![]() |
Sindoro |
Sindoro adalah sebuah kejutan yang menakjubkan di akhir
September tahun ini. Dalam waktu seminggu saja sebelum hari H, aku memutuskan
untuk ikut Adhi cs mendaki. Setelah menjalani hari-hari kurang menyenangkan di
Agustus dan awal September, Sindoro terdengar sebagai rencana yang hebat. Oke
Sindoro, aku datang. Rencana cuti segera diatur. Satu hari di hari Sabtu kurasa
cukup.
Hari Jumat siang aku pun berangkat ke Wonosobo dengan
menggunakan travel. Rumah Adhi ditetapkan sebagai tempat berkumpul anggota tim.
Tim kali ini terdiri dari 5 orang, yakni aku, Adhi, Mbak Lia, Mas Kame, dan
Umam. Dan tak satupun dari mereka yang kukenal selain Adhi. Bertemu dengan
orang-orang baru pasti bakal seru. Memasuki waktu maghrib sampailah aku di
Wonosobo. Adhi sudah duduk menunggu di depan SPBU yang cukup dekat dengan
rumahnya. Kami langsung menuju rumah Adhi. Mbak Lia dan Mas Kame belum datang.
Mereka baru akan berangkat dari Semarang jam 7 malam. Estimasi perjalanan 3
jam. Sedangkan Umam, kami akan bertemu esok hari sebelum berangkat ke basecamp
Sindoro.
Malam itu Wonosobo cukup dingin. Gerimis turun sesekali.
Nikmat sekali mengobrol di dalam rumah dengan ditemani secangkir teh hangat dan
jajanan khas Wonosobo, tempe kemul. Sekitar pukul 10 malam kabar yang ditunggu pun tiba. Mbak Lia dan Mas Kame
hampir sampai. Dan Adhi bertugas menjemput. Mbak Lia yang pertama dijemput,
menyusul kemudian Mas Kame. Pasangan suami-istri yang belum lama menikah ini
tampak ramah. Setelah mengobrol beberapa waktu, kami pun memutuskan untuk
istirahat. Bersiap untuk perjalanan esok hari.
Sabtu, 21 September 2013
Mengisi pagi dengan packing. Rasanya sudah tidak sabar untuk
segera berangkat. Namun pagi itu kami mendapat kabar kurang menyenangkan. Umam
tak jadi ikut. Ah, sayang sekali. Semoga bisa berkenalan dan mungkin mendaki
bersama di lain kesempatan. Dan setelah selesai packing, kami pun bersiap
berangkat.
Menunggu angkot yang akan membawa kami, aku iseng-iseng
bertanya pada Adhi bagaimana cara mengenali angkot yang diinginkan bila tak ada
tulisan penanda tujuan yang tertempel pada angkot. Di Jogja, meskipun angkot
tak banyak, tapi pada setiap angkot selalu ada tulisan yang menunjukkan kemana
saja tujuan dari angkot tersebut. Berbeda dengan Jogja, ternyata di Wonosobo
angkot dibedakan berdasar warna bemper depan dan belakang. Meskipun warna badan
angkot rata-rata sama yakni kuning, namun warna bemper bisa beragam. Misalnya
warna hitam berarti menuju arah Selokromo, warna coklat berarti menuju Angdong
Sili dan sebagainya. Tak lama kemudian, angkot kuning pun datang. Naiklah kami.
Berhenti di daerah yang aku lupa namanya :p untuk kemudian berganti bus. Namun sebelum
mencari bus yang akan membawa kami ke titik awal pendakian, kami menyempatkan untuk
sarapan. Membeli nasi bungkus di warung yang berada di pojok perempatan dan
makan ditempat. Setelah makan barulah kami mencari bus yang akan mengangkut
kami.
Ada beberapa jalur yang bisa digunakan untuk mendaki
Sindoro. Jalur yang populer adalah Kledung. Tapi kali ini kami memilih jalur
lain, Sigedang. Kata Adhi yang sudah sering sekali ke Sindoro, jalur Sigedang
relatif lebih cepat dibanding lewat Kledung. Turun dari bus, kami harus mencari
ojek untuk sampai ke titik awal pendakian. Kurang lebih sepuluh menit kami
habiskan untuk duduk diatas motor dengan jalanan yang tak selalu mulus dan
menanjak. Tapi itu tak mengurangi kenikmatan sebuah perjalanan. Selain bapak tukang
ojek yang nampaknya tak pernah kehabisan cerita untuk dibagikan kepadaku,
pemandangan di sekitar pun elok benar. Kebun sayur penduduk dilatari perbukitan
dan Sindoro menjulang sebagai fokus utama.
Sampailah kami di titik awal pendakian. Sejuk udara
pegunungan sudah menguar. Hijau perkebunan teh memenuhi pandangan. Sekitar
pukul 09.15 kami pun memulai pendakian. Bismillah..
Di depan sana terlihat Sindoro gagah menjulang. Dengan
ketinggian kurang lebih 3125 meter di atas permukaan laut, gunung ini memiliki
pesona sekaligus tantangan tersendiri. Track yang relatif tidak mudah, penuh
batu, dan banyaknya tanjakan selalu memberi sensasi seru namun tentu saja
membutuhkan kesabaran ekstra.
Beruntung cuaca sangat cerah pagi itu. Langkah kami mantap
menapaki jalan setapak di antara hamparan tanaman teh. Obrolan dan canda kerap
menahan kami beristirahat lebih lama. Lewat tengah hari kabut mulai menghampiri.
Udara dingin perlahan terasa. Membuat istirahat makan siang dan sholat semakin
melenakan. Namun bagaimana juga, kami melanjutkan perjalanan. Semakin ke atas
yang lebih banyak terlihat adalah pohon-pohon nirdaun. Meski kebakaran hutan
telah lama lewat, namun sisanya masih terlihat. Ranting tanpa daun berpadu
dengan kabut yang menebal membuat suasana menjadi syahdu *haish*.
Di Sindoro, kegiatan lain yang bisa dijadikan alibi untuk
istirahat selain berfoto-foto adalah memetik buah yang sering dijumpai di
hutan. Sebut saja arbei. Buah manis yang kadang asam ini enak sekali bila
dimakan langsung setelah dipetik. Rasanya segar.
![]() |
arbei gunung |
Tak terasa senja menjelang. Puncak nampaknya masih cukup
jauh. Pohon cantigi yang menjadi penanda belum lagi terlihat. Namun ada yang
lebih menarik untuk dilakukan daripada hanya menduga-duga dimana puncak berada.
Cukup mampu membuatku setengah berlari demi menatapnya dari tempat yang
sempurna. Matahari tenggelam. Ternganga menatap si kuning bulat merayap turun
perlahan di antara gumpalan awan. Gunung Slamet nampak anggun menyaksikan
tenggelamnya sang surya. Aku membayangkankannya mengucap kalimat sampai jumpa
lagi pada sang matari. Romantis sekali.
![]() |
sunset |
Selepas matari tenggelam, benderang pun digantikan temaram.
Kami masih terus melanjutkan perjalanan. Ketika jalan setapak sudah benar-benar
sulit dilihat, barulah kami mengeluarkan headlamp. Dan sayang sekali, Adhi lupa
membawa barang penting itu. Beruntung headlampku cahayanya cukup terang untuk
kami gunakan bersama.
Semakin ke atas, track yang kami lalui terlihat semakin
mencengangkan. Batu besar nan tinggi yang nampaknya tersusun bukan untuk
dipijak tapi dipanjat. Jadilah kami rock-climbing malam-malam. Beruntung esok
hari kami tak harus melalui jalan ini lagi. Kata Adhi kami akan turun lewat
jalur Kledung. Dan setelah melalui berbagai cobaan *halah :p* sampailah kami di
saat-saat yang membahagiakan. Puncak sudah di sudut mata :D. Setelah memilih
dan memilah tempat yang cukup nyaman dan aman, kami pun segera mendirikan
tenda. Juga memasak. Langit cerah dan bulan bulat sempurna. Udara dingin
maksimal. Membuat kami tak ingin berlama-lama berada di luar tenda dan melahap
makan malam dengan cepat agar bisa segera beristirahat di dalam sleeping bag
yang hangat.
Minggu, 22 September 2013
Udara dingin langsung menyeruak ketika membuka tenda. Namun
kami mendapat hadiah menakjubkan pagi itu. Menatap merahnya langit pagi dari
puncak Sindoro. Matahari belum lagi terbit. Adhi mengajak kami untuk menatap
matahari terbit dari tempat yang lebih tinggi. Di bibir kawah. Dan benar saja,
tempat yang dimaksud Adhi luar biasa. Dari tempat kami berdiri, selain bisa
menatap terbitnya matahari tanpa penghalang pepohonan, kami dapat menyaksikan
deretan gunung Sumbing, Merapi juga Merbabu. Aahh...indah sekali pagi itu. Luar
biasa. Sayang sekali Mas Kame tak turut serta menyaksikan. Mas Kame memilih
meneruskan istirahat di tenda.
![]() |
langit pagi |
![]() |
sunrise |
![]() |
kawah |
Puas menatap terbitnya sang surya, kami beralih ke arah barat.
Bulan penuh masih nampak. Berpadu dengan langit yang membiru. Berjalan di
antara ilalang kering dengan hangat matahari dari timur, bulan di arah barat,
dan deretan pegunungan dieng di sebelah utara. Aaahh.. dengan menuliskannya saja aku
serasa bisa kembali melihat pagi yang menakjubkan itu.
![]() | ||
bulan masih nampak jelas :D |
![]() |
deretan pegunungan dieng |
![]() |
lapangan, sering digunakan untuk upacara |
Kami tak buru-buru berkemas pagi itu. Cukup waktu untuk
menghangatkan diri. Juga sarapan di bawah teduh pohon sambil mengulang kembali cerita pendakian kemarin. Hal-hal
yang nampak berat kemarin bisa berubah menjadi konyol untuk diceritakan hari
ini. Dan bukankah banyak hal yang begitu dalam hidup?
Kurang lebih pukul sebelas siang kami siap turun. Kali ini
kami akan menggunakan jalur Kledung. Dan ternyata tak jauh beda dengan jalur
Sigedang. Masih penuh batu meski bukan batu-batu besar. Tapi seringkali
berhasil membuat kami terpeleset. Itu sebabnya tawaran iseng Adhi untuk main
perosotan di rumput terdengar lebih menarik dibandingkan melewati jalur
berbatu. Aku pun menyambut gembira ajakan perosotan. Mbak Lia dan Mas Kame yang
berjalan di depan tampak kecewa tak ikut kami perosotan. Dan mulai detik itu
kami jadi rajin memperhatikan jalur-jalur yang rumputnya nampak bisa digunakan
untuk perosotan. Lumaayyaann...selain bisa mempercepat waktu turun, kami juga
bisa menghemat energi :p. Meski begitu, tak jarang kami menemui rintangan. Bisa
berupa tergores duri di jalur perosotan, pantat yang tertumbuk batu di tengah
jalur dan bahkan merosot terlalu jauh sehingga harus berjalan naik lagi demi
menemukan jalur yang benar. Tapi sungguh, itu seru sekali :D
![]() | ||
perosotaaaaannn *foto oleh: Mbak Lia* |
Senja mulai turun menyapa. Gunung Sumbing tampak gagah di
depan mata. Kaki gunung Sindoro masih jauh di depan sana. Kami pun meneruskan
perjalanan. Menyusuri setapak berbatu. Turun perlahan meninggalkan Sindoro...
![]() |
Sumbing dilihat dari Sindoro |
![]() |
ki-ka: Mas Kame, Mbak Lia, aku, Adhi *foto oleh: Mbak Lia* |
keren banget mbak,, iri deh, jadi pingin nggunung juga. :D
BalasHapusiyaa..keren banget disana :D
BalasHapusmau berkunjung ke Sindoro?
wuahhhhhhh, ojo mingin-mingini too mbaaakkk ;'(
BalasHapusmwihihi..lah sik mingini sopo jal. kan aku cuma posting yang Semarang :p
BalasHapus