Selamat
malam, montain-lover :|
Catatan ini
bermula dari sebuah percakapan singkat dalam perjalanan turun Gunung Sindoro
tahun lalu *halah*
“Yang satu
iri loh Ki kalo nggak disamperin juga,” kata Adhi padaku sambil memandang lurus
ke depan, Gunung Sumbing.
Mataku
mengekor. Menatap gunung yang menjulang tepat di depan. Saudara kembar gunung
yang tengah aku turuni. Sumbing. 3371 mdpl.
 |
Sumbing |
“Iya deh.
Besok kesana,” jawabku pendek.
“Besok itu
Ki? Sampe basecamp trus lanjut Sumbing?” Adhi nyengir.
“Adhii... -_-
“
Senja
beranjak turun. Kaki Sindoro masih jauh. Kami melanjutkan perjalanan.
***
Tujuh bulan
berselang. Rencana kala itu mulai membentuk janin. Waktu sudah ditetapkan:
18-19 April 2014 *oke.telat banget ini buat catpernya.biar deh.biar telat asal
buat :p*. Personil: aku, Adhi, ...? Kok baru kami? Pencarian korban pun
dimulai. Dan akhirnya kami menemukan dua korban potensial. Fitria dan Rising. Janin
berkembang. Kesepakatan dibuat. Kami bertiga (aku, Fitria, dan Rising) akan
berangkat bersama dari Yogya langsung menuju basecamp Sumbing. Sedangkan Adhi,
karena rumahnya yang masih satu kabupaten dengan basecamp, akan menyusul
setelah kira-kira kami sudah masuk kabupaten Wonosobo. Dalam perjalanan menuju
basecamp ini, tentu yang paling menderita adalah Rising :p. Karena tinggal di
Solo, berarti Rising harus bangun jauh lebih awal dari kami untuk mengejar
kereta pagi menuju Yogya.
Jum’at, 18
April 2014
Pukul 8
tepat kami berangkat dari Yogya menuju Wonosobo. Tak banyak yang bisa dilakukan
dalam mobil travel selain ngobrol atau diam memandang ke luar jendela. Dan
mungkin membalas dendam seperti Rising. Balas dendam tidur.
Setelah
melewati cobaan yakni bapak supir travel yang (nampaknya) sedang PMS, akhirnya
kami tiba di tepi jalan raya menuju arah basecamp. Masih harus berjalan
beberapa menit untuk benar-benar sampai. Dan pukul sebelas siang sampailah kami
di basecamp Sumbing yang terletak di dusun Garung, desa Butuh, kecamatan
Kalikajar, kabupaten Wonosobo. Adhi belum nampak batang kerilnya. Dan Rising
justru bertemu dengan tiga lelaki pendaki yang ternyata adalah adik tingkat di
kampusnya. Sambil menunggu Adhi datang, kami mendaftar lebih dahulu. Tak mahal.
Lima ribu rupiah per orang. Empat ribu rupiah untuk retribusi pendakian dan
seribu rupiah untuk retribusi fasilitas air bersih. Plus bonus peta pendakian
dengan keterangan yang lengkap. Baru kali ini, mau naik gunung dikasih peta.
Senangnya :D.
 |
basecamp |
 |
peta pendakian |
Hingga waktu
shalat jum’at berakhir, Adhi belum juga datang. Baru sekitar pukul dua siang
kehadirannya dapat dirasakan *apadeh*. Hampir bersamaan dengan kedatangan teman
Rising yang lain lagi. Empat orang pendaki yang salah satunya perempuan. Ini
kenapa ketemu teman Rising semua ya :3. Setelah obral-obrol, kami, 3 tim, berniat
memulai pendakian bersama-sama. Dengan Adhi sebagai kepala sukunya, pukul 14:30
wib kami memulai pendakian. Bismillah..
Gunung
Sumbing. Gunung dengan ketinggian 3371 mdpl ini sering disebut sebagai saudara
kembar Sindoro. Terletak di tiga kabupaten yakni Magelang, Temanggung, dan
Wonosobo. Bila berangkat dari arah Yogyakarta atau Magelang, gunung Sindoro dan
Sumbing seperti hanya dipisahkan oleh jalan provinsi penghubung Temanggung dan
Wonosobo. Untuk mendaki gunung ini, ada dua jalur yang lazim digunakan. Jalur
lama dan jalur baru. Dan kali ini, kami memulai pendakian menggunakan jalur
baru. Hap hap..
Lepas dari setapak
perkampungan desa terakhir, kami memasuki wilayah perkebunan sayur milik petani
lokal. Jalan yang terus menanjak membuat wajah Fitria memucat. Dan meskipun
baru pertama kali mendaki gunung, Fitria berusaha bisa mengkondisikan diri.
Fight! Fight! Fight Fitria :D.
 |
Adhi-Rising-Fitria |
 |
motor pengangkut sayuran |
 |
mendung dan kabut |
Mendung
mulai menggelayut. Semoga tidak hujan, doaku. Fitria masih pucat. Tapi tetap berjalan
dalam diam. Meski begitu, masih bisa tersenyum ketika Rising atau Adhi
melakukan hal-hal konyol. Sudah lewat kebun sayur ketika kami mendengar suara
gemericik air. Sungai? Air terjun? Ya! Ada air terjun di sebelah kiri kami. Dan
tak jauh, kami akhirnya bertemu dengan sungainya. Jernih sekali. Menggoda untuk
diminum. Baru saja terlintas di pikiranku untuk minum, ternyata Adhi sudah
menyedok airnya dengan botol. Dan sesuai dengan perwujudannya, air sungai itu
segar sekali rasanya. Minum lagi. Minum lagi. Yeah..
 |
sungai |
Pukul 16:40
wib kami tiba di Pos 1. Mendung tak lagi mendominasi. Sinar matahari sore
mengintip lewat celah pepohonan. Istirahat sejenak sebelum melanjutkan
perjalanan menuju pos berikutnya. Jalur baru Sumbing tak jauh dari berita dan
cerita yang beredar. Percampuran tanah dan batu yang cukup terjal dan minim
bonus.
 |
Pos 1 |
Sudah
benar-benar gelap ketika akhirnya kami sampai di Pos 2. Pukul 18:20 wib. Di
dekat Pos 2 ini terdapat sumber air. Jadi jangan khawatir bila stok air
menipis. Demi mencukupi kebutuhan air tim kami, Adhi dan Rising berangkat
mengambil air. Sedangkan aku dan Fitria dengan bahagia menanti sambil glesotan
memandang taburan bintang di langit. Subhanallah.. Meski sempat mendung, tapi
langit malam itu sungguh indah. Cerah. Full bintang. Cukup lama menanti Adhi
dan Rising kembali. Dingin mulai terasa. Tim yang lain sudah berangkat lebih
dulu. Dan begitu dua lelaki dalam tim kami datang, perjalanan pun diteruskan.
 |
Pos 2 |
Jalur
pendakian masih monoton. Batu-baru berukuran cukup besar mulai sering kami
temui. Dan tetap terjal. Tapi yang lebih parah dari itu adalah aku mulai
mengantuk. Duduk yang agak lama bisa membuatku tidur seketika. Jadi kawan,
sebaiknya jangan istirahat terlalu lama :p.
Pukul 21:15
kami sampai di Pestan. Berada di ketinggian 2437 mdpl, Pestan sering digunakan
sebagai camping ground. Cukup luas. Dan meskipun tanahnya agak miring, Pestan
adalah tempat yang paling masuk akal untuk dijadikan camping ground. Malam itu Pestan
sudah cukup ramai. Tenda-tenda sudah didirikan. Dan ternyata tim yang terdahulu
sudah selesai membangun tenda ketika kami sampai. Mereka riuh sekali menawari
kami untuk makan dan minum. Juga tidur di tenda mereka. Tapi sepertinya aku
lebih ingin membangun tenda sendiri. Setidaknya untuk aku dan Fitria. Khawatir
tak cukup memiliki ruang. Jadilah setelah selesai sholat, kami membangun tenda
kecil untuk aku dan Fitria tepat di sebelah tenda dua tim lain. Dan benar saja,
tenda tetangga tak cukup leluasa. Sehingga keril Adhi dan Rising harus
dimasukkan ke dalam tenda kecil kami. Setelah membuat minuman hangat dan
memasak makan malam, kami pun beranjak istirahat. Mempersiapkan diri untuk
summit attack esok hari.
 |
Pestan |
Sabtu, 19
April 2014
Selamat
pagi, gaess..
Lepas
menjalankan shalat subuh, kami bersiap untuk melanjutkan perjalanan. Di luar belum
lagi benderang. Dingin masih meradang. Tapi menikmati pagi di ketinggian
sungguh tiada bisa disamakan. Gunung Sindoro tampak menjulang di seberang.
Langit mulai memamerkan semburat warna-warna terang. Menyamarkan gemintang.
Selamat pagi, semesta. Selamat pagi.
 |
selamat pagi :) |
Sekitar
pukul 5:30 kami resmi berangkat dari Pestan. Seluruh tim naik kecuali Adhi.
Entah sudah bosan melihat puncak Sumbing atau memang masih mengantuk. Atau bisa
jadi keduanya. Adhi lebih memilih tetap bergelung di dalam tenda.
 |
Sindoro |
Langkah kaki
kami mantap menapaki jalur pendakian yang (tetap) terjal sambil sesekali
mengambil gambar pagi yang menakjubkan. Batu-batu berukuran cukup besar tampak
disana-sini. Sekitar pukul tujuh pagi kami menjumpai papan bertuliskan Pasar Watu
[watu: batu]. Maknanya sudah jelas. Oke. Aku ra popo.
 |
Pasar Watu |
Berjarak
satu jam *waktu istirahat sudah dihitung* dari Pasar Watu, sampailah kami di
Watu Kotak. Disebut juga sebagai Pos IV, Watu Kotak berada pada ketinggian 2763
mdpl. Berdasar peta yang kami dapatkan di basecamp, setelah Watu Kotak kami
akan melewati satu area lagi sebelum puncak. Tanah Putih.
 |
itu aku! |
Di antara
Watu Kotak dan Tanah Putih terdapat sebuah area yang banyak ditumbuhi tanaman
khas pegunungan, edelweis. Menyempatkan foto-foto sejenak tak ada salahnya loh
B-). Dan bila waktu untuk berfoto-foto dihitung, maka Watu Kotak dan Tanah
Putih pun berjarak kurang lebih satu jam perjalanan. Jalan ya. Bukan lari. Dari
Tanah Putih ini tanjakannya tak tanggung-tanggung. Setengah mendaki, setengah
rock-climbing. Setengah aja kok. Okesip. Aku (masih) ra popo.
 |
edelweis |
 |
Sindoro (lagi) |
 |
track batuuuu |
 |
Tanah Putih |
Gunung
Sumbing dikenal memiliki dua puncak. Puncak Buntu dan Puncak Kawah. Dan tak
lebih dari setengah jam perjalanan dari papan tanda Tanah Putih, terdapat papan
tanda lain yang menunjukkan arah menuju masing-masing puncak. Aku, Fitria dan
Rising memutuskan untuk menuju Puncak Buntu.
Berjarak
sepuluh menit saja dari papan arah tadi, kami telah sampai di Puncak Buntu.
Yeay! :D Akhirnya setelah melewati beberapa puncak yang ternyata hanyalah
puncak bayangan, sampailah kami di puncak yang sesungguhnya. Puncak Buntu tak
terlalu luas. Hanya ada satu papan tanda yang menunjukkan bahwa itu adalah
puncak. Selebihnya hanya ada batu-batu besar dan beberapa batang pohon cantigi.
Dari Puncak Buntu kami dapat melihat kawah yang berada di bawah. Kabut sesekali
menghalangi pandangan.
 |
kawah |
Sepertinya
energi Rising masih berlebih. Puncak Kawah membangkitkan rasa penasarannya. Dan
pergilah dia menuju puncak Sumbing yang satu lagi. Bergabung dengan tim adik
tingkatnya. Sedangkan aku dan Fitria sudah cukup bahagia hanya berada di Puncak
Buntu *capek bo!*.
Rising tak
jua kembali ke Puncak Buntu seperti yang ia janjikan sebelumnya. Aku dan Fitria
sudah bosan berfoto-foto. Sudah tak ada lagi manusia tersisa di puncak selain
kami berdua. Dan nampaknya angin mulai bertiup kencang. Hmm..setelah
menimang-nimang manfaat dan mudhorotnya, kami memutuskan untuk turun lebih
dahulu. Tak lupa menitip pesan untuk Rising pada pendaki yang kami jumpai.
Sudah cukup
jauh kami berjalan ketika salah seorang tim adik tingkat Rising berhasil
menyusul dan memanggil-manggil namaku.
“Mbak Kiki,
Mas Rising tadi nitip pesan. Katanya Mbak Kiki disuruh turun duluan.”
Oke. Ini
sudah kulakukan.
Fitria
nampaknya mulai lelah. Jadi kami memutuskan untuk berjalan santai. Menjelang
pukul satu siang, kami sampai lagi di Pestan. Adhi sedang sibuk menggoreng
bakwan jagung. Ahaaii..istimewa sekali menu makan siang yang sudah disiapkan
Adhi. Nasi putih, sop, telur dadar, tempe goreng, bakwan jagung. Sedaapp :D.
Rintik hujan yang turun membuat kami rusuh memasukkan makanan ke dalam tenda.
Tenda yang kami bangun semalam adalah tenda kapasitas dua orang. Empat keril
milik kami telah mengambil separuh lahan tenda. Ditambah lagi dengan keberadaan
kami berempat di dalamnya beserta menu makan siang yang tak bisa dibilang
sedikit. Penuh!
 |
makan siang |
Mengikuti
proses alamiah tubuh manusia, setelah makan, oksigen lebih banyak bekerja dalam
organ pencernaan dibanding di otak. Dan wajarlah bila kantuk itu tiba *halah*
:p. Lewat pukul empat sore kami baru selesai berbenah dan packing ulang.
Setelah dua tim lain selesai packing, kami menyempatkan diri foto bersama
seluruh tim. Kabut cukup tebal hingga pemandangan di belakang kami tak
terlihat. Beruntung wajah kami masih bisa dilihat di kamera.
 |
tim! |
 |
ketika 3 tim foto bersama :D |
Puas
berfoto, kami berdoa sebelum pulang. Jam di tanganku sudah menunjukkan pukul
16:45 wib. Perjalanan turun kali ini, kami sepakat untuk menggunakan jalur
lama. Tap tap tap.. Langkah semangat kaki kami meninggalkan Pestan. Selamat
tinggal Pestan. Sampai bertemu lagi.
Dan meskipun beberapa di antara kami seringkali terpeleset karena jalan yang licin,
jalur lama yang didominasi tanah hutan lebih nyaman dibandingkan jalur baru
yang penuh batu. Kali lain bila ke Sumbing lagi mungkin lebih baik langsung
menggunakan jalur lama. Entah apa pasalnya, Fitria bersemangat sekali jalannya di perjalanan turun.
Didampingi Rising, mereka jalan cepat di depan sana. Tak lewat pukul 20:30 wib
kami semua sampai di basecamp.
Akhir sebuah
perjalanan selalu bermakna awal perjalanan baru. Dan malam itu menjadi akhir
perjalanan kami ber-11 mendaki Gunung Sumbing. Dan awal perjalanan baru kami ke
kota dan aktifitas masing-masing di keesokan harinya.
Selesai.