Kamis, 31 Juli 2014

tak banyak lagi




Tak banyak yang bisa dikatakan selain bahwa memori itu masih ada. Menguar secara tak sengaja di tanggal yang tepat sama. Menjadi kenangan yang tak diinginkan kehadirannya. 

Kamu. Masih dengan perangaimu yang bersahaja. Terlalu santun untuk menggoreskan luka. Dan terlalu indah untuk tak dirindui barang sebentar saja.

Kamu. Pemilik nama indah. Yang kutemui sekali waktu di malam-malam ketika menghabiskan kitab. Yang membuat dada berdesir ketika nama indahmu terucap.

Kamu. Yang kabarnya mampu menghabiskan tangisan. Yang (bahkan) di tempo yang sekian jauhnya kalimatnya masih baik terekam.

Tak banyak lagi yang bisa kukatakan tentangmu. Tentang kamu. Yang masih nyata. Namun tiada. Yang mengendapkan lara. Namun pernah percikkan bahagia.

Kamu. Tentang kamu. Yang sedemikian banyak meninggalkan memori. Yang sepersekian masa merajai hari-hari. Yang tak pernah alpa kurindui. Yang mengenalkanku pada ia yang bernama patah hati.

Tak banyak. Tak banyak lagi. Tak banyak lagi yang kuingini. Tentang memori ini.

31 Juli 2014.

Jumat, 04 Juli 2014

serunya menjajal dua jalur Gunung Sumbing



Selamat malam, montain-lover :|

Catatan ini bermula dari sebuah percakapan singkat dalam perjalanan turun Gunung Sindoro tahun lalu *halah*

“Yang satu iri loh Ki kalo nggak disamperin juga,” kata Adhi padaku sambil memandang lurus ke depan, Gunung Sumbing.

Mataku mengekor. Menatap gunung yang menjulang tepat di depan. Saudara kembar gunung yang tengah aku turuni. Sumbing. 3371 mdpl.

Sumbing

“Iya deh. Besok kesana,” jawabku pendek.


“Besok itu Ki? Sampe basecamp trus lanjut Sumbing?” Adhi nyengir.

“Adhii... -_- “

Senja beranjak turun. Kaki Sindoro masih jauh. Kami melanjutkan perjalanan.

***

Tujuh bulan berselang. Rencana kala itu mulai membentuk janin. Waktu sudah ditetapkan: 18-19 April 2014 *oke.telat banget ini buat catpernya.biar deh.biar telat asal buat :p*. Personil: aku, Adhi, ...? Kok baru kami? Pencarian korban pun dimulai. Dan akhirnya kami menemukan dua korban potensial. Fitria dan Rising. Janin berkembang. Kesepakatan dibuat. Kami bertiga (aku, Fitria, dan Rising) akan berangkat bersama dari Yogya langsung menuju basecamp Sumbing. Sedangkan Adhi, karena rumahnya yang masih satu kabupaten dengan basecamp, akan menyusul setelah kira-kira kami sudah masuk kabupaten Wonosobo. Dalam perjalanan menuju basecamp ini, tentu yang paling menderita adalah Rising :p. Karena tinggal di Solo, berarti Rising harus bangun jauh lebih awal dari kami untuk mengejar kereta pagi menuju Yogya. 

Jum’at, 18 April 2014

Pukul 8 tepat kami berangkat dari Yogya menuju Wonosobo. Tak banyak yang bisa dilakukan dalam mobil travel selain ngobrol atau diam memandang ke luar jendela. Dan mungkin membalas dendam seperti Rising. Balas dendam tidur.

Setelah melewati cobaan yakni bapak supir travel yang (nampaknya) sedang PMS, akhirnya kami tiba di tepi jalan raya menuju arah basecamp. Masih harus berjalan beberapa menit untuk benar-benar sampai. Dan pukul sebelas siang sampailah kami di basecamp Sumbing yang terletak di dusun Garung, desa Butuh, kecamatan Kalikajar, kabupaten Wonosobo. Adhi belum nampak batang kerilnya. Dan Rising justru bertemu dengan tiga lelaki pendaki yang ternyata adalah adik tingkat di kampusnya. Sambil menunggu Adhi datang, kami mendaftar lebih dahulu. Tak mahal. Lima ribu rupiah per orang. Empat ribu rupiah untuk retribusi pendakian dan seribu rupiah untuk retribusi fasilitas air bersih. Plus bonus peta pendakian dengan keterangan yang lengkap. Baru kali ini, mau naik gunung dikasih peta. Senangnya :D.

 
basecamp
peta pendakian

Hingga waktu shalat jum’at berakhir, Adhi belum juga datang. Baru sekitar pukul dua siang kehadirannya dapat dirasakan *apadeh*. Hampir bersamaan dengan kedatangan teman Rising yang lain lagi. Empat orang pendaki yang salah satunya perempuan. Ini kenapa ketemu teman Rising semua ya :3. Setelah obral-obrol, kami, 3 tim, berniat memulai pendakian bersama-sama. Dengan Adhi sebagai kepala sukunya, pukul 14:30 wib kami memulai pendakian. Bismillah..

Gunung Sumbing. Gunung dengan ketinggian 3371 mdpl ini sering disebut sebagai saudara kembar Sindoro. Terletak di tiga kabupaten yakni Magelang, Temanggung, dan Wonosobo. Bila berangkat dari arah Yogyakarta atau Magelang, gunung Sindoro dan Sumbing seperti hanya dipisahkan oleh jalan provinsi penghubung Temanggung dan Wonosobo. Untuk mendaki gunung ini, ada dua jalur yang lazim digunakan. Jalur lama dan jalur baru. Dan kali ini, kami memulai pendakian menggunakan jalur baru. Hap hap..

Lepas dari setapak perkampungan desa terakhir, kami memasuki wilayah perkebunan sayur milik petani lokal. Jalan yang terus menanjak membuat wajah Fitria memucat. Dan meskipun baru pertama kali mendaki gunung, Fitria berusaha bisa mengkondisikan diri. Fight! Fight! Fight Fitria :D.

Adhi-Rising-Fitria


motor pengangkut sayuran
mendung dan kabut


Mendung mulai menggelayut. Semoga tidak hujan, doaku. Fitria masih pucat. Tapi tetap berjalan dalam diam. Meski begitu, masih bisa tersenyum ketika Rising atau Adhi melakukan hal-hal konyol. Sudah lewat kebun sayur ketika kami mendengar suara gemericik air. Sungai? Air terjun? Ya! Ada air terjun di sebelah kiri kami. Dan tak jauh, kami akhirnya bertemu dengan sungainya. Jernih sekali. Menggoda untuk diminum. Baru saja terlintas di pikiranku untuk minum, ternyata Adhi sudah menyedok airnya dengan botol. Dan sesuai dengan perwujudannya, air sungai itu segar sekali rasanya. Minum lagi. Minum lagi. Yeah..

sungai


Pukul 16:40 wib kami tiba di Pos 1. Mendung tak lagi mendominasi. Sinar matahari sore mengintip lewat celah pepohonan. Istirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan menuju pos berikutnya. Jalur baru Sumbing tak jauh dari berita dan cerita yang beredar. Percampuran tanah dan batu yang cukup terjal dan minim bonus. 

Pos 1
Sudah benar-benar gelap ketika akhirnya kami sampai di Pos 2. Pukul 18:20 wib. Di dekat Pos 2 ini terdapat sumber air. Jadi jangan khawatir bila stok air menipis. Demi mencukupi kebutuhan air tim kami, Adhi dan Rising berangkat mengambil air. Sedangkan aku dan Fitria dengan bahagia menanti sambil glesotan memandang taburan bintang di langit. Subhanallah.. Meski sempat mendung, tapi langit malam itu sungguh indah. Cerah. Full bintang. Cukup lama menanti Adhi dan Rising kembali. Dingin mulai terasa. Tim yang lain sudah berangkat lebih dulu. Dan begitu dua lelaki dalam tim kami datang, perjalanan pun diteruskan.

Pos 2


Jalur pendakian masih monoton. Batu-baru berukuran cukup besar mulai sering kami temui. Dan tetap terjal. Tapi yang lebih parah dari itu adalah aku mulai mengantuk. Duduk yang agak lama bisa membuatku tidur seketika. Jadi kawan, sebaiknya jangan istirahat terlalu lama :p. 


Pukul 21:15 kami sampai di Pestan. Berada di ketinggian 2437 mdpl, Pestan sering digunakan sebagai camping ground. Cukup luas. Dan meskipun tanahnya agak miring, Pestan adalah tempat yang paling masuk akal untuk dijadikan camping ground. Malam itu Pestan sudah cukup ramai. Tenda-tenda sudah didirikan. Dan ternyata tim yang terdahulu sudah selesai membangun tenda ketika kami sampai. Mereka riuh sekali menawari kami untuk makan dan minum. Juga tidur di tenda mereka. Tapi sepertinya aku lebih ingin membangun tenda sendiri. Setidaknya untuk aku dan Fitria. Khawatir tak cukup memiliki ruang. Jadilah setelah selesai sholat, kami membangun tenda kecil untuk aku dan Fitria tepat di sebelah tenda dua tim lain. Dan benar saja, tenda tetangga tak cukup leluasa. Sehingga keril Adhi dan Rising harus dimasukkan ke dalam tenda kecil kami. Setelah membuat minuman hangat dan memasak makan malam, kami pun beranjak istirahat. Mempersiapkan diri untuk summit attack esok hari.

Pestan

Sabtu, 19 April 2014


Selamat pagi, gaess..

Lepas menjalankan shalat subuh, kami bersiap untuk melanjutkan perjalanan. Di luar belum lagi benderang. Dingin masih meradang. Tapi menikmati pagi di ketinggian sungguh tiada bisa disamakan. Gunung Sindoro tampak menjulang di seberang. Langit mulai memamerkan semburat warna-warna terang. Menyamarkan gemintang. Selamat pagi, semesta. Selamat pagi.

selamat pagi :)

Sekitar pukul 5:30 kami resmi berangkat dari Pestan. Seluruh tim naik kecuali Adhi. Entah sudah bosan melihat puncak Sumbing atau memang masih mengantuk. Atau bisa jadi keduanya. Adhi lebih memilih tetap bergelung di dalam tenda. 

Sindoro
Langkah kaki kami mantap menapaki jalur pendakian yang (tetap) terjal sambil sesekali mengambil gambar pagi yang menakjubkan. Batu-batu berukuran cukup besar tampak disana-sini. Sekitar pukul tujuh pagi kami menjumpai papan bertuliskan Pasar Watu [watu: batu]. Maknanya sudah jelas. Oke. Aku ra popo.
Pasar Watu

Berjarak satu jam *waktu istirahat sudah dihitung* dari Pasar Watu, sampailah kami di Watu Kotak. Disebut juga sebagai Pos IV, Watu Kotak berada pada ketinggian 2763 mdpl. Berdasar peta yang kami dapatkan di basecamp, setelah Watu Kotak kami akan melewati satu area lagi sebelum puncak. Tanah Putih. 

itu aku!


Di antara Watu Kotak dan Tanah Putih terdapat sebuah area yang banyak ditumbuhi tanaman khas pegunungan, edelweis. Menyempatkan foto-foto sejenak tak ada salahnya loh B-). Dan bila waktu untuk berfoto-foto dihitung, maka Watu Kotak dan Tanah Putih pun berjarak kurang lebih satu jam perjalanan. Jalan ya. Bukan lari. Dari Tanah Putih ini tanjakannya tak tanggung-tanggung. Setengah mendaki, setengah rock-climbing. Setengah aja kok. Okesip. Aku (masih) ra popo. 

edelweis


Sindoro (lagi)
track batuuuu
 
Tanah Putih
Gunung Sumbing dikenal memiliki dua puncak. Puncak Buntu dan Puncak Kawah. Dan tak lebih dari setengah jam perjalanan dari papan tanda Tanah Putih, terdapat papan tanda lain yang menunjukkan arah menuju masing-masing puncak. Aku, Fitria dan Rising memutuskan untuk menuju Puncak Buntu.

Berjarak sepuluh menit saja dari papan arah tadi, kami telah sampai di Puncak Buntu. Yeay! :D Akhirnya setelah melewati beberapa puncak yang ternyata hanyalah puncak bayangan, sampailah kami di puncak yang sesungguhnya. Puncak Buntu tak terlalu luas. Hanya ada satu papan tanda yang menunjukkan bahwa itu adalah puncak. Selebihnya hanya ada batu-batu besar dan beberapa batang pohon cantigi. Dari Puncak Buntu kami dapat melihat kawah yang berada di bawah. Kabut sesekali menghalangi pandangan.



kawah

Sepertinya energi Rising masih berlebih. Puncak Kawah membangkitkan rasa penasarannya. Dan pergilah dia menuju puncak Sumbing yang satu lagi. Bergabung dengan tim adik tingkatnya. Sedangkan aku dan Fitria sudah cukup bahagia hanya berada di Puncak Buntu *capek bo!*.

Rising tak jua kembali ke Puncak Buntu seperti yang ia janjikan sebelumnya. Aku dan Fitria sudah bosan berfoto-foto. Sudah tak ada lagi manusia tersisa di puncak selain kami berdua. Dan nampaknya angin mulai bertiup kencang. Hmm..setelah menimang-nimang manfaat dan mudhorotnya, kami memutuskan untuk turun lebih dahulu. Tak lupa menitip pesan untuk Rising pada pendaki yang kami jumpai.

Sudah cukup jauh kami berjalan ketika salah seorang tim adik tingkat Rising berhasil menyusul dan memanggil-manggil namaku.

“Mbak Kiki, Mas Rising tadi nitip pesan. Katanya Mbak Kiki disuruh turun duluan.”

Oke. Ini sudah kulakukan.

Fitria nampaknya mulai lelah. Jadi kami memutuskan untuk berjalan santai. Menjelang pukul satu siang, kami sampai lagi di Pestan. Adhi sedang sibuk menggoreng bakwan jagung. Ahaaii..istimewa sekali menu makan siang yang sudah disiapkan Adhi. Nasi putih, sop, telur dadar, tempe goreng, bakwan jagung. Sedaapp :D. Rintik hujan yang turun membuat kami rusuh memasukkan makanan ke dalam tenda. Tenda yang kami bangun semalam adalah tenda kapasitas dua orang. Empat keril milik kami telah mengambil separuh lahan tenda. Ditambah lagi dengan keberadaan kami berempat di dalamnya beserta menu makan siang yang tak bisa dibilang sedikit. Penuh!

makan siang
Mengikuti proses alamiah tubuh manusia, setelah makan, oksigen lebih banyak bekerja dalam organ pencernaan dibanding di otak. Dan wajarlah bila kantuk itu tiba *halah* :p. Lewat pukul empat sore kami baru selesai berbenah dan packing ulang. Setelah dua tim lain selesai packing, kami menyempatkan diri foto bersama seluruh tim. Kabut cukup tebal hingga pemandangan di belakang kami tak terlihat. Beruntung wajah kami masih bisa dilihat di kamera.

tim!

ketika 3 tim foto bersama :D
Puas berfoto, kami berdoa sebelum pulang. Jam di tanganku sudah menunjukkan pukul 16:45 wib. Perjalanan turun kali ini, kami sepakat untuk menggunakan jalur lama. Tap tap tap.. Langkah semangat kaki kami meninggalkan Pestan. Selamat tinggal Pestan. Sampai bertemu lagi. 

Dan meskipun beberapa di antara kami seringkali terpeleset karena jalan yang licin, jalur lama yang didominasi tanah hutan lebih nyaman dibandingkan jalur baru yang penuh batu. Kali lain bila ke Sumbing lagi mungkin lebih baik langsung menggunakan jalur lama. Entah apa pasalnya, Fitria bersemangat sekali jalannya di perjalanan turun. Didampingi Rising, mereka jalan cepat di depan sana. Tak lewat pukul 20:30 wib kami semua sampai di basecamp. 

Akhir sebuah perjalanan selalu bermakna awal perjalanan baru. Dan malam itu menjadi akhir perjalanan kami ber-11 mendaki Gunung Sumbing. Dan awal perjalanan baru kami ke kota dan aktifitas masing-masing di keesokan harinya. 

Selesai.

Rabu, 02 Juli 2014

di tepian jembatan aku dan kau (masih) menanti pagi



Siapakah kita? Mau menjadi siapakah kita? Sepasang muda-mudi yang bersepeda bersama itu? Atau kau menjadi si pemuda dan aku gadis yang sudah tak ada? Ataukah kita adalah bagian dari rombongan burung yang terbang ke arah barat? Masih pedulikah kita menjadi siapa? Kita masih bertemu. Kita masih rindu.

Sebut apa saja untuk kita. Sebut aku menghormatimu ketika aku mencium tanganmu saat kau akan pergi. Sebut kau (masih) menyayangiku ketika kau mencium balik tanganku. Sebut apa saja untuk kita. Kita masih bertemu. Kita masih rindu.

Terjemahkan bagaimana saja rasa kita. Bisa? Bagaimana rasanya (bila) melihatmu bersanding dengan yang lain? Bagaimana (bila) kau melihatku bersama orang lain? Terjemahkan. Bisa? Terjemahkan sesukamu. Sesukaku. Kita masih bertemu. Kita masih rindu.

Aku kehilangan kata-kata untuk menerjemahkan rasaku padamu. Hilang. Sekalipun bertemu. Sekalipun rindu.

“Aku rindu udara pagi bersamamu,” katamu.

Aku diam dalam ke-tidak-ada-an-ku.

“Aku ingin melihatmu lagi menantiku di tepian jembatan.”

Aku (masih) disini.

“Aku ingin kau bawakan bekal makan siang lagi.”

Itu inginku.

“Aku ingin pergi ke pantai bersamamu lagi.”

Duduk di pasir dan menanti matahari tenggelam.

“Menggenggam tanganmu dan mengenalkanmu sebagai perempuanku.”

Kita..

“Aku ingin bertemu.”

Kita masih bertemu. Kita masih rindu.