Rabu, 12 September 2012

3428 mdpl part 4: dua gila menjejak puncak..



SUMMIT ATTACK!!

Bismillah..
Kami melangkah. Meninggalkan Pos 9. Meninggalkan tanah coklat, meninggalkan akar-akar yang melintang, meninggalkan pepohonan dan ilalang. Kami menuju gunung pasir dan kerikil.

Di area gundukan pasir ini, kemiringan nampak jelas. Mungkin mencapai 60˚. Miring banget yaa >.<



Satu dua langkah kami tapaki. Beberapa kali terperosot ke bawah. Berpegangan pada apa saja yang berada di dekat tangan. Kadang kala bahkan batu yang dipakai sebagai pegangan terlepas dan menggelinding jatuh. Tak terlalu kuat. Padahal sekilas nampak besar dan kokoh. Tubuh pun oleng. Kami berusaha menjaga keseimbangan agar tak jatuh.

Merosot dan merosot lagi. Begitu berkali-kali. Lelah sekali rasanya. Beberapa kali berhenti. Dan ketika menoleh ke belakang,, Hah??dari tadi jalan baru sampe segitu?? -,-''. Kemudian menoleh ke depan lagi. Menatap pasir dan batu yang sepertinya tak ada ujungnya. Puncak bahkan tak dapat kami lihat.

dalam hati: dari tadi jalan baru sampe segini aja? :p

Mas arifin selalu memasang target bagi kami berdua. '' Sampe batu besar itu ya Ki? Trus istirahat bentar'', katanya. Aku menoleh ke atas. Ke arah batu yang dimaksud. Lalu mengangguk saja. Dan aku pun berjalan. Kadang tegap berjalan tapi sering pula menempelkan badan di pasir bila dirasa tubuh mulai tidak seimbang. Merangkak. Apa saja agar tidak terjatuh :o

Begitu seterusnya. Dan kalimat-kalimat seperti  '' Sampe batu yang ada tulisannya itu ya Ki?'', ''Sampe situ ya Ki?'' terus dikeluarkan Mas Arifin. Aku mengangguk lagi dan lagi. Pasrah. Berharap di balik batu-batu yang ditunjuk Mas Arifin tadi adalah puncak. Tapi tidak, atau belum. Kami harus terperosot berulang-ulang. Merangkak dan merangkak lagi. Tidak ada habisnya.

Letih dan haus. Hanya itu yang mendominasi rasa di tubuhku. Kami pun istirahat sejenak di batu besar yang menjadi salah satu target Mas Arifin tadi. Minum secukupnya, karena kami harus menghemat persediaan air. Mas Arifin mulai membuka coklat. Aku tidak tertarik. Aku tidak merasa lapar. Letih hebat ini sepertinya menghilangkan sensasi laparku.

Kami meneruskan perjalanan. Frustasi karena tidak jua sampai sempat menghampiri otakku. Tapi tekat untuk bisa sampai puncak mengalahkan segala letih dan dahaga. Mungkin ini yang sering disebut sugesti diri memiliki kekuatan yang luar biasa. Kami sudah seperti 2 orang gila yang mati-matian berusaha mencapai puncak. Agak lebay sih kedengarannya :p. Tapi begitulah adanya. Kami letih. Letih luar biasa. 

Beberapa kali berjumpa dengan pendaki lain yang hendak turun. Kata mereka, “ Sebentar lagi Mas, Mbak..” , “ Puncak udah deket Mbak..”, “ Ayo semangat, sebentar lagi puncak..”. Uyyeah! Semangat kami terpompa lagi. Langkah kami semakin menggila. Frustasi tingkat dewa dan semangat membara sudah tidak bisa dibedakan lagi :p

Tapi eh tapi. Semakin ke atas, pasir tak lagi sepenuhnya berwarna abu. Pasir bercampur dengan tanah merah. Kerikil pun tak lagi sama, banyak yang berwarna merah, juga abu kebiruan. Apakah ini pertanda kami sudah hampir mencapai puncak?? Entahlah..


Dan betapapun kami belum sampai di puncak, kami sudah disuguhi pemandangan yang luar biasa istimewa seperti ini... Subhanallah...


Langkah kaki kami kembali mantap. Menapaki pasir yang tak kunjung usai. Lelah lagi-lagi menyergap. Hingga kami bertemu dengan rombongan pendaki dari UGM. Kami pun tak kuasa untuk tidak bertanya, “Puncaknya masih jauh Mas?”. Dan mereka pun menjawab, “ Lah, dibalik batu ini puncak Mas, Mbak..”. Rasa-rasanya itu kalimat terindah yang pernah kudengar selama 16 jam terakhir. Ingin berlari rasanya. Melompati batu terakhir yang menyembunyikan puncak dari pandangan mata kami. Dan wow! Allahu Akbar!!! Kami sampai puncak. Kami –dua orang gila, akhirnya menjejak puncak Gunung Slamet. Puncak kawan, ini puncaaakk :D

3428 mdpl

Waktu itu kira-kira pukul 8.30 WIB. Tak terkira rasanya bisa sampai di tanah ini. Tanah tertinggi kedua di Pulau Jawa. Sampai di puncak Gunung Slamet kegilaan kami pun memuncak hehe.. Kami melompat kegirangan. Berlarian merasai angin puncak. Melepaskan semua tas dan jaket. Memotret kalap. Sujud syukur. Lega sekali rasanya. Puas tak terhingga. Lenyap sudah frustasi tingkat dewa.


harus bisa bertahan sampai Pos 2 dengan sisa logistik :p

Tidak ada keinginan untuk makan atau minum [karena emang logistiknya minim :p]. Kami hanya ingin menikmati disini, di puncak ini. Menikmati dengan duduk diam meresapi angin puncak. Menikmati dengan berlarian kesana-kemari. Menikmati dengan memotret sana-sini. Dan juga menikmati dengan mengibarkan bendera kebanggaan kami, Sang Merah Putih tercinta. 

Merah Putih di puncak Gunung Slamet


dua gila di 3428 mdpl

Dari puncak ini, kami bisa melihat gumpalan awan berarak, pasir-pasir yang kami lalui, hutan di bawah sana, juga kawah di Gunung Slamet yang nampak masih mengeluarkan asap.









Cukup lama kami menghabiskan waktu berfoto-foto di puncak. Dan pada akhirnya kami pun harus turun. Waktu itu kira-kira pukul 10 pagi. Kami harus bergegas agar tidak terlalu sore sampai Pos 2, tempat Mas Hono dan Kak Eva menanti.

Enggan rasanya meninggalkan puncak Slamet. Enggan rasanya meninggalkan puncak yang kami perjuangkan tadi. Tapi bukankah hidup memang seperti itu? Meraih satu puncak, lalu bergegas mencapai puncak yang lain. Sebab hidup itu perjuangan tanpa henti. Sebab waktu kita terlalu sedikit kawan, sedang dunia terlalu luas.

Dan perjalanan turun gunung pun dimulai...


6 komentar: