Senin, 31 Desember 2012

3676 mdpl (3): dari Pos 1 menuju surganya Semeru, Ranu Kumbolo



The Team...
Dian Sumardiana. Khas sunda banget ya namanya :D. Kang Dian. Kalem, sabar dan pendiam. Bahkan karakter itu sudah tergambar ketika menatap wajah Kang Dian pertama kali. Sosok yang tidak terlalu banyak bicara ini adalah salah satu staff di ITB. Karena karakter yang pendiam itulah, aku tidak bisa mendeskripsikan terlalu banyak tentang akang yang satu ini. Yang jelas, kepedulian dan senyum ramahnya membuat siapa saja tidak akan tega menyakiti sosok satu ini :p


David Rahman Sentika. Mas David. Emm..bagaimana kalau profil anak manusia yang ini di skip saja :p *langsung digetok Mas David*. Kalau aku dimintai 2 kata untuk mewakili sosok satu ini, maka dari banyak kata dalam bahasa Indonesia aku akan memilih kata ‘menyebalkan’ dan ‘tangguh’. Wataknya yang keras, disiplin dan semena-mena :p kadang-kadang membuatku jengkel sekali. Tapi meskipun begitu, dibalik sikapnya yang kadang menyebalkan, Mas David adalah sosok yang cerdas, gigih, tangguh, menyenangkan dan peduli. Bagaimanapun, aku belajar banyak darinya.



***
pagi di Ranupani
Ranupani menyempurnakan pagi kami. Dingin dan kabut masih membungkus hari. Matahari masih malu-malu menampakkan diri. Namun keberadaannya tak bisa dipungkiri. Pendar sinarnya menyapa lewat celah pepohonan. Meski rasanya masih ingin bergelung di sleeping bag, namun kami harus bergegas bersiap. Menyiapkan sarapan. Nasi keras, nuget yang sudah menjadi sekeras dan sedingin es, kornet dan mie rebus. Sedap bukan? :p. Seru sekali makan kami pagi itu. Cerita, canda, tertawa bersama. Meskipun kadang-kadang aku hanya tertawa dengan memasang tampang bodoh-bodoh bergembira karena roaming. Muda-mudi Bandung ini suka lupa kalau ada makhluk jawa bukan sunda yang tidak mengerti sama sekali bahasa mereka. Mas David pun yang kupikir bernasib sama denganku ternyata juga  bisa bahasa Sunda [kenapa dia bisa banyak bahasa sih -_-]. Hadeh..merana sendirian deh. Tapi tak mengapa, toh mendengarkan mereka bicara pun aku sudah senang. Bahasa Sunda itu menyenangkan didengarkan kawan :D

Jangan bayangkan kami makan memakai piring sendiri-sendiri. Tidak, kawan. Dari tempat nasi yang sama, tempat mie yang sama, juga tempat kornet yang sama, kami menyendok semuanya bersama-sama. Duduk melingkari makanan. Diselingi cerita dan tawa. Dan disinilah tiba-tiba Teh Nadia nyeletuk,
“ Markijab!”
Kami berpandangan. Masih belum mengerti.
“ Markijab apaan?”
“ Mari kita jajablog!”

Sontak semuanya tertawa kecuali aku. Aku masih tidak mengerti artinya. Dan mereka pun menjelaskan. Jajablog adalah salah satu kosakata Sunda yang bermakna makan. Bukan bahasa Sunda yang halus sih, biasanya digunakan dalam konteks makan-nya hewan. Baru setelah mengerti artinya aku bisa ikut tertawa *telat* :p. Dan sejak saat itulah tim kami resmi dinamakan Tim Jajablog :D

Selesai sarapan, kami pun berkemas. Bongkar tenda, bersih-bersih, packing lagi. Siap untuk memulai perjalanan. Kami sempatkan berfoto-foto sebentar sebelum meninggalkan Ranupani. Dan hai Semeru, kami segera datang :)

Jajablog team :D

Jumat, 16 November 2012

07:...WIB
Beberapa ratus meter berjalan, kami disambut oleh gapura besar bertuliskan SELAMAT DATANG PENDAKI GUNUNG SEMERU. Setelah berasa disambut secara resmi oleh gapura, kami melewati jalan setapak berpaving-blok. Dibutuhkan kurang lebih 1 jam perjalanan untuk sampai di Pos 1. Pos 1 terletak di tikungan jalan jalur pendakian. Terdapat rumah kecil semacam pos ronda di setiap pos di Semeru.

gapura selamat datang
Perjalanan dilanjutkan menuju Pos  2. Sedikit lebih lama dibanding menuju Pos 1. Butuh sekitar 1,5-2 jam perjalanan. Jalan sudah mulai tidak berpaving-blok lagi. Tanah sudah mendominasi. Jalanan setapak diapit kanan dinding bukit dan jurang di sebelah kiri. Kadang melewati batang pohon yang melintang di jalan, kadang harus merunduk bila ada batang pohon yang menjuntai terlalu rendah.

Perjalanan terlama adalah dari Pos 2 menuju Pos 3. Track tidak terlalu sulit, pun tidak curam, hanya lebih panjang. Kami juga melewati sebuah jembatan kayu ketika menuju Pos 3. Pos 3 sama dengan pos-pos sebelumnya, hanya saja saat kami kesana atap bangunan ini roboh. Jadilah para pendaki tidak dapat beristirahat di dalam pos. 

Pos 3 menuju Pos 4 diawali oleh jalanan yang cukup menanjak. Dan mungkin ini yang menyebabkan kaki Teh Nadia sakit. Teh Nadia masih berusaha mengimbangi langkah-langkah kami. Tidak tega melihatnya menahan sakit. Melihat yang demikian, Kang Andi membagi tim menjadi 2. Satu tim berjalan lebih dahulu, memilih tempat istirahat dan memasak makan siang. Satu tim lagi yang terdiri dari Kang Andi dan Mas David menemani Teh Nadia berjalan belakangan. 


Lebih banyak kabut yang menutupi bukit di samping kiri kami. Meski begitu ketika kabut tersibak, akan terlihatlah hijaunya bukit yang indah. Dan dari Pos 4 kami sudah dapat melihat danau yang menjadi tempat favorit semua pendaki, surganya Semeru, Ranu Kumbolo.

Ranu Kumbolo

Ranu Kumbolo, Juni 2012
Ranu berarti danau. Kumbolo berarti tempat berkumpul. Bila digabungkan menjadi danau tempat berkumpul. Itu pun masih bisa diartikan lebih banyak lagi. Bisa saja bermakna tempat berkumpulnya air di atas gunung. Atau tempat berkumpulnya para pendaki, mengingat rata-rata pendaki mendirikan tenda dan ngecamp di Ranu Kumbolo. Atau mungkin tempat berkumpulnya impian, cita dan cinta [sumpah bukan kata-kataku, Kang Andi yang bilang :p].

Mendadak mengalami kesulitan ketika hendak mendeskripsikan Ranu Kumbolo. Kalau dibilang terlalu indah, iya, memang terlalu indah. Membuat siapapun akan jatuh cinta pada pandangan pertama. Membuat  siapapun akan terkena demam rindu ketika meninggalkannya. Hehe..

Ranu Kumbolo, Juni 2012
kilau Ranu Kumbolo


Ranu Kumbolo, Juni 2012
Ranu Kumbolo, sebuah danau di atas gunung yang digamit oleh bukit-bukit. Airnya berkilauan bila ditimpa sinar matahari. Menyejukkan bagi siapa saja yang kehausan. Menyenangkan bagi siapa saja yang memandang. 

Ranu Kumbolo berkabut, November 2012

Kamis, 27 Desember 2012

3676 mdpl (2): dari stasiun hingga desa terakhir..



The Team...
Teja Ahsania. Teja, Teza, Tejo, Tissu, Eja, banyak sekali ternyata nama panggilannya. Gadis Bandung yang sekarang sedang bekerja di Malang ini wajahnya mirip sekali dengan mantan artis cilik, Tasya Kamila. Penyuka senja, teh dan segala macam gulali. Matanya akan membulat dan berbinar bila melihat gulali, arum manis, lolipop, dan sebangsanya. Ramah, lucuk, juga perhatian adalah sederet karakter yang dimilikinya. Setelah beberapa kali gagal bertemu karena jadwal yang bertabrakan, akhirnya takdir jualah yang mempertemukan kami dalam perjalanan hati kali ini :)


Nadia Indah. Aku memanggilnya Teh Nadia. Berasal dari Bengkulu, namun sejak SMA sudah tinggal di kota kembang, Bandung. Dan kini gadis berkulit putih dan bermata sipit ini sedang melanjutkan pendidikan S2-nya di ITB. Kesan pertama yang kutangkap saat berkenalan dengannya adalah pendiam. Namun kesan pertama itu luruh seiring perjalanan kami. Teh Nadia ternyata seru sekali. Celetukan-celetukannya sering membuat kami terpingkal-pingkal. Tim Jajablog, yang kami sepakati menjadi nama tim kami pun berawal dari salah satu celetukan Teh Nadia :D


next: Kang Dian, Mas David...
***
Pukul 07.00 aku menjejakkan kaki di Stasiun Kotabaru, Malang. Aku, Mella dan Nda pun harus berpisah disini. Mereka akan bergabung dengan rombongan Avtech. 

Aku menjadi orang pertama dari tim kami yang sampai di stasiun. Pesan singkat segera aku kirim ke semua anggota tim, sekedar memberitahukan bahwa aku sudah berada di TKP. Kereta yang membawa rombongan dari Bandung belum lagi tiba. Teza masih dalam perjalanan menuju stasiun. Sedangkan Mas David yang sudah tiba di Malang sejak semalam, sedang mandi. Setidaknya begitulah balasan dari pesan yang kukirimkan.

Tak berselang lama, aku melihat Teza celingak-celinguk di pintu masuk stasiun. Aku pun melambaikan tangan menandakan keberadaanku. Ah! Akhirnya kami bertemu juga. Di tengah obrolan seru kami berdua, rombongan dari Bandung pun tiba. Kang Andi, Kang Arai, Kang Dian dan Teh Nadia. Sepagi itu stasiun sudah penuh sekali. Mau di Lempuyangan, mau di Gubeng, mau di Kotabaru, semuanya dipenuhi oleh muda-mudi berkeril besar. Kami pun beranjak meninggalkan stasiun, mencari warung makan untuk sarapan sekaligus packing ulang. 

Tak membuang waktu, Kang Arai dan Kang Andi pun membongkar keril kami. Menata dan membagi siapa yang membawa apa. Aku sih jadi penonton saja ya. Serahkan semua pada ahlinya :p. Di tengah adegan menonton itu, telepon selulerku berbunyi. Mas David. Menanyakan keberadaan kami. Aku pun melihatnya di arah jam 12. Aku melambai. Mas David pun kemudian menghampiri kami.

Dan inilah kami, 7 orang yang akan bersama-sama mendaki tanah para dewa, tanah tertinggi di pulau Jawa, Semeru. Kang Andi, Kang Arai, Kang Dian, Teh Nadia, Teza, Mas David, dan aku. Kalau kalian fikir aku dan mereka semua sudah bertemu dan berkawan lama, kalian salah. Waktu itu, di Stasiun Kotabaru Malang, adalah kali pertamaku bertemu dengan mereka semua. Seru sekali bukan? :D

Dan bukan kami bertujuh saja kali itu yang memenuhi halaman warung makan tempat kami sarapan. Masih banyak kawan kami yang juga berada disana. Yah.. tidak semata-mata menyambut kedatangan kami sih..ehehe.. Ada yang ke Semeru juga tapi beda rombongan, ada pula yang memiliki destinasi yang tak kalah seru, Bromo. Apapun itu ya, mau ke Semeru, mau ke Bromo, bersama sahabat selalu seru :)


Dari Stasiun Kotabaru Malang kami harus naik angkot menuju Tumpang. Baru setelah itu, dari Tumpang kami akan menuju desa terakhir sekaligus basecamp, desa Ranupani. Tidak dibutuhkan waktu terlalu lama dari stasiun menuju Tumpang. Meski begitu, ada saja kejadian seru di waktu yang sesingkat itu. Di tengah perjalanan, keril-keril kami yang disusun di atas angkot mendadak runtuh, jatuh berantai. Beruntung jatuhnya ke arah samping bagian luar jalan, sehingga tidak terlalu mengganggu dan membahayakan pengguna jalan raya. Angkot pun berhenti. Para lelaki bersama pak supir bersama-sama bahu-membahu tolong-menolong *halah* membenahi dan menyusun keril kembali ke atas angkot. Perjalanan pun dilanjutkan lagi setelahnya.

Pasar Tumpang ramai sekali. Iya, pasar memang ramai. Tapi kali itu bukan hanya para pedagang dan pembeli saja yang meramaikan. Pendaki dengan keril-keril mereka mendominasi pemandangan. Ada yang duduk-duduk di pinggir jalan, entah menanti apa. Ada yang briefing bersama anggota rombongannya. Ada pula yang sudah nangkring di atas Jeep, siap meluncur ke Ranupani. Kami? Kami belum tau mau naik apa. Ehehe. Jeep sudah laku keras, kebanyakan sudah di booking oleh rombongan Avtech yang jumlahnya mencapai angka 1700an. Beruntung aku masih menyimpak nomor telepon Pak Laman, bapak yang menyewakan Jeep maupun truk untuk dipakai mengangkut para pendaki ke Ranupani. Maka ke rumah beliau lah kami kemudian bersama dua rombongan pendaki lain yang juga belum mendapat angkutan menuju Ranupani. Kami menyewa satu truk untuk dipakai 3 rombongan sekaligus.

Sesampainya di kediaman Pak Laman, sayang sekali semua truk masih di atas. Jadilah kami harus menunggu truk kembali. Dan sembari menunggu, kami mengurus perijinan lebih dahulu. Kang Andi mewakili tim kami mengurusnya. Sedangkan kami berenam? Kami menanti Kang Andi kembali dengan sepenuh hati di bawah pohon kersen yang rindang [dan berbuah :p].


Ijin sudah beres [terima kasih Kang Andi :D]. Truk pun datang. Hap-hap, keril-keril dinaikkan ke atas truk. Disusul para pemiliknya. Perjalanan menuju Ranupani pun dimulai. Dibutuhkan waktu sekitar 1,5 sampai 2 jam untuk sampai di Ranupani. Sepanjang perjalanan kami disuguhi pemandangan yang indah, sangat indah. Jalan yang berkelok, perkebunan sayur, pohon-pohon besar, bukit hijau dengan kabut tipis [yang kadang tebal :p] menyelimuti. Eksotis romantis lah. Hujan yang sempat turun tak mengurangi barang sedikit keseruan perjalanan kami. Baru kali itu berdiri beramai-ramai di atas truk dan ditutup terpal pula. Seru sekali.



Ranupani


Setelah hampir 2 jam terguncang-guncang di dalam truk, sampailah kami di Ranupani. Ramai sekali disana. Bahkan sudah terlihat banyak tenda yang berdiri. 

Ranupani adalah desa terakhir sebelum jalur pendakian Semeru. Berada di kaki gunung menyebabkan suhu di desa ini kalau tidak sejuk ya dingin. Mungkin itulah sebabnya rata-rata penduduk di Ranupani terlihat selalu menyampirkan sarung di bahu. Mengusir dingin kah? Mungkin. Mata pencaharian penduduk di desa ini kebanyakan adalah sebagai petani sayuran. Tak heran bila sepanjang perjalanan menuju desa ini terlihat bentang perkebunan sayur yang sangat luas dan rapi.

Ditilik dari namanya, Ranupani seharusnya memiliki danau [Ranu=danau, telaga]. Dan benar saja, di Ranupani terdapat sebuah danau yang cukup besar. Mungkin bila dilihat dari atas, Ranupani akan terlihat seperti kue donat raksasa yang indah. Dengan danau Ranupani sebagai bulatan tengah donat, dan bukit yang mengelilingi danau sebagai pinggiran. Dan Gunung Semeru sebagai latarnya. Ah! Indah sekali kawan. Tapi itu hanya imajinasiku kawan. Kata Kang Andi, bentuk danau di Ranupani lebih menyerupai daun telinga bila dilihat dari atas :D

Registrasi ulang sudah dilakukan. Gerimis. Melihat kondisi cuaca dan fisik yang cukup lelah, kami sepakat melakukan pendakian esok hari. Malam ini kami akan bermalam di Ranupani.

Tenda didirikan. Hari mulai gelap. Dan gerimis kecil masih setia menemani. Setelah semuanya beres, kami bertujuh menuju warung makan terdekat. Mengisi perut yang sudah meronta. Wajar saja, terakhir makan kan pagi tadi. Makan bersama sahabat dengan menu nasi rawon maupun soto dengan ditemani segelas teh hangat di tengah gerimis rasanya nikmat sekali. Bahagia itu sederhana ya. Ah! Bahkan aku sudah kangen kalian semua hanya dengan mengingatnya begini >.<

Selesai makan, kami beranjak menuju tenda. Briefing sebentar sebelum tidur. Udara cukup dingin untuk dilewatkan oleh briefing saja. Maka kami pun membuat Milo panas dan juga kopi khas Banyuwangi yang dibawa Mas David [kopinya enaaaakk >.<]. Dilengkapi dengan mie kremes hasil olah tangan Teh Nadia, lengkap sudah bekal briefing kami.

Setengah jam berlalu [atau mungkin lebih], briefing pun usai. Setelah melakukan sedikit persiapan untuk besok pagi, kami pun beranjak tidur. Siap menjemput esok hari. Menyambut hari dimana kami akan bersama-sama melakukan perjalanan. Bukan sekedar mendaki, namun juga sebuah perjalanan hati.

Minggu, 23 Desember 2012

3676 mdpl (1) : perjalanan pun dimulai



The Team...
Andi Budiman. Kerap dipanggil Kang Andi, Ayah Andi, juga Kangkung. Pemilik tubuh yang keterlaluan tingginya ini secara tak tertulis sudah menjadi semacam leader di tim kami. Pembawaannya yang tenang *kalo nggak mau disebut datar* membuat kami semua percaya sepenuhnya. Selalu berusaha menyelesaikan masalah tanpa membuat yang lain panik. Akang satu ini meskipun terkesan pendiam, tapi kalau sudah nyeletuk, dapat dipastikan kami bakalan ngakak maksimal. Ditambah lagi ekspresinya yang selalu datar, lempeng banget. Kami serombongan sepakat menjagokan Kang Andi ikutan Stand-up Comedy. Bakal kami dukung 100% :D


Syahroni Akbar Prabowo.  Kang Arai, Kang Oni, Kang Roni, Papih Arai, Abang dan entah ada berapa banyak lagi sebutan akrabnya. Rasanya sudah sepaket antara Kang Andi dan Kang Arai ini. Dimana ada Kang Andi, disitu pula lah ada Kang Arai. Begitu pun sebaliknya. Alhamdulillah perawakan Kang Arai tidak se-menjulang Kang Andi :p. Akang berkaca-mata ini pandai “ngemong”, berpikiran positif, meskipun kadang jail dan isengnya bikin geregetan -_-‘’



next: Teza, Teh Nadia...

***
Sebuah perjalanan selalu dimulai dari langkah pertama. Dan perjalanan ini bermula dari ajakan Teza mendaki Gunung Semeru. Awalnya aku menolak, dengan alasan baru beberapa bulan yang lalu kesana. Pun mengingat cuti yang tersisa di tahun ini tinggal 3 hari. Di beberapa hari kemudian ajakan Teza datang lagi. Dengan iming-iming adanya tanggal merah, maka cuti yang diambil pun bisa diperpendek harinya, ittenerary pun menjadi masuk akal untuk dijalani. Setelah melewati pelbagai pertimbangan termasuk di dalamnya adalah kerinduan akan kejutan di Semeru *haish*, diputuskan aku akan ikut trip kali ini. Bismillah...

Perlengkapan sudah disiapkan, tiket PP sudah dipesan, tinggal packing akhir saja. Tidak sabar rasanya menanti hari H tiba. Sesuai kesepakatan, kami semua akan bertemu di Stasiun Kotabaru Malang pagi hari tanggal 15 November 2012. 

Rabu, 14 November 2012

Pagi...
Lagu Danger Line berseru-seru dari telepon selulerku. Dari Teza. Membahas persiapan untuk pendakian esok hari. Teza sudah selesai packing, sedangkan aku? Cuma bisa cengar-cengir melihat lantai kamar yang penuh dengan aneka perlengkapan yang belum dimasukkan ke keril mungilku. Tak berapa lama dari telepon Teza, Mbak Nurul mengirim pesan singkat. Ada kabar jalur pendakian ke Semeru ditutup. Heuuu... :( Danger Line melengking-lengking lagi. Kali ini dari Kang Arai. Masih tentang persiapan pendakian. Juga membahas isu yang tengah marak dibicarakan, tutupnya jalur pendakian ke Semeru. Kang Arai berusaha meyakinkan aku untuk terus berfikir positif. Yang penting sampai Malang dulu besok pagi. Urusan ditutup atau tidak, yang penting diusahakan dulu. Oke, sip!

Dan sepanjang pagi hingga siang itu, Danger Line menjadi lagu yang paling sering kudengar. Ada Mas David, Rian, Mbak Endah, Mas Ain, dan entah siapa lagi yang turut berperan serta membuat Mas Shadows bernyanyi tak henti :D. Pembicaraan di telepon pun tak jauh-jauh dari tema tutupnya jalur pendakian yang kabarnya akibat membludaknya  jumlah pendaki dari rombongan Avtech. Ada kekhawatiran dalam hati bahwa pendakian ke Semeru kali ini akan gagal. Tapi seperti kata Kang Arai, yang penting sampai Malang dulu, usaha maksimal dulu.

Ba’da isya...
Siap berangkat. Rencana awal: rumah-rumah sepupu [pinjam nesting]-makan malam-Stasiun Lempuyangan. Tapi apa mau dikata, sehabis mengambil nesting pinjaman, hujan turun dengan derasnya. Berteduh pun nampaknya hanya akan membuang waktu saja. Akhirnya dengan tekad bulat bermodal 1 mantel hujan untuk dipakai 2 orang berboncengan, aku pun berbasah-basah ria. Rencana makan malam pun batal. Yang penting sampai stasiun dulu karena hujan nampaknya tak hendak reda. Alhasil sampai stasiun dengan kondisi yang cukup mengenaskan :p. Celana total basah, jaket pun tak luput dari guyuran air hujan. Meski begitu, di stasiun aku disuguhi pemandangan yang membuatku senyum-senyum sendiri. Begitu banyak anak manusia dengan keril besarnya memenuhi stasiun. Nampaknya gerbong kereta akan dipenuhi pendaki dengan berbagai destinasi :D

21:40
Tibalah jam keberangkatan kereta yang akan membawaku ke Surabaya, kota transit sebelum ke Malang. Setelah dadah-dadah sama para pengantar :D *makasih Mba Nurul celana daruratnya :p*, aku pun memasuki gerbong terdepan kereta seorang diri. Duduk di samping bapak paruh baya yang hendak pulang ke kampung halamannya, Madiun. Di depan sana, di belakang sana, arah jam 7, pun arah jam 11 aku melihat banyak anak muda yang ditilik dari keril-kerilnya memiliki agenda kegiatan yang sama denganku, mendaki gunung. Kereta berangkat sepuluh menit kemudian.

Kamis, 15 November 2012

Dijadwalkan kereta yang kutumpangi akan sampai di Stasiun Gubeng pukul 02:40. Namun karena keberangkatan mundur sepuluh menit, maka sampai stasiun tujuan pun menjadi mundur sepuluh menit. Rencana awal adalah sampai stasiun lalu mengantri tiket kereta lokal jurusan Malang, kereta Penataran. Loket belum lagi dibuka, namun sudah terlihat banyak sekali yang mengantri di depan pintu. Aku pun ikut mengantri di depan pintu.

03:30 pintu dibuka. Dan layaknya kumpulan ikan yang dilepas dari jaring, kami semua tumpah, merangsek berebut masuk ke dalam stasiun. Berusaha mendapatkan tempat paling depan. Apa daya dikarenakan tubuhku yang mungil dan membawa keril yang ehm..ukurannya tidak jauh beda dengan badanku, aku pun terdesak-desak di belakang. Pyuuhh... *usap kening*. Belum lagi 10 menit mengantri, dapat kabar beruntun dari antrean di depan bahwa kereta Penataran untuk jam keberangkatan pukul 04:30 sudah habis. Hah?? 

Agar tidak merusak rencana semula, aku pun memutar otak mencari alternatif untuk bisa sampai Malang pagi hari tanpa menggunakan kereta. Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Bapak yang berada tepat dibelakangku berbaik hati menjelaskan alternatif perjalanan menuju Malang menggunakan bus. Aku pun tak menyiakan kesempatan dengan banyak bertanya ini-itu ehehe. Namun ternyata pendengar si bapak bukan aku saja. Mbak-mbak yang mengantri di belakang si bapak pun ikut mendengarkan. Nampaknya dia pun memiliki tujuan yang sama denganku. Mencari alternatif selain kereta. Awalnya kami hanya saling senyum. Hingga pertanyaan ini pun terlontar, “ Mau ke Malang pagi ini?”. Mengangguk.
“ Mau naek bus juga?”
“ Iya. Kamu?”
“ Sama. Mau barengan?”
“ Yuk!”
Kurang lebih begitu percakapan singkat kami. Setelah memastikan tiket Penataran pukul 04:30 benar-benar sudah habis, keluarlah kami dari antrean. Saras, nama gadis yang berbincang denganku tadi. Bersama 2 orang kawannya, Rising dan Yaya, berniat menuju Pulau Sempu. Berempat kami menunggu angkot di depan Stasiun Gubeng. Hari masih gelap, azan subuh pun belum terdengar. Jalanan kota Surabaya masih lengang.

Ah! Ada angkot datang. Setelah bernegosiasi dengan bapak supir, beliau pun mau mengantar kami langsung ke Terminal Purbaya [biasanya harus naik angkot 2 kali]. Maka naiklah kami berempat. Tak berapa lama, 2 gadis ber-keril pun ikut bergabung. Dari obrolan singkat kami, tahulah aku ternyata mereka juga hendak ke Semeru, ikut rombongan Avtech. Mereka pun bercerita tak berhasil mendapatkan tiket Penataran. Senasib rupanya. Obrolan pun berlanjut. Kami akhirnya berkenalan. Mella dan Nda, begitu mereka biasa dipanggil. Datang dari mamakota, Jakarta.

Sesampainya di Terminal Purbaya, kami pun bersama-sama menuju masjid untuk menunaikan sholat Subuh sebelum dilanjut berburu bus. Pukul 04:40 kami resmi berada di bus menuju kota apel, Malang. Pukul 6 pagi gapura kota Malang pun terlihat sudah. Tak butuh waktu terlalu lama untuk sampai di terminal tujuan, Terminal Arjosari. Di terminal inilah kami berenam harus terpisah menjadi 2 rombongan. Aku, Mella, dan Nda akan menuju Stasiun Kotabaru menggunakan angkot AL/ADL. Sedangkan rombongan Sempu, yakni Saras, Rising dan Yaya akan memakai angkot yang berbeda. Sebelum berpisah kami sempatkan berfoto bersama dulu di depan terminal dan berjanji akan terus saling kontak. Pun kami sepakat menamai rombongan dadakan ini dengan sebutan Bolang Penataran. Meski singkat dan dipertemukan nasib secara tak sengaja, rasanya berkesan sekali sempat mengenal mereka. Dan begitulah perjalanan, akan ada kejutan di setiap belokan. Kita tak akan tau sebelum benar-benar berjalan :)