Rabu, 02 Juli 2014

di tepian jembatan aku dan kau (masih) menanti pagi



Siapakah kita? Mau menjadi siapakah kita? Sepasang muda-mudi yang bersepeda bersama itu? Atau kau menjadi si pemuda dan aku gadis yang sudah tak ada? Ataukah kita adalah bagian dari rombongan burung yang terbang ke arah barat? Masih pedulikah kita menjadi siapa? Kita masih bertemu. Kita masih rindu.

Sebut apa saja untuk kita. Sebut aku menghormatimu ketika aku mencium tanganmu saat kau akan pergi. Sebut kau (masih) menyayangiku ketika kau mencium balik tanganku. Sebut apa saja untuk kita. Kita masih bertemu. Kita masih rindu.

Terjemahkan bagaimana saja rasa kita. Bisa? Bagaimana rasanya (bila) melihatmu bersanding dengan yang lain? Bagaimana (bila) kau melihatku bersama orang lain? Terjemahkan. Bisa? Terjemahkan sesukamu. Sesukaku. Kita masih bertemu. Kita masih rindu.

Aku kehilangan kata-kata untuk menerjemahkan rasaku padamu. Hilang. Sekalipun bertemu. Sekalipun rindu.

“Aku rindu udara pagi bersamamu,” katamu.

Aku diam dalam ke-tidak-ada-an-ku.

“Aku ingin melihatmu lagi menantiku di tepian jembatan.”

Aku (masih) disini.

“Aku ingin kau bawakan bekal makan siang lagi.”

Itu inginku.

“Aku ingin pergi ke pantai bersamamu lagi.”

Duduk di pasir dan menanti matahari tenggelam.

“Menggenggam tanganmu dan mengenalkanmu sebagai perempuanku.”

Kita..

“Aku ingin bertemu.”

Kita masih bertemu. Kita masih rindu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar