Senin, 30 Desember 2013

kejutan istimewa, Sindoro



Sindoro


Sindoro adalah sebuah kejutan yang menakjubkan di akhir September tahun ini. Dalam waktu seminggu saja sebelum hari H, aku memutuskan untuk ikut Adhi cs mendaki. Setelah menjalani hari-hari kurang menyenangkan di Agustus dan awal September, Sindoro terdengar sebagai rencana yang hebat. Oke Sindoro, aku datang. Rencana cuti segera diatur. Satu hari di hari Sabtu kurasa cukup.

Hari Jumat siang aku pun berangkat ke Wonosobo dengan menggunakan travel. Rumah Adhi ditetapkan sebagai tempat berkumpul anggota tim. Tim kali ini terdiri dari 5 orang, yakni aku, Adhi, Mbak Lia, Mas Kame, dan Umam. Dan tak satupun dari mereka yang kukenal selain Adhi. Bertemu dengan orang-orang baru pasti bakal seru. Memasuki waktu maghrib sampailah aku di Wonosobo. Adhi sudah duduk menunggu di depan SPBU yang cukup dekat dengan rumahnya. Kami langsung menuju rumah Adhi. Mbak Lia dan Mas Kame belum datang. Mereka baru akan berangkat dari Semarang jam 7 malam. Estimasi perjalanan 3 jam. Sedangkan Umam, kami akan bertemu esok hari sebelum berangkat ke basecamp Sindoro.

Malam itu Wonosobo cukup dingin. Gerimis turun sesekali. Nikmat sekali mengobrol di dalam rumah dengan ditemani secangkir teh hangat dan jajanan khas Wonosobo, tempe kemul. Sekitar pukul 10 malam kabar yang  ditunggu pun tiba. Mbak Lia dan Mas Kame hampir sampai. Dan Adhi bertugas menjemput. Mbak Lia yang pertama dijemput, menyusul kemudian Mas Kame. Pasangan suami-istri yang belum lama menikah ini tampak ramah. Setelah mengobrol beberapa waktu, kami pun memutuskan untuk istirahat. Bersiap untuk perjalanan esok hari. 

Sabtu, 21 September 2013

Mengisi pagi dengan packing. Rasanya sudah tidak sabar untuk segera berangkat. Namun pagi itu kami mendapat kabar kurang menyenangkan. Umam tak jadi ikut. Ah, sayang sekali. Semoga bisa berkenalan dan mungkin mendaki bersama di lain kesempatan. Dan setelah selesai packing, kami pun bersiap berangkat. 

Menunggu angkot yang akan membawa kami, aku iseng-iseng bertanya pada Adhi bagaimana cara mengenali angkot yang diinginkan bila tak ada tulisan penanda tujuan yang tertempel pada angkot. Di Jogja, meskipun angkot tak banyak, tapi pada setiap angkot selalu ada tulisan yang menunjukkan kemana saja tujuan dari angkot tersebut. Berbeda dengan Jogja, ternyata di Wonosobo angkot dibedakan berdasar warna bemper depan dan belakang. Meskipun warna badan angkot rata-rata sama yakni kuning, namun warna bemper bisa beragam. Misalnya warna hitam berarti menuju arah Selokromo, warna coklat berarti menuju Angdong Sili dan sebagainya. Tak lama kemudian, angkot kuning pun datang. Naiklah kami. Berhenti di daerah yang aku lupa namanya  :p untuk kemudian berganti bus. Namun sebelum mencari bus yang akan membawa kami ke titik awal pendakian, kami menyempatkan untuk sarapan. Membeli nasi bungkus di warung yang berada di pojok perempatan dan makan ditempat. Setelah makan barulah kami mencari bus yang akan mengangkut kami.

Ada beberapa jalur yang bisa digunakan untuk mendaki Sindoro. Jalur yang populer adalah Kledung. Tapi kali ini kami memilih jalur lain, Sigedang. Kata Adhi yang sudah sering sekali ke Sindoro, jalur Sigedang relatif lebih cepat dibanding lewat Kledung. Turun dari bus, kami harus mencari ojek untuk sampai ke titik awal pendakian. Kurang lebih sepuluh menit kami habiskan untuk duduk diatas motor dengan jalanan yang tak selalu mulus dan menanjak. Tapi itu tak mengurangi kenikmatan sebuah perjalanan. Selain bapak tukang ojek yang nampaknya tak pernah kehabisan cerita untuk dibagikan kepadaku, pemandangan di sekitar pun elok benar. Kebun sayur penduduk dilatari perbukitan dan Sindoro menjulang sebagai fokus utama.

Sampailah kami di titik awal pendakian. Sejuk udara pegunungan sudah menguar. Hijau perkebunan teh memenuhi pandangan. Sekitar pukul 09.15 kami pun memulai pendakian. Bismillah..

Di depan sana terlihat Sindoro gagah menjulang. Dengan ketinggian kurang lebih 3125 meter di atas permukaan laut, gunung ini memiliki pesona sekaligus tantangan tersendiri. Track yang relatif tidak mudah, penuh batu, dan banyaknya tanjakan selalu memberi sensasi seru namun tentu saja membutuhkan kesabaran ekstra. 

Beruntung cuaca sangat cerah pagi itu. Langkah kami mantap menapaki jalan setapak di antara hamparan tanaman teh. Obrolan dan canda kerap menahan kami beristirahat lebih lama. Lewat tengah hari kabut mulai menghampiri. Udara dingin perlahan terasa. Membuat istirahat makan siang dan sholat semakin melenakan. Namun bagaimana juga, kami melanjutkan perjalanan. Semakin ke atas yang lebih banyak terlihat adalah pohon-pohon nirdaun. Meski kebakaran hutan telah lama lewat, namun sisanya masih terlihat. Ranting tanpa daun berpadu dengan kabut yang menebal membuat suasana menjadi syahdu *haish*.



Di Sindoro, kegiatan lain yang bisa dijadikan alibi untuk istirahat selain berfoto-foto adalah memetik buah yang sering dijumpai di hutan. Sebut saja arbei. Buah manis yang kadang asam ini enak sekali bila dimakan langsung setelah dipetik. Rasanya segar.

arbei gunung

Tak terasa senja menjelang. Puncak nampaknya masih cukup jauh. Pohon cantigi yang menjadi penanda belum lagi terlihat. Namun ada yang lebih menarik untuk dilakukan daripada hanya menduga-duga dimana puncak berada. Cukup mampu membuatku setengah berlari demi menatapnya dari tempat yang sempurna. Matahari tenggelam. Ternganga menatap si kuning bulat merayap turun perlahan di antara gumpalan awan. Gunung Slamet nampak anggun menyaksikan tenggelamnya sang surya. Aku membayangkankannya mengucap kalimat sampai jumpa lagi pada sang matari. Romantis sekali.

sunset

Selepas matari tenggelam, benderang pun digantikan temaram. Kami masih terus melanjutkan perjalanan. Ketika jalan setapak sudah benar-benar sulit dilihat, barulah kami mengeluarkan headlamp. Dan sayang sekali, Adhi lupa membawa barang penting itu. Beruntung headlampku cahayanya cukup terang untuk kami gunakan bersama.

Semakin ke atas, track yang kami lalui terlihat semakin mencengangkan. Batu besar nan tinggi yang nampaknya tersusun bukan untuk dipijak tapi dipanjat. Jadilah kami rock-climbing malam-malam. Beruntung esok hari kami tak harus melalui jalan ini lagi. Kata Adhi kami akan turun lewat jalur Kledung. Dan setelah melalui berbagai cobaan *halah :p* sampailah kami di saat-saat yang membahagiakan. Puncak sudah di sudut mata :D. Setelah memilih dan memilah tempat yang cukup nyaman dan aman, kami pun segera mendirikan tenda. Juga memasak. Langit cerah dan bulan bulat sempurna. Udara dingin maksimal. Membuat kami tak ingin berlama-lama berada di luar tenda dan melahap makan malam dengan cepat agar bisa segera beristirahat di dalam sleeping bag yang hangat.

Minggu, 22 September 2013

Udara dingin langsung menyeruak ketika membuka tenda. Namun kami mendapat hadiah menakjubkan pagi itu. Menatap merahnya langit pagi dari puncak Sindoro. Matahari belum lagi terbit. Adhi mengajak kami untuk menatap matahari terbit dari tempat yang lebih tinggi. Di bibir kawah. Dan benar saja, tempat yang dimaksud Adhi luar biasa. Dari tempat kami berdiri, selain bisa menatap terbitnya matahari tanpa penghalang pepohonan, kami dapat menyaksikan deretan gunung Sumbing, Merapi juga Merbabu. Aahh...indah sekali pagi itu. Luar biasa. Sayang sekali Mas Kame tak turut serta menyaksikan. Mas Kame memilih meneruskan istirahat di tenda. 

langit pagi

sunrise

kawah

Puas menatap terbitnya sang surya, kami beralih ke arah barat. Bulan penuh masih nampak. Berpadu dengan langit yang membiru. Berjalan di antara ilalang kering dengan hangat matahari dari timur, bulan di arah barat, dan deretan pegunungan dieng di sebelah utara. Aaahh.. dengan menuliskannya saja aku serasa bisa kembali melihat pagi yang menakjubkan itu.

bulan masih nampak jelas :D


deretan pegunungan dieng

lapangan, sering digunakan untuk upacara

Kami tak buru-buru berkemas pagi itu. Cukup waktu untuk menghangatkan diri. Juga sarapan di bawah teduh pohon sambil mengulang  kembali cerita pendakian kemarin. Hal-hal yang nampak berat kemarin bisa berubah menjadi konyol untuk diceritakan hari ini. Dan bukankah banyak hal yang begitu dalam hidup?

Kurang lebih pukul sebelas siang kami siap turun. Kali ini kami akan menggunakan jalur Kledung. Dan ternyata tak jauh beda dengan jalur Sigedang. Masih penuh batu meski bukan batu-batu besar. Tapi seringkali berhasil membuat kami terpeleset. Itu sebabnya tawaran iseng Adhi untuk main perosotan di rumput terdengar lebih menarik dibandingkan melewati jalur berbatu. Aku pun menyambut gembira ajakan perosotan. Mbak Lia dan Mas Kame yang berjalan di depan tampak kecewa tak ikut kami perosotan. Dan mulai detik itu kami jadi rajin memperhatikan jalur-jalur yang rumputnya nampak bisa digunakan untuk perosotan. Lumaayyaann...selain bisa mempercepat waktu turun, kami juga bisa menghemat energi :p. Meski begitu, tak jarang kami menemui rintangan. Bisa berupa tergores duri di jalur perosotan, pantat yang tertumbuk batu di tengah jalur dan bahkan merosot terlalu jauh sehingga harus berjalan naik lagi demi menemukan jalur yang benar. Tapi sungguh, itu seru sekali :D

perosotaaaaannn *foto oleh: Mbak Lia*

Senja mulai turun menyapa. Gunung Sumbing tampak gagah di depan mata. Kaki gunung Sindoro masih jauh di depan sana. Kami pun meneruskan perjalanan. Menyusuri setapak berbatu. Turun perlahan meninggalkan Sindoro...

Sumbing dilihat dari Sindoro
ki-ka: Mas Kame, Mbak Lia, aku, Adhi *foto oleh: Mbak Lia*

4 komentar:

  1. keren banget mbak,, iri deh, jadi pingin nggunung juga. :D

    BalasHapus
  2. iyaa..keren banget disana :D
    mau berkunjung ke Sindoro?

    BalasHapus
  3. wuahhhhhhh, ojo mingin-mingini too mbaaakkk ;'(

    BalasHapus
  4. mwihihi..lah sik mingini sopo jal. kan aku cuma posting yang Semarang :p

    BalasHapus