Adalah
seorang gadis duduk di tepian sebuah jembatan. Kakinya bergerak berayun bebas. Sungai
di bawah kakinya memantulkan warna merah. Semburat di langit timur. Matahari belum
lagi sempurna terbit. Sepeda mini milik si gadis terparkir di ujung jembatan. Seperti
menanti sesuatu. Atau seseorang?
Seseorang. Seorang
pemuda menjadi jawabannya. Pemuda itu berjalan cepat menghampiri si gadis. Mengecup
kepalanya. Membaui wangi rambut si gadis. Dan duduk menyebelahinya.
“Sudah lama?”
“Belum. Belum
lama. Tidak pernah terlalu lama menunggumu.”
Warna kuning
mulai dipantulkan air sungai di bawah kaki mereka. Matahari sebentar lagi
muncul nampaknya.
Si pemuda
meraih tangan si gadis. Menggenggamnya erat sekali. Seolah kali terakhir dia
mampu melakukan itu.
“Tanganmu
masih dingin. Belum ada yang menghangatkan?” tanyanya pada si gadis.
Si gadis
menoleh. Menatap tangan dalam genggaman pemuda yang baik sekali hatinya. Lalu beralih
menatap matanya.
“Tanganmu
juga masih panas. Masih belum ada yang mendinginkan?”
Pemuda itu
tersenyum. Tak menjawab.
“Aku senang
melihatmu tersenyum. Kata orang-orang, kau jarang tersenyum sekarang,” ucap si
gadis, menatap ujung kakinya yang kini sudah berhenti berayun-ayun.
“Tak ada
kau,” si pemuda menjawab singkat, menatap langit yang kini beringsut benderang.
“Kau tahu
aku selalu ada,” tangan si gadis yang bebas memegang lengan si pemuda,
lanjutnya, “dan kenapa tanganmu sekurus ini?”
“Tak ada kau
yang mengurusku,” ucap si pemuda. Masih menatap langit yang kini warnanya sudah
berupa-rupa. Paduan biru, merah, kuning dan jingga.
Air sungai
berkilau memantulkan aneka warna langit di atasnya.
“Aku akan
mengurusmu selama kau inginkan. Selama kau tak memintaku pergi,” si gadis ikut
menatap langit. Sekelompok burung terbang ke arah barat.
“Aku tak
pernah ingin kau pergi.”
“Tapi kau
pergi.” Kaca-kaca bening sudah memenuhi mata si gadis. Si pemuda meraih tubuh
gadisnya. Memeluknya erat sekali.
“Aku sayang
kamu,” ucap pemuda itu lirih. Masih memeluk si gadis, merasakan bahunya yang
bergetar.
“Pergilah,”
si gadis melepas pelukan.
“Aku tak
ingin pergi.”
“Tapi kau
harus.”
“Aku akan
datang lagi.”
Si gadis
hanya tersenyum.
***
Kau datang. Selalu
datang. Bahkan ketika tahu aku tak ada. Tak lagi ada. Seperti hari ini, hari
ulang tahunmu, kau datang. Duduk di tepian jembatan. Menatap langit. Menanti matahari
terbit. Menantiku hadir. Duduk di sebelahmu. Mengucap rindu. Yang sepertinya
takkan pernah cukup sekalipun sudah diucap beribu-ribu.
“Selamat
ulang tahun...”
***
“Selamat
ulang tahun...”
Aku mendengarmu.
Aku tahu kau ada disini. Selalu disini.
Aku datang. Selalu
datang. Melihatmu duduk di tepian jembatan. Sendirian. Menantiku tentu saja. Menantiku
menggenggam tanganmu yang masih dingin. Yang bahkan lebih dingin sekarang. Terlalu
dingin.
“Kau pergi
jauh sekali. Kenapa jauh sekali...”
***
Air sungai
di bawah jembatan itu berkilau memantulkan berupa-rupa warna langit di atasnya.
Biru, merah, kuning dan jingga. Sekelompok burung terbang ke arah barat. Sepasang
muda-mudi bersepeda bersama. Seorang pemuda masih duduk sendirian di tepian
jembatan. Merentangkan tangan. Menyambut pagi. Menanti gadisnya yang tak akan
datang. Takkan pernah bisa datang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar