Sabtu, 01 Oktober 2016

3078 mdpl : [ C I R E M A I ]



Verba volant, scripta manent.
[Yang terucap akan hilang, yang tertulis akan abadi.]
~peribahasa Latin
***
[ P E R C A Y A ]
Berangkat dari kata ‘percaya’ perjalanan ini dimulai. Kepercayaan telah diberikan kepada saya. Oleh yang saya percayai. Percaya bahwa perjalanan ini saya butuhkan lebih dari yang saya inginkan. Percaya bahwa saya akan baik-baik saja dalam perjalanan. Dan percaya, bahwa saya akan selalu pulang.

[ T E M A N ]
Bahwa di setiap perjalanan, kita akan bertemu dan membutuhkan orang lain, yang disini akan saya sebut sebagai teman. Dan bahkan, teman itu mungkin adalah diri kita sendiri. Bagaimana kita bertemu dengan diri kita sendiri? Bukankah seringkali kita merasa kehilangan diri kita sendiri entah karena pengaruh orang lain ataupun keadaan lingkungan. Dan jarang sekali kita merasa telah bertemu kembali dengan diri kita sendiri. Di perjalanan inilah saya ingin bertemu kembali, sebab rindu, merindui diri saya sendiri.

[ I S T I R A H A T ]
“Bukannya buat istirahat, ini cuti malah naik gunung,” pernah seseorang berkata pada saya.
Dan kemudian saya jawab dengan tersenyum, “Naik gunung adalah istirahat bagi saya.”
Istirahat. Seperti identik dengan tidur atau berdiam diri bermalas-malasan. Saya lebih sepakat pada definisi istirahat adalah proses pindahnya fokus atau konsentrasi. Saya lelah menulis, maka saya membaca. Membaca adalah istirahat. Saya penat bekerja, maka saya mendaki gunung. Mendaki gunung adalah istirahat. Hati dan otak saya terasa penuh, maka saya istirahat.

[ C I R E M A I ]
Ciremai. Gunung ini berada dalam wilayah dua kabupaten di Jawa Barat yakni Kuningan dan Majalengka. Memiliki ketinggian 3078 mdpl, gunung berapi ini merupakan yang tertinggi di Jawa Barat. Pada awalnya (zaman Belanda), kawasan hutan Gunung Ciremai ditetapkan sebagai hutan lindung. Namun pada tahun 1978, oleh pemerintah Indonesia hutan Gunung Ciremai dijadikan hutan produksi yang pengelolaannya diserahkan kepada Perum Perhutani. Dan pada tahun 2003, terjadi alih fungsi kawasan dari hutan produksi menjadi hutan lindung kembali untuk mengembalikan fungsi ekologis Gunung Ciremai.

Gunung Ciremai memiliki kekayaan flora dan fauna. Adapun flora yang terdapat di kawasan Gunung Ciremai diantaranya adalah pinus, kina, kayu manis, pule juga beberapa jenis palem. Dan fauna yang masih terdapat di Ciremai diantaranya adalah lutung, kera ekor panjang, musang, babi hutan, macan tutul, elang, prenjak, walet dan masih banyak lagi.

Terdapat beberapa jalur yang dapat digunakan untuk mendaki Gunung Ciremai. Yang populer digunakan adalah jalur Palutungan dan Linggarjati di Kuningan dan jalur Apuy di Majalengka. Atas rekomendasi seorang teman, kami memilih untuk mendaki lewat jalur Palutungan yang konon katanya lebih landai dibanding jalur Linggarjati meski dengan konsekuensi waktu perjalanan yang lebih lama.

3 September 2016
Dengan menggunakan kereta api Progo kami berangkat dari stasiun Lempuyangan menuju stasiun Cirebon Prujakan. Menakjubkan ketika mengingat kembali bahwa jam 8 pagi saya masih berada di tempat kerja saya di Yogyakarta, berkutat dengan pasien hingga lewat tengah hari dan jam 8 malamnya saya telah berada di kota lain, Cirebon. Teknologi transportasi. Betapa manusia telah memanfaatkan apa-apa yang dimiliki dengan sangat baik. Hal yang tidak terpikir ketika saya tidak melakukan perjalanan.

Atas tawaran teman saya yang juga merekomendasikan jalur pendakian, kami menginap di rumahnya. Tak berpikir panjang, saya iyakan. Sekalian menengok bapak si teman yang kala itu tengah sakit. Bapak yang dalam pandang saya menurut cerita-cerita si teman, adalah bapak yang disayangi, dihormati, dan disegani sekaligus. Langka. Beruntung saya diberi kesempatan untuk bertemu dan mencium tangannya, meski sekedar memperkenalkan diri dan berpamitan. Karena ketika saya menuliskan ini, beliau telah berpulang. Selamat jalan bapak, doa terbaik untuk engkau.

4 September 2016
Masih pagi ketika kami ditemani adik si teman berbelanja ke pasar Kramat Mulya untuk membeli bahan masakan. Telinga saya yang terbiasa mendengar bahasa Jawa (jawa Yogya-Solo) mendadak diliputi dengung bahasa asing ketika memasuki pasar. Sunda. Dan bahkan saya beberapa kali ditanyai dengan bahasa Sunda. Saya cuma bisa senyum dan melemparkan pandang –plis tolong terjemahin- ke adik si teman. Yang kupandang balik tersenyum dan membalasku dengan pandangan –haha, iya saya bantu- lalu menjelaskan kepada penjual pasar apa yang saya butuhkan. Bahasa. Menjadi produk yang tetap saya kagumi, bahkan ketika saya tidak mengerti.

Beres re-packing, berpamitan pada Ibu teman saya –yang kala itu belum memahami apa yang diinginkan anak muda dengan mendaki gunung- dan adik si teman –yang pengen ikut naik gunung tapi serta merta permohonannya ditolak Ibu-, lalu kami pun berangkat menuju basecamp Palutungan. Bangunan yang dijadikan basecamp berupa rumah mirip di perumahan yang sebenarnya bisa lebih bersih lagi bila rutin dibersihkan, pos loket, toko kecil yang menyewakan peralatan mendaki dan deretan kamar mandi di belakang rumah. Di sekelilingnya terdapat beberapa warung makan sekaligus toko kelontong kecil.

Kami mendaftarkan diri di pos dan membayar lima puluh ribu rupiah untuk masing-masing pendaki. Harga yang cukup mahal bila dibandingkan gunung-gunung di Jawa Tengah yang rata-rata di bawah sepuluh ribu. Menurut informasi yang saya baca di internet sebelum mendaki, hal yang sama dirasakan pula oleh masyarakat sekitar pada awal-awal kenaikan tarif. Tapi kemudian saya memahami bahwa harga sekian adalah termasuk fasilitas peta, kamar mandi dan satu kali makan (diberikan pada waktu turun gunung). Berdasarkan informasi peta, lepas dari Palutungan kami mesti melewati delapan pos sebelum sampai puncak.
Kurang lebih pukul sembilan lewat tiga puluh menit pagi kami berangkat dari basecamp Palutungan menuju Pos 1, Cigowong. Estimasi waktu perjalanan adalah dua hingga tiga jam. Waktu tempuh terlama antar pos. Saya membuat catatan sendiri, berisi estimasi waktu tempuh antar pos berdasarkan informasi yang telah didapat sebagai gambaran yang nantinya akan saya cocokkan dengan real time yang kami tempuh. Bismillah. Pendakian dimulai.

peta

Lepas dari kampung terakhir, kami melewati kebun milik penduduk, lalu kawasan hutan pinus, dan barulah kami memasuki hutan hujan Gunung Ciremai. Hutan hujan Gunung Ciremai benar-benar masih asri. Rimbun dan lembab. Hampir semua pohon besar yang kami jumpai ditumbuhi lumut hijau. Meski begitu jalan setapak yang menjadi jalur jelas terlihat. Beberapa kali kami bertemu dengan jalan yang tanjakannya lumayan. Kami belum lagi tahu bahwa di waktu selanjutnya tanjakan-tanjakan yang lumayan tadi akan berubah menjadi lumayan banget.

Jalur pendakian

Tepat dua jam perjalanan dan kami sampai di Pos 1, Cigowong. Terdapat gapura selamat datang di pos ini. Ada aura kebahagiaan memasuki gapura. Hal ini tak lebih disebabkan oleh warung-warung makan yang berjajar. Bahkan ada pula calon warung yang tengah dibangun. Beberapa waktu mendatang pastilah Pos 1 lebih semarak oleh sebab hadirnya warung-warung baru. Menurut informasi hanya di pos ini terdapat sumber air. Dibangun pula beberapa kamar mandi di dekat bak tempat mengambil air. Cukup lama kami tertahan di Pos 1. Makan, sholat, ngopi, juga ngobrol dengan bule asal Belgia, Swiss dan Perancis. Jangan tanya pakai bahasa apa. Tentu saja bahasa Indonesia. Si bule Belgia telah cukup fasih ngobrol menggunakan bahasa Indonesia karena telah tinggal selama satu tahun di Indonesia. Mereka bertanya soal jalur turun lewat Palutungan (padahal sudah sampai Pos 1). Satu hari sebelumnya mereka telah mendaki Gunung Ciremai via Apuy di Majalengka. Hujan turun membuat kami tertahan lebih lama lagi di warung. Dan ketika hujan tak nampak akan reda, kami pun bersiap mengenakan mantel hujan. Setelah berpamitan pada bapak yang telah berjasa membuatkan kami kopi dan mie instan, kami pun melanjutkan perjalanan menuju pos selanjutnya, Pos Kuta. 

Pos Cigowong

Tiga puluh menit estimasi waktu yang diperlukan dari Cigowong menuju Kuta kami pangkas menjadi setengahnya, lima belas menit kami telah sampai di Pos Kuta yang rupanya hanya berwujud pohon besar dengan akar-akar besarnya yang mencuat ke atas tanah. Bisa digunakan untuk duduk-duduk. Mantel hujan masih kami pakai. Dan tak ada niat untuk beristirahat lama-lama di Pos Kuta. Kami pun meneruskan perjalanan.

Pos Kuta

Pukul dua kurang sepuluh menit kami sampai di Pos 3, Pangguyangan Badak. Tiga puluh menit perjalanan dari Pos Kuta. Pangguyangan Badak cukup lapang untuk dapat didirikan tenda bila diperlukan. Bisa menampung sekitar tiga atau empat tenda kapasitas 2-4 orang. Di pos ini kami melepas mantel hujan. Hujan sudah berhenti. Alhamdulillah.

Pos Pangguyangan Badak

Semangat masih membara rupanya sehingga empat puluh menit dari Pangguyangan Badak sampailah kami di Arban, Pos 4. Dalam catatan saya estimasi waktu tempuh dari Pangguyangan Badak menuju Arban adalah enam puluh  menit. Ah, semoga semangat ini tetap terjaga mengingat kaki saya yang sudah lama sekali tidak dilatih naik gunung. Di Pos Arban kami menjumpai banyak pendaki yang memilih mendirikan tenda setelah turun dari puncak. Sebentar mengobrol dengan beberapa orang dan kami pun melanjutkan perjalanan menuju Pos 5. Hal-hal yang seperti ini yang sering saya rindukan. Di gunung, kami saling menyapa dan menghormati orang lain yang dijumpai sekalipun tidak saling kenal. Merasa kontras ketika mengingat kehidupan nyata di bawah sana. Saling kenal pun kadang enggan menyapa. Bahkan yang pernah sangat dekat pun rasa-rasanya bisa menjadi asing. Manusia.

Pos Arban

Pos 5 bernama Pos Tanjakan Asoy. Entah apa pasal diberi nama seperti itu. Saya curiga tracknya justru kebalikan dari asoy. Dan benar saja, tanjakan-tanjakan cukup curam mesti kami lalui untuk mencapai pos tersebut. Akar-akar pohon bercampur tanah masih menjadi pemandangan utama. Beruntung hujan tak turun berkepanjangan. Akan sangat licin setapak yang kami lalui bila hal itu terjadi. Tujuh belas menit kami butuhkan dari Arban untuk sampai di Tanjakan Asoy. Dan rasanya cukup melelahkan. Lelah yang membahagiakan. Pukul tiga lebih dua puluh menit sore.

Jalur

Pos Tanjakan Asoy

Cukup beristirahat untuk mengumpulkan kembali tenaga. Berharap tak bertemu lagi dengan tanjakan-tanjakan asoy setelah Pos Tanjakan Asoy. Dan pupus harapan! Tanjakan Asoy adalah permulaan. Jarang sekali kami jumpai tanah datar. Tanjakan dan tanjakan. Curam dan curam. Tap tap tap. Langkah kaki rasa-rasanya semakin berat. Kami mulai lelah. Empat puluh lima menit dan kami baru sampai di Pasanggrahan I. Entah sejak kapan muncul Pos Pasanggrahan I ini. Di peta belum lagi ada. Hanya ada tertera Pos Pasanggrahan, yang kemudian kami ketahui maknanya adalah Pasanggrahan II, Pasanggrahan yang sejati. Beberapa tenda telah dan sedang didirikan di Pasanggrahan I. Menurut instruksi yang kami dapat di basecamp, pendaki dianjurkan mendirikan tenda di Pasanggrahan. Dan atas kesepakatan pengelola basecamp Palutungan dan Apuy, pendaki tidak disarankan untuk mendirikan tenda di pos terakhir, Goa Walet, untuk mencegah terjadinya timbunan sampah seperti yang sudah-sudah. Kami duduk-duduk di tempat lebih tinggi untuk sekedar meluruskan kaki sambil melihat orang-orang yang tengah mendirikan tenda dan hammock sebelum melanjutkan perjalanan menuju Pasanggrahan II.

Pos Pasanggrahan I

“Kalau kondisinya seperti ini seterusnya, kita tidak bisa melihat sunset,” kata saya sambil tetap memandangi orang-orang yang nampak sibuk dengan tenda dan peralatan masak mereka.
“Sepertinya sih gitu.”

Kondisi hutan hujan Gunung Ciremai yang sangat rimbun dan sarat pohon besar nan tinggi menjulang membuat kami kesulitan melihat langit luas. Langit hanya dapat kami lihat melalui celah-celah dedaunan. Kondisi yang sama hingga menjelang batas vegetasi.

Dua puluh menit waktu yang kami butuhkan dari Pasanggrahan I untuk mencapai Pos 6, Pasanggrahan, yang sekarang disebut dengan Pasanggrahan II. Waktu menunjukkan pukul lima sore kurang beberapa menit. Kami pun mulai mendirikan tenda sebelum gelap tiba.

Pos Pasanggrahan II

5 September 2016
Pukul tiga pagi adalah waktu yang kami sepakati untuk summit attack. Nyatanya pukul empat barulah kami beranjak dari tenda. Semoga masih cukup waktu untuk melihat langit pagi beserta sunrise dari tanah tertinggi Jawa Barat. Lima belas menit berjalan dan kami telah sampai di Pos 7, Pos Sanghyang Ropoh. Semakin ke atas jalur menjadi lebih sulit dilewati. Tak sekedar tanjakan berupa tanah dan akar pepohonan. Kali ini batu-batuan besar pun turut serta meramaikan jalur kami. Tak hanya sekali saya kebingungan mesti menapakkan kaki dimana.

Pos Sanghyang Ropoh

persimpangan jalur Palutungan dan Apuy

“Eh ini mesti lewat mana?”
“Kaki aku yang satu mesti ditaruh dimana?”
“Aku takut lewat situ.”

Kalimat-kalimat yang jarang sekali saya pakai mendadak keluar ketika berhadapan dengan jalur yang mesti kami lalui. Cukup menantang. Dan melelahkan. Namun ternyata saya memang merindukan hal-hal seperti itu. Terima kasih Ya Alloh. Terima kasih semesta. Untuk keberadaan saya di Ciremai.

rada ngeblur. tangan menggigil

Lima puluh menit dan kami pun sampai di Pos terakhir, Pos Goa Walet. Hanya ada satu tenda berdiri di pos ini. Saya menunaikan sholat subuh tak jauh dari tenda sebelum melanjutkan perjalanan yang tak lebih mudah dari sebelumnya. Langit tak lagi hanya kami lihat lewat celah dedaunan. Semburat kuning dan jingga mulai terlihat. Bertemu cantigi adalah kelegaan. Sebentar lagi puncak!

Pos Goa Walet

Goa Walet

selamat pagi :)

Hap hap hap! Dan meski semangat meletup namun kondisi tubuh tak lagi dapat dibohongi. Track yang sungguh mampu membuat lelah masih menemani kami sampai akhir. Tiga puluh lima menit sudah kami berjalan dari Pos Goa Walet. Dan pada pukul enam kurang beberapa menit saja sampailah kami di puncak tertinggi di Jawa Barat, Puncak Ciremai. Alhamdulillah. Allahu akbar. Lega sekali rasanya melihat kibaran bendera merah putih. Senang bukan kepalang menatap lautan awan dari tempat saya berdiri. Berjalan lurus menuju tempat dimana sang merah putih berada. Sebelah kanan saya adalah lautan awan dan sebelah kiri adalah jurang dengan kawah di dasarnya. Dan sinar matari pagi menghangatkan gigil yang sedari tadi tak hilang-hilang. Padu padan yang tak selalu didapatkan. Padu padan yang di kemudian waktu memberi pemahaman kepada Ibu teman saya tentang mengapa anak muda senang mendaki gunung. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?














Kami berjalan berkeliling di Puncak Ciremai. Memanjakan mata dengan kombinasi apik antara langit biru, gumpalan awan, cahaya matari pagi, juga edelweis. Menikmati setiap menitnya berada di tanah ini, sebagai hadiah indah bagi kami semua. Hadiah atas perjalanan yang tak mudah. Hadiah manis untuk mereka yang memilih untuk tidak menyerah.







maafkan saya untuk foto ini :p



Merasa cukup berada di atas, kami pun turun. Setengah delapan lewat. Dan saya kembali dihadapkan pada kenyataan jalur yang kami lalui tadi. Pegang ranting itu, merangkak disini, berjinjit, lompat, menggelayut di dahan. Kemudian menengok ke belakang sesekali untuk melihat yang sudah berhasil dilewati. Astaghfirulloh, tadi jalurnya kayak gitu?

astaghfirulloh..






Lega rasanya begitu sampai kembali di tenda. Kami beristirahat sejenak untuk kemudian memasak makan siang. Makan siang kami istimewa sekali. Nasi putih, orak arik brokoli campur wortel dan jagung manis dengan lauk telur dadar spesial. Kenyang!

makan siang

Sudah lewat tengah hari ketika kami kembali menggendong keril. Pada mulanya perjalanan turun terasa lebih cepat dibanding saat kami mendaki. Tapi entah apa pasal setelah lewat Pos 4,  pergelangan kaki saya seperti salah otot. Mulanya terjadi nyeri mendadak. Saya coba lemaskan, putar-putar, tempelin salonpas, tapi nyerinya tak juga hilang. Ah sudahlah. Jalan saja terus sampai bawah. Insyaa Alloh mampu.

Senja mulai merayap turun ketika kami sudah sampai perkebunan penduduk. Beberapa kali menengok ke belakang untuk sekedar menatap gagahnya Ciremai. Untuk sekedar bertanya dalam hati sendiri, “Benarkah tadi pagi kaki ini telah menjejak puncak itu?”. Untuk sekedar mengucap terima kasih sudah sedemikian baik pada manusia yang datang berkunjung. Dan untuk sekedar mengucap salam perpisahan. Terima kasih Ciremai. Terima kasih. 

Sudah benar-benar gelap ketika kami sampai di basecamp. Lampu-lampu telah dinyalakan. Hari sudah hampir berakhir. Yang lelah akan beristirahat. Bersiap untuk menyambut hari baru esok pagi.

[ S E K I A N ]


Catatan khusus:
Direkomendasikan untuk menggunakan sepatu yang sesuai saat mendaki Gunung Ciremai terkait track yang akan dilalui. Tetap waspada terhadap satwa-satwa yang mungkin ditemui. Jangan salah masuk jalur evakuasi. Bawa diri dengan baik dan jangan lupa bawa sampahmu turun. Salam lestari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar