Senin, 30 Desember 2013

tour de Candi [ Ratu Boko-Banyunibo-Ijo ]




Sisa hujan semalam masih menyisakan dingin pagi ini. Musim hujan sudah tiba. Treking ke gunung atau berwisata ke pantai tidak menjadi pilihan utama buatku saat musim hujan. Jadi kurasa aku bisa mengisi waktu di musim ini dengan membaca buku, menonton pertunjukan teater, film,  atau juga mengunjungi beberapa candi. Seperti beberapa hari yang lalu, aku memutuskan untuk mengisi hari Minggu (10.11.2013) dengan mengunjungi candi yang sudah lama ingin aku datangi, Candi Boko. Namun beberapa hari sebelum berangkat, aku melihat foto-foto kawanku di salah satu jejaring sosial. Berlokasi di Candi Ijo, katanya. Kebetulan sekali candi itu tak jauh dari kawasan Candi Boko. Rencana berubah. Aku tak hanya akan mengunjungi Candi Boko, tapi juga Candi Ijo dan Candi Banyunibo.

Dan perjalanan pun dimulai..

Candi Boko


Berada di Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, candi ini dapat dijangkau dengan mudah. Terletak kira-kira 3 km ke arah selatan dari Candi Prambanan. Banyak papan tanda yang menunjukkan lokasi Candi Boko. Dan begitu melihat papan tanda parkir bus Candi Boko kami pun berbelok sesuai tanda. Dan ternyata itu pilihan yang kurang bijaksana. Sebab kami harus mendaki anak tangga yang cukup tinggi untuk mencapai pintu masuk candi. Mungkin akan lain jadinya kalau kami mengambil jalan yang satu lagi. Tapi tak masalah, itung-itung olahraga pagi.

Sesampainya di depan pintu masuk kawasan candi, kami disambut senyuman wanita berseragam. Setelah menunjukkan tiket masuk, kami diberi sebotol air mineral untuk setiap orang. Kami juga diwajibkan memakai kain yang disediakan sebelum memasuki kawasan candi. Pun ada aturan ketika memakai kain tersebut, yakni gambar menghadap depan dan simpul ikatan harus berada di sebelah kanan pinggang. 

Setelah kain bertengger indah menghiasi pinggang, kami pun secara resmi dapat memasuki kawasan Candi Boko. Candi ini dibangun sekitar abad ke-8 M. Pada awalnya bangunan ini difungsikan sebagai wihara. Namun di pertengahan abad ke-8, bangunan ini beralih fungsi menjadi kediaman seorang raja.

Pemandangan pertama memasuki candi ini adalah sebuah gapura atau semacam pintu gerbang bertingkat dari batu. Di sebelah utara gerbang terdapat sebuah bangunan tanpa dinding juga atap. Hanya semacam pondasi dengan lubang besar di tengahnya. Konon katanya disanalah dahulu sering diadakan pembakaran/kremasi. Di sebelah selatan gerbang utama, terdapat sebuah gapura kecil yang mengarah menuju bangunan yang dikelilingi pagar dari batu andesit, Pendopo. 





Setelah puas mengelilingi Pendopo, kami meneruskan penelusuran. Yang ingin sekali kulihat belum berhasil kami temukan. Dan ternyata yang kucari berada tepat di sebelah timur Pendopo. Kolam Pemandian. Cukup luas untuk ukuran sebuah ‘tempat mandi’. Area kolam dibagi menjadi dua bagian, yakni  kolam utara dan kolam selatan. Dipisahkan oleh dinding batu dan dihubungkan dengan sebuah gapura kecil. Kolam utara berbentuk persegi panjang dan jumlahnya jauh lebih sedikit. Sedangkan kolam selatan kebanyakan berbentuk bulat meski ada satu yang berbentuk persegi. Aku suka sekali spot ini. Andai air kolam jernih, tentu langit yang hari itu cerah dapat sempurna ter-refleksi. Di area pemandian ini sering dijadikan lokasi pemotretan, terutama pemotretan pre-wedding.









Panasnya cuaca membuat kami berteduh dan istirahat sejenak di gapura penghubung kolam sebelum mengunjungi spot berikutnya, gua. Terdapat dua buah gua di Candi Boko, yakni Gua Wadon dan Gua Lanang. Diduga gua ini dipergunakan sebagai tempat bersemedi.


Selesai sudah mengelilingi Candi Boko. Sayang sekali kami tak datang di sore hari. Sebab katanya melihat sunset dari Boko itu indah sekali. Mungkin lain kali, kami bisa datang kembali dan menatap indahnya matahari tenggelam dari Boko.

Candi Banyunibo



Setelah menunaikan sholat dzuhur di mushola Candi Boko, kami pun meneruskan perjalanan hari itu menuju Candi Banyunibo dan Candi Ijo. Mengikuti instruksi dari bapak penjaga lapangan parkir Candi Boko, kami sampai di persimpangan menuju Candi Banyunibo dan Candi Ijo. Diputuskanlah menuju Candi Banyunibo terlebih dahulu.

Candi ini terletak dekat sekali dengan area persawahan di desa Cepit. Tepat memasuki gapura desa Cepit, beloklah ke arah kanan. Dan tak jauh dari gapura, berdirilah dengan anggun Candi Banyunibo. Banyunibo yang dalam bahasa Jawa bermakna air jatuh menetes adalah sebuah candi Buddha yang dibangun di zaman Kerajaan Mataram Kuno, sekitar abad ke-9.

Tak ada tempat parkir di kawasan candi ini. Jadi kami pun memarkir motor di pinggir jalan tepat di depan candi. Hanya ada satu bangunan utama candi. Namun terdapat banyak puing di sekitar candi. Kurasa dulunya puing-puing itu adalah candi perwara (candi pendamping).


Meski hanya satu dan berukuran tak begitu besar, entah mengapa aku senang berada di candi ini. Dan ketika kawanku tau aku suka berada di candi ini, dia berkata, “ Jangan-jangan secara nggak sadar suka sama yang terkubur di Banyunibo kamu, Ra..”
“ Memangnya siapa yang terkubur di Banyunibo?”
“ Konon katanya seorang pangeran.”
....

Candi Ijo


Tak banyak yang tahu bahwa candi ini adalah candi yang letaknya paling tinggi di Yogyakarta. Berlokasi di bukit Ijo, desa Sambirejo, Prambanan, Sleman, perjalanan menuju candi ini tak begitu mulus. Jalanan yang berlubang dan menanjak membuat kami harus ekstra hati-hati. Belum lagi langit yang berubah menjadi mendung tebal membuat kami sedikit khawatir. Tak ada tanda arah yang menunjukkan keberadaan Candi Ijo selain papan tanda di persimpangan awal tadi. Bertanya dengan penduduk lokal adalah cara terampuh agar tidak salah jalan.

Dan tibalah kami di candi yang letaknya tertinggi di Yogyakarta, Candi Ijo. Dibangun sekitar abad ke-9, candi ini adalah termasuk dalam candi Hindu. Meski begitu, terdapat pula motif kepala ganda di atas pintu masuk yang juga sering dijumpai pada candi Buddha. 

Kawasan candi terbagi dalam beberapa teras. Namun sayangnya di teras bawah yang terlihat hanyalah puing-puing dan candi yang sudah tak utuh lagi. Di teras yang tertinggi barulah kami dapati candi yang masih utuh. Sebuah candi utama dan tiga candi perwara. Tiga candi perwara ini menunjukkan penghormatan masyarakat pada Hindu Trimurti, yakni Brahma, Siwa, dan Whisnu.





Di dalam candi utama terdapat lingga dan yoni dalam ukuran sangat besar. Perlambang Dewa Siwa dan Dewi Uma yang bersatu, bermakna kesuburan. Diharapkan di daerah sekitar candi akan menjadi subur.


Keluar dari candi utama, kami disuguhi pemandangan yang luar biasa indah. Berada di ketinggian membuat kami secara leluasa memandang pemandangan yang berada di bawah sana. Dan bila memandang ke arah barat, kami dapat melihat landasan Bandara Adisutjipto. Itu artinya kami dapat melihat pesawat yang sedang landing maupun take off.

Mendung menggantung semakin tebal. Tepat jam 2 siang kami pun turun dari kawasan candi. Perjalanan pulang kali itu menghadirkan (lagi) kekagumanku akan kekayaan Indonesia yang sungguh sangat berlimpah. Alamnya, budayanya, sejarahnya.
Dan usailah petualangan kami hari itu..

p.s.

tiket masuk Candi Boko : Rp 25.000,-

tiket masuk Candi Banyunibo: Rp 2.000,-

tiket masuk Candi Ijo: seikhlasnya

kejutan istimewa, Sindoro



Sindoro


Sindoro adalah sebuah kejutan yang menakjubkan di akhir September tahun ini. Dalam waktu seminggu saja sebelum hari H, aku memutuskan untuk ikut Adhi cs mendaki. Setelah menjalani hari-hari kurang menyenangkan di Agustus dan awal September, Sindoro terdengar sebagai rencana yang hebat. Oke Sindoro, aku datang. Rencana cuti segera diatur. Satu hari di hari Sabtu kurasa cukup.

Hari Jumat siang aku pun berangkat ke Wonosobo dengan menggunakan travel. Rumah Adhi ditetapkan sebagai tempat berkumpul anggota tim. Tim kali ini terdiri dari 5 orang, yakni aku, Adhi, Mbak Lia, Mas Kame, dan Umam. Dan tak satupun dari mereka yang kukenal selain Adhi. Bertemu dengan orang-orang baru pasti bakal seru. Memasuki waktu maghrib sampailah aku di Wonosobo. Adhi sudah duduk menunggu di depan SPBU yang cukup dekat dengan rumahnya. Kami langsung menuju rumah Adhi. Mbak Lia dan Mas Kame belum datang. Mereka baru akan berangkat dari Semarang jam 7 malam. Estimasi perjalanan 3 jam. Sedangkan Umam, kami akan bertemu esok hari sebelum berangkat ke basecamp Sindoro.

Malam itu Wonosobo cukup dingin. Gerimis turun sesekali. Nikmat sekali mengobrol di dalam rumah dengan ditemani secangkir teh hangat dan jajanan khas Wonosobo, tempe kemul. Sekitar pukul 10 malam kabar yang  ditunggu pun tiba. Mbak Lia dan Mas Kame hampir sampai. Dan Adhi bertugas menjemput. Mbak Lia yang pertama dijemput, menyusul kemudian Mas Kame. Pasangan suami-istri yang belum lama menikah ini tampak ramah. Setelah mengobrol beberapa waktu, kami pun memutuskan untuk istirahat. Bersiap untuk perjalanan esok hari. 

Sabtu, 21 September 2013

Mengisi pagi dengan packing. Rasanya sudah tidak sabar untuk segera berangkat. Namun pagi itu kami mendapat kabar kurang menyenangkan. Umam tak jadi ikut. Ah, sayang sekali. Semoga bisa berkenalan dan mungkin mendaki bersama di lain kesempatan. Dan setelah selesai packing, kami pun bersiap berangkat. 

Menunggu angkot yang akan membawa kami, aku iseng-iseng bertanya pada Adhi bagaimana cara mengenali angkot yang diinginkan bila tak ada tulisan penanda tujuan yang tertempel pada angkot. Di Jogja, meskipun angkot tak banyak, tapi pada setiap angkot selalu ada tulisan yang menunjukkan kemana saja tujuan dari angkot tersebut. Berbeda dengan Jogja, ternyata di Wonosobo angkot dibedakan berdasar warna bemper depan dan belakang. Meskipun warna badan angkot rata-rata sama yakni kuning, namun warna bemper bisa beragam. Misalnya warna hitam berarti menuju arah Selokromo, warna coklat berarti menuju Angdong Sili dan sebagainya. Tak lama kemudian, angkot kuning pun datang. Naiklah kami. Berhenti di daerah yang aku lupa namanya  :p untuk kemudian berganti bus. Namun sebelum mencari bus yang akan membawa kami ke titik awal pendakian, kami menyempatkan untuk sarapan. Membeli nasi bungkus di warung yang berada di pojok perempatan dan makan ditempat. Setelah makan barulah kami mencari bus yang akan mengangkut kami.

Ada beberapa jalur yang bisa digunakan untuk mendaki Sindoro. Jalur yang populer adalah Kledung. Tapi kali ini kami memilih jalur lain, Sigedang. Kata Adhi yang sudah sering sekali ke Sindoro, jalur Sigedang relatif lebih cepat dibanding lewat Kledung. Turun dari bus, kami harus mencari ojek untuk sampai ke titik awal pendakian. Kurang lebih sepuluh menit kami habiskan untuk duduk diatas motor dengan jalanan yang tak selalu mulus dan menanjak. Tapi itu tak mengurangi kenikmatan sebuah perjalanan. Selain bapak tukang ojek yang nampaknya tak pernah kehabisan cerita untuk dibagikan kepadaku, pemandangan di sekitar pun elok benar. Kebun sayur penduduk dilatari perbukitan dan Sindoro menjulang sebagai fokus utama.

Sampailah kami di titik awal pendakian. Sejuk udara pegunungan sudah menguar. Hijau perkebunan teh memenuhi pandangan. Sekitar pukul 09.15 kami pun memulai pendakian. Bismillah..

Di depan sana terlihat Sindoro gagah menjulang. Dengan ketinggian kurang lebih 3125 meter di atas permukaan laut, gunung ini memiliki pesona sekaligus tantangan tersendiri. Track yang relatif tidak mudah, penuh batu, dan banyaknya tanjakan selalu memberi sensasi seru namun tentu saja membutuhkan kesabaran ekstra. 

Beruntung cuaca sangat cerah pagi itu. Langkah kami mantap menapaki jalan setapak di antara hamparan tanaman teh. Obrolan dan canda kerap menahan kami beristirahat lebih lama. Lewat tengah hari kabut mulai menghampiri. Udara dingin perlahan terasa. Membuat istirahat makan siang dan sholat semakin melenakan. Namun bagaimana juga, kami melanjutkan perjalanan. Semakin ke atas yang lebih banyak terlihat adalah pohon-pohon nirdaun. Meski kebakaran hutan telah lama lewat, namun sisanya masih terlihat. Ranting tanpa daun berpadu dengan kabut yang menebal membuat suasana menjadi syahdu *haish*.



Di Sindoro, kegiatan lain yang bisa dijadikan alibi untuk istirahat selain berfoto-foto adalah memetik buah yang sering dijumpai di hutan. Sebut saja arbei. Buah manis yang kadang asam ini enak sekali bila dimakan langsung setelah dipetik. Rasanya segar.

arbei gunung

Tak terasa senja menjelang. Puncak nampaknya masih cukup jauh. Pohon cantigi yang menjadi penanda belum lagi terlihat. Namun ada yang lebih menarik untuk dilakukan daripada hanya menduga-duga dimana puncak berada. Cukup mampu membuatku setengah berlari demi menatapnya dari tempat yang sempurna. Matahari tenggelam. Ternganga menatap si kuning bulat merayap turun perlahan di antara gumpalan awan. Gunung Slamet nampak anggun menyaksikan tenggelamnya sang surya. Aku membayangkankannya mengucap kalimat sampai jumpa lagi pada sang matari. Romantis sekali.

sunset

Selepas matari tenggelam, benderang pun digantikan temaram. Kami masih terus melanjutkan perjalanan. Ketika jalan setapak sudah benar-benar sulit dilihat, barulah kami mengeluarkan headlamp. Dan sayang sekali, Adhi lupa membawa barang penting itu. Beruntung headlampku cahayanya cukup terang untuk kami gunakan bersama.

Semakin ke atas, track yang kami lalui terlihat semakin mencengangkan. Batu besar nan tinggi yang nampaknya tersusun bukan untuk dipijak tapi dipanjat. Jadilah kami rock-climbing malam-malam. Beruntung esok hari kami tak harus melalui jalan ini lagi. Kata Adhi kami akan turun lewat jalur Kledung. Dan setelah melalui berbagai cobaan *halah :p* sampailah kami di saat-saat yang membahagiakan. Puncak sudah di sudut mata :D. Setelah memilih dan memilah tempat yang cukup nyaman dan aman, kami pun segera mendirikan tenda. Juga memasak. Langit cerah dan bulan bulat sempurna. Udara dingin maksimal. Membuat kami tak ingin berlama-lama berada di luar tenda dan melahap makan malam dengan cepat agar bisa segera beristirahat di dalam sleeping bag yang hangat.

Minggu, 22 September 2013

Udara dingin langsung menyeruak ketika membuka tenda. Namun kami mendapat hadiah menakjubkan pagi itu. Menatap merahnya langit pagi dari puncak Sindoro. Matahari belum lagi terbit. Adhi mengajak kami untuk menatap matahari terbit dari tempat yang lebih tinggi. Di bibir kawah. Dan benar saja, tempat yang dimaksud Adhi luar biasa. Dari tempat kami berdiri, selain bisa menatap terbitnya matahari tanpa penghalang pepohonan, kami dapat menyaksikan deretan gunung Sumbing, Merapi juga Merbabu. Aahh...indah sekali pagi itu. Luar biasa. Sayang sekali Mas Kame tak turut serta menyaksikan. Mas Kame memilih meneruskan istirahat di tenda. 

langit pagi

sunrise

kawah

Puas menatap terbitnya sang surya, kami beralih ke arah barat. Bulan penuh masih nampak. Berpadu dengan langit yang membiru. Berjalan di antara ilalang kering dengan hangat matahari dari timur, bulan di arah barat, dan deretan pegunungan dieng di sebelah utara. Aaahh.. dengan menuliskannya saja aku serasa bisa kembali melihat pagi yang menakjubkan itu.

bulan masih nampak jelas :D


deretan pegunungan dieng

lapangan, sering digunakan untuk upacara

Kami tak buru-buru berkemas pagi itu. Cukup waktu untuk menghangatkan diri. Juga sarapan di bawah teduh pohon sambil mengulang  kembali cerita pendakian kemarin. Hal-hal yang nampak berat kemarin bisa berubah menjadi konyol untuk diceritakan hari ini. Dan bukankah banyak hal yang begitu dalam hidup?

Kurang lebih pukul sebelas siang kami siap turun. Kali ini kami akan menggunakan jalur Kledung. Dan ternyata tak jauh beda dengan jalur Sigedang. Masih penuh batu meski bukan batu-batu besar. Tapi seringkali berhasil membuat kami terpeleset. Itu sebabnya tawaran iseng Adhi untuk main perosotan di rumput terdengar lebih menarik dibandingkan melewati jalur berbatu. Aku pun menyambut gembira ajakan perosotan. Mbak Lia dan Mas Kame yang berjalan di depan tampak kecewa tak ikut kami perosotan. Dan mulai detik itu kami jadi rajin memperhatikan jalur-jalur yang rumputnya nampak bisa digunakan untuk perosotan. Lumaayyaann...selain bisa mempercepat waktu turun, kami juga bisa menghemat energi :p. Meski begitu, tak jarang kami menemui rintangan. Bisa berupa tergores duri di jalur perosotan, pantat yang tertumbuk batu di tengah jalur dan bahkan merosot terlalu jauh sehingga harus berjalan naik lagi demi menemukan jalur yang benar. Tapi sungguh, itu seru sekali :D

perosotaaaaannn *foto oleh: Mbak Lia*

Senja mulai turun menyapa. Gunung Sumbing tampak gagah di depan mata. Kaki gunung Sindoro masih jauh di depan sana. Kami pun meneruskan perjalanan. Menyusuri setapak berbatu. Turun perlahan meninggalkan Sindoro...

Sumbing dilihat dari Sindoro
ki-ka: Mas Kame, Mbak Lia, aku, Adhi *foto oleh: Mbak Lia*

Minggu, 29 Desember 2013

menjemput panggilan (nama) di 3265 mdpl, Lawu



Menjadi gunung yang paling ingin kudaki di tahun ini (2013) setelah sempat urung mendakinya di tahun 2012. Entah dengan alasan apa. Dan seketika mataku berbinar melihat tanggal merah di hari Sabtu, 25 Mei 2013. Kesempatan bagus untuk mendaki agar tak memangkas cuti. Terima kasih Waisak :D

Tim kali ini berjumlah 4 orang. Mas Dhanny – yang entah sudah berapa kali “main” ke gunung yang terkenal mistis itu. Saras dan Rising – yang kemudian berteman setelah  tak sengaja bertemu di stasiun kereta di Surabaya. Dan aku sendiri.

Lawu. Gunung dengan ketinggian 3265 mdpl ini terletak di perbatasan provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Itu sebabnya ada dua jalur yang lazim digunakan untuk mendaki Lawu: Cemarasewu di Sarangan, Jawa Timur dan Cemarakandang di Tawangmangu, Jawa Tengah. Basecamp kedua jalur tersebut hanya berjarak kurang lebih 200 meter. Kali ini atas saran dari Saras, kami akan menggunakan jalur Cemarasewu. Meskipun lebih nge-track, tapi relatif lebih cepat, katanya. Oke sip! Gunung Lawu memiliki tiga puncak yakni Hargo Dalem, Hargo Dumiling, dan Hargo Dumilah. Yang terakhir adalah puncak Lawu yang tertinggi. Dengan tak hanya mengantongi misteri dan legendanya, eksotisme Lawu telah berhasil memikat banyak pendaki untuk datang mendaki.

Berangkat dari Jogja seorang diri, aku memilih menggunakan kereta Prameks. Kurang beruntung karena ternyata tempat duduk sepenuhnya telah terisi. Pilihan yang tersisa tinggal berdiri selama satu jam dengan keril penuh dan menenteng helm. Dan setelah berganti-ganti posisi berdiri, memindah-mindah posisi helm di tangan juga menggeser-geser keril, sampai jua lah aku di stasiun Solo Balapan. Saras akan menjemputku dari sini. Tak lama berselang, Saras, gadis yang baru kukenal enam bulan itu pun muncul. Kami pun segera meluncur menuju gerbang utama UNS, tempat yang disepakati Saras dan Rising untuk bertemu. 

Menjelang tengah hari, kami bergerak menuju Cemarasewu. Cuaca cukup cerah. Memasuki kawasan perbatasan, cuaca berkabut mulai memonopoli pemandangan khas pegunungan. Meski begitu, di pinggir-pinggir jalan tak jauh dari basecamp Cemarakandang dan Cemarasewu ramai sekali. Penjual makanan nampak berjejer. Dengan konsumen yang kebanyakan muda-mudi. Tak lebih dari tiga jam, kami telah memarkir motor di penitipan sepeda motor tak jauh dari gerbang Cemarasewu. Tak hendak langsung mendaki, kami sepakat mengisi perut dahulu sambil menunggu kedatangan Mas Dhanny yang berangkat dari Madiun. 

Yang tak terduga kadang muncul terlalu tiba-tiba *halah*. Belum lagi makanan pesanan tiba, hujan mendadak turun dengan derasnya. Beserta itu pula, tak lama kemudian Mas Dhanny datang. Dengan berlari-lari kecil, Mas Dhanny menghampiri warung tempat kami makan. Melihat derasnya hujan, kami pun sepakat memulai pendakian setelah hujan mereda.

Menjelang pukul lima sore, kami pun siap memulai pendakian. Melewati gerbang Cemarasewu jalan yang kami lalui berupa bebatuan yang tertata rapi dengan pepohonan mengapit di kanan kiri. Harum tanah selepas hujan menguar, melepaskan hawa sejuk ke seluruh penjuru. Belum lagi jauh, hujan kembali turun. Gerimis yang kemudian menjadi deras mengharuskan kami memakai jas hujan. Dan dalam hujan kami lanjut berjalan.



Masih sore ketika kami sampai di Pos 1. Hujan nampaknya tak hendak benar-benar berhenti. Masih sesekali turun, sesekali pula berhenti. Di Pos 1 aku menjumpai ada warung yang menjual aneka gorengan juga minuman. Waaa...yang begini ini nih tidak sering dijumpai di gunung lain. Kami tak hendak berlama-lama. Setelah istirahat secukupnya, kami melanjutkan perjalanan.

Pos 2 penuh sesak ketika kami tiba. Sudah tak bisa masuk lagi. Kami hanya bisa berdiri sender-sender ayam dan mencuri-curi duduk di tepi jalan masuk Pos. Hujan belum lagi berhenti. Kami sepakat meneruskan perjalanan dan membangun tenda setelah sampai di Pos 5. Masih jauh.



Menjelang pukul sembilan malam kami sampai di Pos 3. Air hujan yang sukses masuk ke sepatuku membuatku sedikit menggigil. Sandal gunung nampaknya lebih cocok dipakai di Lawu. Udara sangat dingin. Dan senang sekali rasanya menerima segelas minuman hangat yang dibuatkan Rising untuk kami. 



Sebagian besar track Lawu adalah tangga berbatu. Dan entah mengapa mendaki di sebuah “tangga” terasa lebih berat dibandingkan dengan tanah biasa. Atau hanya perasaanku saja karena sudah merasa lelah dan kedinginan.

Sudah benar-benar malam ketika kami mencapai Pos 5. Entah tadi Pos 4 ada dimana. Berasa tidak melewati. Tapi belakangan aku tahu, tak ada bangunan disana, hanya penanda. Dan karena kami berjalan di malam hari agaknya penanda itu tak terlihat olehku. Alhamdulillah hujan telah reda. Tak membuang waktu, kami pun mendirikan tenda. Dan karena tak ingin berlama-lama di luar tenda, setelah semua ritual selesai dilakukan kami pun beranjak masuk dalam tenda. Reputasi ekstra dingin di Lawu ternyata tak hanya isapan jempol belaka. Memang dingin. Beruntung hujan turun dari sore, membuat cuaca tak sedingin bila tak ada hujan. Namun kaos kaki dan celana basah pun sama jua akhirnya menambah dingin lebih terasa.






Masih pagi ketika kami mendengar suara-suara dari luar tenda. Rupanya ketika kami telah terlelap beberapa pendaki lain mendirikan tenda di dekat tenda kami. Bahkan ketika aku keluar untuk menangkap moment sang surya terbit, terlihat sekelompok pemuda yang nampaknya baru saja sampai di Pos 5.

Bulan masih jelas terlihat di atas kami. Di ufuk timur matahari perlahan menampakkan diri. Kami pun menggabungkan diri dengan para pendaki lain untuk bersama-sama menyambut terbitnya sang mentari di Pos 5, Lawu. Selalu ada perasaan yang berbeda setiap kali melihat terbitnya mentari beserta gumpalan awan dari ketinggian. Perasaan yang entah mengapa mengantarkan rindu  yang menjalar namun sulit dijabarkan.






Menatap track menuju puncak Lawu dari Pos 5 mengingatkanku pada setapak Merbabu. Nampak serupa oleh sebab hijau dimana-mana. Matari mulai benderang, tak lagi malu-malu muncul dari balik awan. Kami pun mempersiapkan diri melanjutkan perjalananan menuju puncak. Kali ini Saras memilih tak ikut, jaga tenda saja, katanya. Jadilah kami bertiga saja menuju 3265 mdpl. 



Masih dengan jalan setapak berbatu, langkah kami mantap meninggalkan Pos 5. Cuaca cukup cerah dengan kabut tipis disana-sini. Tak jauh dari Pos 5, terdapat sebuah mata air yang bentuknya serupa dengan sumur. Sendhang Drajat. Di sendhang ini, pendaki diperbolehkan mengambil air namun dilarang mandi/nyebur. Bersebelahan dengan sendhang yang konon keramat itu, terdapat sebuah bangunan tanpa dinding dengan sebuah batu di tengahnya. Di sekitar batu tersebut terdapat dupa juga bebungaan semacam sajen. Tak jauh dari Sendhang Drajat, kami dapat melihat warung Mbok Yem yang tersohor itu. Sayang, kali itu aku tak bisa menyambangi warung Mbok Yem. Semoga kali lain aku ke Lawu, bisa mengunjungi atau mungkin menginap di warung Mbok Yem.




Menjelang puncak, jalanan batu yang tertata sudah tak nampak lagi. Berganti dengan tanah dan batu. Ah! Senang sekali rasanya menjejak tanah lagi.  Sepenuhnya tanah. Tak melulu batu. 

“ Akan ada surprise buat kamu, Ki, nanti di puncak,” kata Rising sesaat sebelum puncak.
“ Oh ya? Apa?” udah dibilang surprise, dengan bodohnya aku masih bertanya apa -,-‘’
“ Ya liat aja nanti di puncak.”

Dan kemudian, aku melihat tugu itu. Tugu Hargo Dumilah, puncak tertinggi Lawu. 3265 mdpl. Sudah ramai sekali orang berfoto-foto saat kami tiba. Bahkan aku khawatir tak memiliki kesempatan berfoto dengan tenang di Tugu Hargo Dumilah. 



Kami pun duduk-duduk dahulu di kaki tugu sebelum mendapat kesempatan berfoto sambil sesekali mengambil foto pemandangan dari puncak Lawu. Dan kemudian Rising menunjukkan padaku surprise yang dia maksud tadi. Surprise itu berupa tulisan namaku di Tugu Hargo Dumilah. Bukan, bukan tulisan yang ditulis menggunakan pilox atau tipe-x yang biasanya digunakan oknum kurang bertanggung jawab. Namaku tercetak bersebelahan sisi dengan tulisan Puncak Lawu, Hargo Dumilah. Benar-benar tercetak. Tercetak sebagai salah satu sponsor (mungkin) dalam pembangunan tugu ini dahulu. KIKY, salah satu merk buku tulis yang juga kupakai saat sekolah, tercetak manis di Tugu Hargo Dumilah. Ah, nampaknya sekarang aku tahu mengapa aku ingin sekali mendaki Lawu. Panggilan nama, kurasa :p



Belum puas berfoto sebenarnya. Tapi karena nampaknya kesempatan eksklusif tak menunjukkan tanda-tanda akan tiba, kami pun memutuskan untuk menyudahi. Selamat tinggal Hargo Dumilah. Sampai berjumpa lagi di lain kesempatan, insyaAlloh.



Aku melangkah ringan menuruni setapak. Senang :D. Kabut mulai bergerak, semakin tebal. Sesampainya di Pos 5, kami pun mengganjal perut dahulu sebelum bergerak turun. Nampak lagi burung Jalak Lawu di sekitar tenda kami. Burung yang juga kami jumpai melompat-lompat di jalan setapak saat kami memulai pendakian kemarin. Burung ini nampak sangat ramah, terbukti tak merasa terganggu berada dekat-dekat dengan manusia. Konon, dinamai Jalak Lawu karena merupakan fauna tetap penghuni Lawu.



Belum lewat tengah hari ketika kami beranjak turun. Kabut masih nampak disana-sini. Tangga batu yang semalam tampak samar, kini terlihat begitu jelas. Ah begini rupanya bebatuan yang kami daki semalam. Dan kurang beruntung, aku terpeleset hingga jatuh menggelundung. Yak! Terima kasih batu. Aku tak harus merosot begitu jauh ke bawah karena ditahan batu. Namun ternyata efek benturan yang terjadi di lutut nampaknya tak berdampak lokal, sistemik. Sakit yang sangat membuat gerakanku menjadi terbatas. Dan sempurnalah ketika hujan mulai turun. Yang kulakukan kemudian hanyalah berusaha terus bergerak sembari meneguhkan hati. Kebas. Maaf teman-teman, bila kemudian aku mendadak menjadi pendiam :p

Dan begitulah. Sampai jua kami di basecamp. Lepas bersih-bersih badan, kami mengisi kembali energi dengan makan di warung yang kemarin sambil mengulang cerita ketika berada di gunung. Kemudian tibalah saat yang menjadi jodoh pertemuan, perpisahan. Aku, Saras dan Rising kembali ke Solo, sedang Mas Dhanny kembali ke Madiun.



Terima kasih Saras, untuk permulaan perkenalan kita yang tak biasa, yang kemudian menjadikan perjalanan ini ada. Terima kasih Rising, untuk kebaikan, kesabaran dan juga “surprise”nya :D. Terima kasih Mas Dhanny, untuk kebaikan dan kerepotan yang saya hadirkan :p. Terima kasih kalian, yang menjadikan perjalanan Lawu ini menjadi tidak biasa :)