Hai Er, apa kabar? Lama sekali tak dengar kabarmu. Aku
rindu.
Er, masihkah kau simpan surat-surat kita? Aku masih. Aku
rindu berbincang denganmu.
Benar kata orang rupanya, kehilangan begitu besar dirasakan
ketika yang kita kasihi sudah pergi. Dan aku benar-benar kehilangan rasa nyaman
seperti saat berbincang denganmu.
Er, hari-hari terakhir ini berat sekali rasanya kujalani.
Butuh ruang tapi tak ada jeda. Dan seperti biasa, aku tak pandai menjabarkan
yang kurasakan. Itu membuat bebanku menjadi-jadi.
Ingin lari rasanya, Er. Ingin teriak keras-keras. Ingin
menangis lama-lama. Butuh ruang, Er. Butuh jeda. Atau mungkin butuh duduk
bersama denganmu saja.
Aku tak butuh kalimat penghiburan, Er. Kau tahu itu. Aku
hanya ingin kau dengarkan dalam kalimatku yang terbata-bata. Dalam nafasku yang
tersengal-sengal. Aku hanya butuh ruang dimana hanya suaraku dan suaramu saja
yang terdengar. Tak ada bising. Tak ada ramai.
Kau tahu Er, masih saja ku ingat saat kau mengingatkanku
pada salah satu ayat dalam kitab suci, “ Allah tidak membebani seseorang
melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” Aku tahu begitulah caramu
menguatkanku. Dan aku akan selalu berterima kasih untuk itu.
Tapi Er, sekalipun aku tahu akan mampu, kadangkala sesak itu
masih saja menghimpit dada. Ketika keputusan-keputusan besar dan sulit harus
kubuat. Ketika tak ada yang dapat kumintai pertimbangan. Ketika waktu tak jua
memberiku jawaban. Ketika diam pun tak menyelesaikan. Aku tidak tahu harus
berbuat apa, Er. Lelah.
Menyerah. Akhirnya kupejamkan mata. Berusaha memisahkan diri
dari keramaian. Menghadirkanmu dalam benakku. Duduk canggung di hadapanku.
Membenarkan letak kacamatamu. Memberiku
sebuah senyuman dan berkata, “ Kamu mampu lewati ini.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar