidak
terlalu jauh. Dari gapura ini setapak tak lagi ber-semen, berganti dengan tanah
setapak. Selepas kebun penduduk, kami pun memasuki area hutan pinus. Senter dan
headlamp masih menyala. Sesekali berhenti untuk istirahat, mengatur nafas,
minum, makan permen, membenarkan posisi tripod, dan tentu saja melihat langit.
gapura kala siang |
Pos 1 kala siang |
Subuh sudah
memasuki waktunya. Tapi kami tak menemukan tempat yang cukup lapang untuk
sholat subuh. Bela memberi tahu kami, bahwa tak jauh dari tempat kami berada
ada pancuran kecil. Baiklah, target mencapai pancuran untuk berwudhu dilanjut
sholat subuh. Semoga ada tempat strategis. Dinginnya air pancuran membuatku tak
ingin berlama-lama menyentuh air. Dan segera berjalan untuk mencari tempat
untuk sholat. Tapi tak ada tempat yang cukup nyaman. Karena khawatir terlalu
terlambat, jadilah kami menggelar matras di setapak pos 2. Tak rata, agak
menanjak, dan sempit. Tapi tak apalah. Semoga tidak ada orang lewat.
Pos 2 |
Lama kami
berada di Pos 2. Niatnya menanti detik-detik terbitnya matari pagi hari itu.
Tapi kabut dimana-mana. Penuh. Hampir menyedot semua yang tampak oleh mata. Sudah
waktunya terbit. Apalah daya kabut dan awan begitu pekatnya. Sesekali terlihat.
Dan beberapa saat kemudian tersembunyi. Susah sekali mengabadikan momen ini.
Ujung-ujungnya yang menjadi objek foto adalah orang-orangnya sendiri :))
matahari pagi dibalik kabut |
Usai berfoto,
kami tak lantas melanjutkan perjalanan dengan segera. Masih ada ritual ala
wanita. Haha. Sunblock sudah mulai merata di wajah-wajah kami lantaran matari
sudah mulai bersinar terang. Mengoles-oles madu di bibir dan bahkan bedakan
*senggol Cikol* :)). Hal-hal yang tak ditemui saat mendaki bersama kaum lelaki.
Seru sekali.
Matari sudah sepenggalah naik saat kami meneruskan
perjalanan. Kabut sudah sedikit tersibak. Dan layaknya layar yang diangkat di
panggung teater yang menyembunyikan pentas, kabut yang tersingkap menampilkan
gagahnya Merapi dan Merbabu. Indah sekali. Setapak yang kami lalui masih sama.
Kecil dan sedikit menanjak. Hap-hap.
Merbabu dan Merapi |
Langkahku
terhenti. Ada si kembar di ujung mata. Gunung Sindoro dan Sumbing anggun
mencuat di antara awan dan kabut. Terlihatnya si kembar Sindoro dan Sumbing
menandakan puncak pertama sudah dekat. Dan benar saja, setelah berbelok di
tikungan bersemak, nampaklah sebuah tenda. Camping ground. Sudah sangat dekat
dengan puncak. Kami beristirahat sebentar. Menikmati udara pagi. Menyapa para
penghuni tenda. Dan beruntungnya kami, mereka sedang memasak. Jadilah dua gelas
teh panas, Oreo dan sebungkus roti dihidangkan untuk kami. Terima kasih :D
Sindoro dan Sumbing |
Merasa cukup
beristirahat dan menikmati suasana pagi di camping ground (baca: teh sudah
hampir habis), kami melanjutkan perjalanan menuju puncak yang tinggal
seperlemparan batu saja. Dan belum lagi genap jam sembilan pagi ketika kami
berempat akhirnya sampai di 1726 mdpl. Puncak
Gunung Andong. Alhamdulillah :)
berfoto bersama penghuni tenda yang baik hati |
puncak! |
Cikol-aku-Bela-Adyn |
Tanggung
rasanya kalau hanya menginjakkan kaki di puncak pertama. Puncak kedua tak jauh
jaraknya. Hanya perlu menyeberangi geger sapi (jawa: geger=punggung) *hanya
:p*. Setapak kecil yang kanan-kirinya jurang ini merupakan penghubung dua
puncak Gunung Andong. Area ini kerap disebut geger sapi karena bentuknya yang
menyerupai punggung sapi atau juga punuk unta. Tampak seram sekaligus indah.
Menakutkan tapi bikin kepengen lewat lagi dan lagi.
geger sapi |
Selangkah
demi selangkah kami menapaki setapak sempit geger sapi. Tidak banyak pendaki
yang mendaki kala itu. Cukup leluasa untuk berjalan santai atau berhenti
lama-lama menikmati indahnya panorama. Kabut mulai merangkak mengarah setapak
geger sapi. Kami pun mempercepat langkah. Dan berhenti sejenak setelah berhasil
melewati geger sapi. Memandangi setapak yang telah kami lalui juga kabut yang
menutupi separuh gunung seperti migrain.
Perjalanan
dilanjut. Puncak sudah terlihat. Yang mungkin akan jarang ditemukan di gunung
lain, masih bisa dilihat para pencari rumput di puncak Andong. Gunung yang
memang tidak terlalu tinggi serta rumput yang tumbuh subur dan melimpah
memungkinkan warga sekitar gunung untuk merumput bahkan sampai puncaknya.
Dan
disinilah kami. Puncak kedua Gunung Andong. Terlihat Merbabu dan Merapi juga
Telomoyo. Hijaunya Gunung Andong juga setapak geger sapi seolah melengkapi.
Istimewa, kawan. Istimewa. Membuat kami betah berlama-lama. Enggan mengingat
bahwa kami nanti mesti pulang jua.
Matari cukup
terik ketika kami berada di puncak kedua Gunung Andong. Payung pun dikembangkan.
Haha. Tak puas hanya berfoto-foto. Kami pun membuat video. Karena ingin semua
bisa masuk kamera, disulaplah tripod menjadi tongsis yang bisa digerakkan
semena-mena sesuai selera pembuat video :)).
Jam di
tanganku sudah menunjukkan pukul sebelas siang. Sudah waktunya turun bila tak
ingin kemalaman sampai Jogja. Payung ditutup, makanan-makanan kembali
dimasukkan, kami berkemas. Perjalanan turun masih sama serunya. Masih dipenuhi
jeprat-jepret kamera. Lulus melintasi geger sapi untuk kedua kalinya, kami
sampai di puncak Gunung Andong yang pertama. Kembali turun menuju camping
ground. Tenda mas-mas yang membuatkan kami teh tadi sudah tak nampak. Sudah
pulang mereka rupanya. Lantas melewati setapak turunan dengan riang gembira.
Satu jam
berlalu. Pinus-pinus sudah mengelilingi kami. Hutan pinus. Rehat sejenak
menikmati pemandangan sekitar. Obrol ini dan itu. Potret ini dan itu. Setelah
dirasa cukup, kami pun melanjutkan perjalanan. Kurang lebih pukul satu
sampailah kami di gapura dimana kami memulai perjalanan dini hari tadi.
Alhamdulillah.
hai, kalian :D |
Baru
beberapa puluh meter kami berjalan ketika sebuah mobil pengangkut menawari kami
tumpangan sampai basecamp. Rasanya sayang kalau ditolak, meskipun mobil ini
tampak luar saja sudah penuh. Masuklah jua kami. Entah sebenarnya mobil ini
pengangkut apa. Sebab di dalamnya ada batang-batang kayu juga rumput. Ruang di
dalam mobil begitu sempit. Tak ada pilihan. Aku pun duduk di singgasana
tumpukan rumput. Jumawa sekali tertawa-tawa karena merasa seru dan akhirnya
nyaris terjungkang :))
dalam mobil pengangkut |
Berterima
kasih berkali-kali pada bapak sopir mobil dan tertawa-tawa ketika akhirnya kami
sampai di basecamp dengan selamat sentausa. Sebenarnya, destinasi selanjutnya
adalah air terjun yang konon katanya tidak jauh dari kaki gunung Andong. Tapi
kata ibu penjual di warung airnya sedang kering, maka secara otomatis gugurlah
rencana kami mengunjungi air terjun. Tak apa, mungkin belum berjodoh. Semoga
masih ada kali lain.
Dan dengan
sampainya kami lagi di basecamp, itu artinya berakhir pula petualangan kami
–empat perempuan- di Gunung Andong. Semoga akan ada lagi
petualangan-petualangan berikutnya :D. Terima kasih Andong. Sudah begitu ramah
dan indah. Terima kasih kalian. Sudah menjadikan petualangan kali ini tidak
biasa :).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar