Kamis, 30 Oktober 2014

Gadis Kecil Ibu




Gadis kecil itu terseok-seok menuntun sepeda mini miliknya. Sandal yang ia pakai tinggal sebelah. Sesekali tampak meringis bila kaki kecilnya mengincak kerikil tajam. Matanya berkaca. Sudah hampir tumpah. Bibirnya bergetar. Tak tahan lagi menahan tangis. Ada kelegaan di sepasang matanya ketika pintu bercat putih itu sudah terlihat. Pintu rumahnya. Langkahnya semakin cepat. Dan tepat di depan pintu rumah itu, dia meletakkan begitu saja sepedanya. Mendorong pintu dengan tergesa. Dan mulai memanggil ibunya. Menangis.

Sang ibu yang tengah memasak tergesa mendatangi putrinya. Khawatir bukan buatan mendengar gadis kecilnya menangis. Segera dipeluknya gadisnya yang manis. Menanyakan mengapa pula tangis itu mesti tumpah? Lantas gadis kecil pun mulai bercerita di dalam pelukan ibunya yang hangat. Setengah terisak dia menunjukkan luka pada lutut dan sikunya. Tadi jatuh di dekat sungai saat bersepeda. Sandal merah bergambar Mickey Mouse kesayangannya jatuh lalu hanyut di sungai. 

Sang ibu melepaskan pelukannya. Beranjak mengambil obat merah di kotak P3K. Dan tanpa berkata mulai membersihkan luka gadis kecilnya. Setelah yakin bahwa sudah tak ada kotoran yang menempel, lantas obat merah pun diteteskan di atas lukanya. Gadis kecil itu meringis. Ibu tersenyum dan mengusap sisa-sisa air mata di pipi gadis kecil.

“ Sudah, tidak usah menangis lagi. Esok lusa, lukanya pasti sembuh.”

***

Gadis itu memeluk tubuhnya sendiri erat-erat. Berjalan cepat melintasi jalanan menuju rumahnya. Matanya berkaca. Sudah hampir tumpah. Bibirnya bergetar. Tak kuasa lagi menahan tangis. Ada kelegaan di sepasang matanya ketika pintu bercat putih itu terlihat. Pintu rumahnya. Langkahnya semakin cepat. Tepat di depan pintu bercat putih itu air matanya jatuh. Ia mendorong pintu dengan tergesa dan memanggil-manggil ibunya. Tangisnya pecah sudah. Tak ada lagi tabu di rumah itu. Dia boleh menangis.

Tapi ibunya tak kunjung muncul dari dapur seperti biasanya. Tak ada pelukan. Tak ada usapan di pipi. Tak ada senyuman. Tak ada siapa-siapa. Lengang. Gadis itu makin terisak. Meringkuk memeluk lutut di atas lantai yang dingin. Sendiri. Ada luka yang ingin ia tunjukkan. Luka yang dalam. Luka yang lebih menyakitkan daripada tergores batu di tepi sungai.  Ada kisah tentang luka itu yang ingin ia ceritakan. Kisah yang lebih memilukan dibanding hilangnya sandal Mickey Mouse kesayangan. Pada ibunya. Pada kawan ceritanya. Ada peluk yang ia harapkan. Ada usapan yang menenangkan. Ada senyuman yang ia rindukan. Ada suara yang ingin ia dengarkan,

“ Sudah, tidak usah menangis lagi. Esok lusa, lukanya pasti sembuh.”
 


Minggu, 26 Oktober 2014

Srikandhi Naik Andong



Perjalanan kali ini sedikit berbeda. Partner pendakian yang biasanya didominasi kaum adam, kali ini seluruhnya kaum hawa. Istimewa sekali. Empat perempuan, dua motor, dua kamera SLR, satu pocket-cam, satu teleskop. Formasi lengkap ekspedisi Gunung Andong. Rencana semula perjalanan ke Gunung Andong ini adalah untuk menemani salah satu teman  survey lokasi pendakian. Tapi si teman justru mengalami kecelakaan saat akan menuju Jogja *lekas pulih Risma :)*. Namun rencana sudah dibuat. Dan tinggallah kami ber-empat yang akan mendaki. Dokumentasi tentu akan dibagi pada Risma. Sebagai pelega rasa.

Berkenalan dengan dua diantara tiga perempuan itu di salah satu klub astronomi. Bidang yang kami geluti tak sama, kami hanya dipersatukan oleh kesukaan yang sama dan persaudaraan antar perempuan :p. Dan itu sudah cukup membuat perjalanan kali ini menjadi benar-benar tidak biasa.


Aku, Adyn, Bela, dan Cikol. Kami berempat sepakat berangkat dari Jogja hari Kamis, 28 Agustus 2014 pukul 17.15 WIB. Apa daya default jam kebanyakan orang Indonesia -termasuk kami- ter-setting agak menyerupai karet. Jadilah kami berangkat ba’da maghrib. Menembus hingar kota Jogja kala malam, geliat kota Magelang, juga jalanan yang berkelok-kelok menuju kecamatan Ngablak. Dingin yang menusuk justru membangkitkan semangat. Semangat memacu motor lebih kencang agar lekas sampai basecamp. Kabut tebal kadangkala menghalangi pandangan mata terhadap jalanan di depan. Mewajibkan kami untuk ekstra hati-hati. Dan bahagia itu mulai datang ketika pasar Ngablak sudah terlihat. Kami pun berbelok ke arah kiri. Menuju desa Girirejo, dusun Sawit, dimana basecamp Gunung Andong berada.

Pukul 20.40 WIB kami sampai dengan selamat dan kedinginan di basecamp. Rencana awal kami tidur di basecamp dan memulai pendakian sekitar jam tiga dini hari. Ah, tapi apalah arti rencana-rencana. Bisa dibicarakan lagi nanti. Ada yang lebih penting yakni menghalau dingin yang sepertinya sudah terlanjur menempel di badan kami. Mie instan dan minuman hangat pun segera dipesan. Beruntung di basecamp tidak ada yang menginap selain kami berempat, jadilah pengabadian momen-momen yang kurang penting semacam makan dan adegan menjelang tidur berjalan lancar :)).

tiket masuk Gn Andong beserta bonusnya, stiker

Menjelang pukul tiga pagi kami bangun dan bersiap-siap. Sedikit mendiskusikan apa yang mesti dibawa dan apa yang mesti ditinggal. Dan terjadilah insiden tripod Adyn patah di detik terakhir keberangkatan. Entah apa pasalnya. Kami pun berjibaku membenarkan ke posisi seharusnya dan tetap tak bisa sempurna seperti sedia kala. Tapi ya sudahlah. Sudah diusahakan. Perjalanan tetap harus dilanjutkan. Pukul empat pagi kami pun memulai pendakian dari basecamp. Bismillah...


Langit masih gelap. Dingin dan kabut belum hilang sempurna. Kami berjalan di setapak ber-semen yang kanan-kirinya masih di dominasi kebun sayur milik penduduk. Obrolan-obrolan perempuan menjadikan gapura titik awal pendakian terasa tidak terlalu jauh. Dari gapura ini setapak tak lagi ber-semen, berganti dengan tanah setapak. Selepas kebun penduduk, kami pun memasuki area hutan pinus. Senter dan headlamp masih menyala. Sesekali berhenti untuk istirahat, mengatur nafas, minum, makan permen, membenarkan posisi tripod, dan tentu saja melihat langit. 

gapura kala siang

Pos 1 kala siang

Subuh sudah memasuki waktunya. Tapi kami tak menemukan tempat yang cukup lapang untuk sholat subuh. Bela memberi tahu kami, bahwa tak jauh dari tempat kami berada ada pancuran kecil. Baiklah, target mencapai pancuran untuk berwudhu dilanjut sholat subuh. Semoga ada tempat strategis. Dinginnya air pancuran membuatku tak ingin berlama-lama menyentuh air. Dan segera berjalan untuk mencari tempat untuk sholat. Tapi tak ada tempat yang cukup nyaman. Karena khawatir terlalu terlambat, jadilah kami menggelar matras di setapak pos 2. Tak rata, agak menanjak, dan sempit. Tapi tak apalah. Semoga tidak ada orang lewat.

Pos 2

Lama kami berada di Pos 2. Niatnya menanti detik-detik terbitnya matari pagi hari itu. Tapi kabut dimana-mana. Penuh. Hampir menyedot semua yang tampak oleh mata. Sudah waktunya terbit. Apalah daya kabut dan awan begitu pekatnya. Sesekali terlihat. Dan beberapa saat kemudian tersembunyi. Susah sekali mengabadikan momen ini. Ujung-ujungnya yang menjadi objek foto adalah orang-orangnya sendiri :))

matahari pagi dibalik kabut

Usai berfoto, kami tak lantas melanjutkan perjalanan dengan segera. Masih ada ritual ala wanita. Haha. Sunblock sudah mulai merata di wajah-wajah kami lantaran matari sudah mulai bersinar terang. Mengoles-oles madu di bibir dan bahkan bedakan *senggol Cikol* :)). Hal-hal yang tak ditemui saat mendaki bersama kaum lelaki. Seru sekali.




Matari  sudah sepenggalah naik saat kami meneruskan perjalanan. Kabut sudah sedikit tersibak. Dan layaknya layar yang diangkat di panggung teater yang menyembunyikan pentas, kabut yang tersingkap menampilkan gagahnya Merapi dan Merbabu. Indah sekali. Setapak yang kami lalui masih sama. Kecil dan sedikit menanjak. Hap-hap. 

Merbabu dan Merapi

Langkahku terhenti. Ada si kembar di ujung mata. Gunung Sindoro dan Sumbing anggun mencuat di antara awan dan kabut. Terlihatnya si kembar Sindoro dan Sumbing menandakan puncak pertama sudah dekat. Dan benar saja, setelah berbelok di tikungan bersemak, nampaklah sebuah tenda. Camping ground. Sudah sangat dekat dengan puncak. Kami beristirahat sebentar. Menikmati udara pagi. Menyapa para penghuni tenda. Dan beruntungnya kami, mereka sedang memasak. Jadilah dua gelas teh panas, Oreo dan sebungkus roti dihidangkan untuk kami. Terima kasih :D

Sindoro dan Sumbing


Merasa cukup beristirahat dan menikmati suasana pagi di camping ground (baca: teh sudah hampir habis), kami melanjutkan perjalanan menuju puncak yang tinggal seperlemparan batu saja. Dan belum lagi genap jam sembilan pagi ketika kami berempat akhirnya sampai di 1726 mdpl. Puncak  Gunung Andong. Alhamdulillah :)

berfoto bersama penghuni tenda yang baik hati
puncak!
Cikol-aku-Bela-Adyn


Tanggung rasanya kalau hanya menginjakkan kaki di puncak pertama. Puncak kedua tak jauh jaraknya. Hanya perlu menyeberangi geger sapi (jawa: geger=punggung) *hanya :p*. Setapak kecil yang kanan-kirinya jurang ini merupakan penghubung dua puncak Gunung Andong. Area ini kerap disebut geger sapi karena bentuknya yang menyerupai punggung sapi atau juga punuk unta. Tampak seram sekaligus indah. Menakutkan tapi bikin kepengen lewat lagi dan lagi. 



geger sapi



Selangkah demi selangkah kami menapaki setapak sempit geger sapi. Tidak banyak pendaki yang mendaki kala itu. Cukup leluasa untuk berjalan santai atau berhenti lama-lama menikmati indahnya panorama. Kabut mulai merangkak mengarah setapak geger sapi. Kami pun mempercepat langkah. Dan berhenti sejenak setelah berhasil melewati geger sapi. Memandangi setapak yang telah kami lalui juga kabut yang menutupi separuh gunung seperti migrain.




Perjalanan dilanjut. Puncak sudah terlihat. Yang mungkin akan jarang ditemukan di gunung lain, masih bisa dilihat para pencari rumput di puncak Andong. Gunung yang memang tidak terlalu tinggi serta rumput yang tumbuh subur dan melimpah memungkinkan warga sekitar gunung untuk merumput bahkan sampai puncaknya. 

Dan disinilah kami. Puncak kedua Gunung Andong. Terlihat Merbabu dan Merapi juga Telomoyo. Hijaunya Gunung Andong juga setapak geger sapi seolah melengkapi. Istimewa, kawan. Istimewa. Membuat kami betah berlama-lama. Enggan mengingat bahwa kami nanti mesti pulang jua.



Matari cukup terik ketika kami berada di puncak kedua Gunung Andong. Payung pun dikembangkan. Haha. Tak puas hanya berfoto-foto. Kami pun membuat video. Karena ingin semua bisa masuk kamera, disulaplah tripod menjadi tongsis yang bisa digerakkan semena-mena sesuai selera pembuat video :)).

Jam di tanganku sudah menunjukkan pukul sebelas siang. Sudah waktunya turun bila tak ingin kemalaman sampai Jogja. Payung ditutup, makanan-makanan kembali dimasukkan, kami berkemas. Perjalanan turun masih sama serunya. Masih dipenuhi jeprat-jepret kamera. Lulus melintasi geger sapi untuk kedua kalinya, kami sampai di puncak Gunung Andong yang pertama. Kembali turun menuju camping ground. Tenda mas-mas yang membuatkan kami teh tadi sudah tak nampak. Sudah pulang mereka rupanya. Lantas melewati setapak turunan dengan riang gembira. 


Satu jam berlalu. Pinus-pinus sudah mengelilingi kami. Hutan pinus. Rehat sejenak menikmati pemandangan sekitar. Obrol ini dan itu. Potret ini dan itu. Setelah dirasa cukup, kami pun melanjutkan perjalanan. Kurang lebih pukul satu sampailah kami di gapura dimana kami memulai perjalanan dini hari tadi. Alhamdulillah.

hai, kalian :D

Baru beberapa puluh meter kami berjalan ketika sebuah mobil pengangkut menawari kami tumpangan sampai basecamp. Rasanya sayang kalau ditolak, meskipun mobil ini tampak luar saja sudah penuh. Masuklah jua kami. Entah sebenarnya mobil ini pengangkut apa. Sebab di dalamnya ada batang-batang kayu juga rumput. Ruang di dalam mobil begitu sempit. Tak ada pilihan. Aku pun duduk di singgasana tumpukan rumput. Jumawa sekali tertawa-tawa karena merasa seru dan akhirnya nyaris terjungkang :))

dalam mobil pengangkut


Berterima kasih berkali-kali pada bapak sopir mobil dan tertawa-tawa ketika akhirnya kami sampai di basecamp dengan selamat sentausa. Sebenarnya, destinasi selanjutnya adalah air terjun yang konon katanya tidak jauh dari kaki gunung Andong. Tapi kata ibu penjual di warung airnya sedang kering, maka secara otomatis gugurlah rencana kami mengunjungi air terjun. Tak apa, mungkin belum berjodoh. Semoga masih ada kali lain.


Dan dengan sampainya kami lagi di basecamp, itu artinya berakhir pula petualangan kami –empat perempuan- di Gunung Andong. Semoga akan ada lagi petualangan-petualangan berikutnya :D. Terima kasih Andong. Sudah begitu ramah dan indah. Terima kasih kalian. Sudah menjadikan petualangan kali ini tidak biasa :).