Sisa hujan semalam masih menyisakan dingin pagi ini. Musim hujan
sudah tiba. Treking ke gunung atau berwisata ke pantai tidak menjadi pilihan
utama buatku saat musim hujan. Jadi kurasa aku bisa mengisi waktu di musim ini
dengan membaca buku, menonton pertunjukan teater, film, atau juga mengunjungi beberapa candi. Seperti
beberapa hari yang lalu, aku memutuskan untuk mengisi hari Minggu (10.11.2013) dengan
mengunjungi candi yang sudah lama ingin aku datangi, Candi Boko. Namun beberapa
hari sebelum berangkat, aku melihat foto-foto kawanku di salah satu jejaring
sosial. Berlokasi di Candi Ijo, katanya. Kebetulan sekali candi itu tak jauh
dari kawasan Candi Boko. Rencana berubah. Aku tak hanya akan mengunjungi Candi
Boko, tapi juga Candi Ijo dan Candi Banyunibo.
Dan perjalanan pun dimulai..
Candi Boko
Berada di Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta,
candi ini dapat dijangkau dengan mudah. Terletak kira-kira 3 km ke arah selatan
dari Candi Prambanan. Banyak papan tanda yang menunjukkan lokasi Candi Boko.
Dan begitu melihat papan tanda parkir bus Candi Boko kami pun berbelok sesuai
tanda. Dan ternyata itu pilihan yang kurang bijaksana. Sebab kami harus mendaki
anak tangga yang cukup tinggi untuk mencapai pintu masuk candi. Mungkin akan
lain jadinya kalau kami mengambil jalan yang satu lagi. Tapi tak masalah,
itung-itung olahraga pagi.
Sesampainya di depan pintu masuk kawasan candi, kami
disambut senyuman wanita berseragam. Setelah menunjukkan tiket masuk, kami
diberi sebotol air mineral untuk setiap orang. Kami juga diwajibkan memakai
kain yang disediakan sebelum memasuki kawasan candi. Pun ada aturan ketika
memakai kain tersebut, yakni gambar menghadap depan dan simpul ikatan harus
berada di sebelah kanan pinggang.
Setelah kain bertengger indah menghiasi pinggang, kami pun
secara resmi dapat memasuki kawasan Candi Boko. Candi ini dibangun sekitar abad
ke-8 M. Pada awalnya bangunan ini difungsikan sebagai wihara. Namun di
pertengahan abad ke-8, bangunan ini beralih fungsi menjadi kediaman seorang
raja.
Pemandangan pertama memasuki candi ini adalah sebuah gapura
atau semacam pintu gerbang bertingkat dari batu. Di sebelah utara gerbang
terdapat sebuah bangunan tanpa dinding juga atap. Hanya semacam pondasi dengan
lubang besar di tengahnya. Konon katanya disanalah dahulu sering diadakan
pembakaran/kremasi. Di sebelah selatan gerbang utama, terdapat sebuah gapura
kecil yang mengarah menuju bangunan yang dikelilingi pagar dari batu andesit, Pendopo.
Setelah puas mengelilingi Pendopo, kami meneruskan
penelusuran. Yang ingin sekali kulihat belum berhasil kami temukan. Dan
ternyata yang kucari berada tepat di sebelah timur Pendopo. Kolam Pemandian. Cukup
luas untuk ukuran sebuah ‘tempat mandi’. Area kolam dibagi menjadi dua bagian,
yakni kolam utara dan kolam selatan. Dipisahkan
oleh dinding batu dan dihubungkan dengan sebuah gapura kecil. Kolam utara
berbentuk persegi panjang dan jumlahnya jauh lebih sedikit. Sedangkan kolam
selatan kebanyakan berbentuk bulat meski ada satu yang berbentuk persegi. Aku
suka sekali spot ini. Andai air kolam jernih, tentu langit yang hari itu cerah
dapat sempurna ter-refleksi. Di area pemandian ini sering dijadikan lokasi
pemotretan, terutama pemotretan pre-wedding.
Panasnya cuaca membuat kami berteduh dan istirahat sejenak
di gapura penghubung kolam sebelum mengunjungi spot berikutnya, gua. Terdapat
dua buah gua di Candi Boko, yakni Gua Wadon dan Gua Lanang. Diduga gua ini
dipergunakan sebagai tempat bersemedi.
Selesai sudah mengelilingi Candi Boko. Sayang sekali kami
tak datang di sore hari. Sebab katanya melihat sunset dari Boko itu indah
sekali. Mungkin lain kali, kami bisa datang kembali dan menatap indahnya matahari
tenggelam dari Boko.
Candi Banyunibo
Setelah menunaikan sholat dzuhur di mushola Candi Boko, kami
pun meneruskan perjalanan hari itu menuju Candi Banyunibo dan Candi Ijo.
Mengikuti instruksi dari bapak penjaga lapangan parkir Candi Boko, kami sampai
di persimpangan menuju Candi Banyunibo dan Candi Ijo. Diputuskanlah menuju
Candi Banyunibo terlebih dahulu.
Candi ini terletak dekat sekali dengan area persawahan di
desa Cepit. Tepat memasuki gapura desa Cepit, beloklah ke arah kanan. Dan tak
jauh dari gapura, berdirilah dengan anggun Candi Banyunibo. Banyunibo yang
dalam bahasa Jawa bermakna air jatuh menetes adalah sebuah candi Buddha yang
dibangun di zaman Kerajaan Mataram Kuno, sekitar abad ke-9.
Tak ada tempat parkir di kawasan candi ini. Jadi kami pun
memarkir motor di pinggir jalan tepat di depan candi. Hanya ada satu bangunan
utama candi. Namun terdapat banyak puing di sekitar candi. Kurasa dulunya
puing-puing itu adalah candi perwara (candi pendamping).
Meski hanya satu dan berukuran tak begitu besar, entah
mengapa aku senang berada di candi ini. Dan ketika kawanku tau aku suka berada
di candi ini, dia berkata, “ Jangan-jangan secara nggak sadar suka sama yang
terkubur di Banyunibo kamu, Ra..”
“ Memangnya siapa yang terkubur di Banyunibo?”
“ Konon katanya seorang pangeran.”
....
Candi Ijo
Tak banyak yang tahu bahwa candi ini adalah candi yang
letaknya paling tinggi di Yogyakarta. Berlokasi di bukit Ijo, desa Sambirejo,
Prambanan, Sleman, perjalanan menuju candi ini tak begitu mulus. Jalanan yang
berlubang dan menanjak membuat kami harus ekstra hati-hati. Belum lagi langit
yang berubah menjadi mendung tebal membuat kami sedikit khawatir. Tak ada tanda
arah yang menunjukkan keberadaan Candi Ijo selain papan tanda di persimpangan
awal tadi. Bertanya dengan penduduk lokal adalah cara terampuh agar tidak salah
jalan.
Dan tibalah kami di candi yang letaknya tertinggi di
Yogyakarta, Candi Ijo. Dibangun sekitar abad ke-9, candi ini adalah termasuk
dalam candi Hindu. Meski begitu, terdapat pula motif kepala ganda di atas pintu
masuk yang juga sering dijumpai pada candi Buddha.
Kawasan candi terbagi dalam beberapa teras. Namun sayangnya
di teras bawah yang terlihat hanyalah puing-puing dan candi yang sudah tak utuh
lagi. Di teras yang tertinggi barulah kami dapati candi yang masih utuh. Sebuah
candi utama dan tiga candi perwara. Tiga candi perwara ini menunjukkan
penghormatan masyarakat pada Hindu Trimurti, yakni Brahma, Siwa, dan Whisnu.
Di dalam candi utama terdapat lingga dan yoni dalam ukuran
sangat besar. Perlambang Dewa Siwa dan Dewi Uma yang bersatu, bermakna
kesuburan. Diharapkan di daerah sekitar candi akan menjadi subur.
Keluar dari candi utama, kami disuguhi pemandangan yang luar
biasa indah. Berada di ketinggian membuat kami secara leluasa memandang
pemandangan yang berada di bawah sana. Dan bila memandang ke arah barat, kami
dapat melihat landasan Bandara Adisutjipto. Itu artinya kami dapat melihat
pesawat yang sedang landing maupun take off.
Mendung menggantung semakin tebal. Tepat jam 2 siang kami
pun turun dari kawasan candi. Perjalanan pulang kali itu menghadirkan (lagi)
kekagumanku akan kekayaan Indonesia yang sungguh sangat berlimpah. Alamnya,
budayanya, sejarahnya.
Dan usailah petualangan kami hari itu..
p.s.
tiket masuk Candi Boko : Rp 25.000,-
tiket masuk Candi Banyunibo: Rp 2.000,-
tiket masuk Candi Ijo: seikhlasnya