Minggu, 16 September 2012

rindu #5



Sebutlah itu rindu
Ketika di setapak hanya tertinggal jejakku
Tak ada milikmu
Sebutlah itu rindu
Ketika di meja hanya ada gelasku
Tak ada cangkirmu
Dan sebut pula itu rindu
Ketika aku berlari di tengah hujan
Dan tak ada derapmu di sampingku
Karena ya, aku memang rindu
Sebab ketika aku membuka mata
Tak ada kamu

Rabu, 12 September 2012

3428 mdpl part 4: dua gila menjejak puncak..



SUMMIT ATTACK!!

Bismillah..
Kami melangkah. Meninggalkan Pos 9. Meninggalkan tanah coklat, meninggalkan akar-akar yang melintang, meninggalkan pepohonan dan ilalang. Kami menuju gunung pasir dan kerikil.

Di area gundukan pasir ini, kemiringan nampak jelas. Mungkin mencapai 60˚. Miring banget yaa >.<



Satu dua langkah kami tapaki. Beberapa kali terperosot ke bawah. Berpegangan pada apa saja yang berada di dekat tangan. Kadang kala bahkan batu yang dipakai sebagai pegangan terlepas dan menggelinding jatuh. Tak terlalu kuat. Padahal sekilas nampak besar dan kokoh. Tubuh pun oleng. Kami berusaha menjaga keseimbangan agar tak jatuh.

Merosot dan merosot lagi. Begitu berkali-kali. Lelah sekali rasanya. Beberapa kali berhenti. Dan ketika menoleh ke belakang,, Hah??dari tadi jalan baru sampe segitu?? -,-''. Kemudian menoleh ke depan lagi. Menatap pasir dan batu yang sepertinya tak ada ujungnya. Puncak bahkan tak dapat kami lihat.

dalam hati: dari tadi jalan baru sampe segini aja? :p

Mas arifin selalu memasang target bagi kami berdua. '' Sampe batu besar itu ya Ki? Trus istirahat bentar'', katanya. Aku menoleh ke atas. Ke arah batu yang dimaksud. Lalu mengangguk saja. Dan aku pun berjalan. Kadang tegap berjalan tapi sering pula menempelkan badan di pasir bila dirasa tubuh mulai tidak seimbang. Merangkak. Apa saja agar tidak terjatuh :o

Begitu seterusnya. Dan kalimat-kalimat seperti  '' Sampe batu yang ada tulisannya itu ya Ki?'', ''Sampe situ ya Ki?'' terus dikeluarkan Mas Arifin. Aku mengangguk lagi dan lagi. Pasrah. Berharap di balik batu-batu yang ditunjuk Mas Arifin tadi adalah puncak. Tapi tidak, atau belum. Kami harus terperosot berulang-ulang. Merangkak dan merangkak lagi. Tidak ada habisnya.

Letih dan haus. Hanya itu yang mendominasi rasa di tubuhku. Kami pun istirahat sejenak di batu besar yang menjadi salah satu target Mas Arifin tadi. Minum secukupnya, karena kami harus menghemat persediaan air. Mas Arifin mulai membuka coklat. Aku tidak tertarik. Aku tidak merasa lapar. Letih hebat ini sepertinya menghilangkan sensasi laparku.

Kami meneruskan perjalanan. Frustasi karena tidak jua sampai sempat menghampiri otakku. Tapi tekat untuk bisa sampai puncak mengalahkan segala letih dan dahaga. Mungkin ini yang sering disebut sugesti diri memiliki kekuatan yang luar biasa. Kami sudah seperti 2 orang gila yang mati-matian berusaha mencapai puncak. Agak lebay sih kedengarannya :p. Tapi begitulah adanya. Kami letih. Letih luar biasa. 

Beberapa kali berjumpa dengan pendaki lain yang hendak turun. Kata mereka, “ Sebentar lagi Mas, Mbak..” , “ Puncak udah deket Mbak..”, “ Ayo semangat, sebentar lagi puncak..”. Uyyeah! Semangat kami terpompa lagi. Langkah kami semakin menggila. Frustasi tingkat dewa dan semangat membara sudah tidak bisa dibedakan lagi :p

Tapi eh tapi. Semakin ke atas, pasir tak lagi sepenuhnya berwarna abu. Pasir bercampur dengan tanah merah. Kerikil pun tak lagi sama, banyak yang berwarna merah, juga abu kebiruan. Apakah ini pertanda kami sudah hampir mencapai puncak?? Entahlah..


Dan betapapun kami belum sampai di puncak, kami sudah disuguhi pemandangan yang luar biasa istimewa seperti ini... Subhanallah...


Langkah kaki kami kembali mantap. Menapaki pasir yang tak kunjung usai. Lelah lagi-lagi menyergap. Hingga kami bertemu dengan rombongan pendaki dari UGM. Kami pun tak kuasa untuk tidak bertanya, “Puncaknya masih jauh Mas?”. Dan mereka pun menjawab, “ Lah, dibalik batu ini puncak Mas, Mbak..”. Rasa-rasanya itu kalimat terindah yang pernah kudengar selama 16 jam terakhir. Ingin berlari rasanya. Melompati batu terakhir yang menyembunyikan puncak dari pandangan mata kami. Dan wow! Allahu Akbar!!! Kami sampai puncak. Kami –dua orang gila, akhirnya menjejak puncak Gunung Slamet. Puncak kawan, ini puncaaakk :D

3428 mdpl

Waktu itu kira-kira pukul 8.30 WIB. Tak terkira rasanya bisa sampai di tanah ini. Tanah tertinggi kedua di Pulau Jawa. Sampai di puncak Gunung Slamet kegilaan kami pun memuncak hehe.. Kami melompat kegirangan. Berlarian merasai angin puncak. Melepaskan semua tas dan jaket. Memotret kalap. Sujud syukur. Lega sekali rasanya. Puas tak terhingga. Lenyap sudah frustasi tingkat dewa.


harus bisa bertahan sampai Pos 2 dengan sisa logistik :p

Tidak ada keinginan untuk makan atau minum [karena emang logistiknya minim :p]. Kami hanya ingin menikmati disini, di puncak ini. Menikmati dengan duduk diam meresapi angin puncak. Menikmati dengan berlarian kesana-kemari. Menikmati dengan memotret sana-sini. Dan juga menikmati dengan mengibarkan bendera kebanggaan kami, Sang Merah Putih tercinta. 

Merah Putih di puncak Gunung Slamet


dua gila di 3428 mdpl

Dari puncak ini, kami bisa melihat gumpalan awan berarak, pasir-pasir yang kami lalui, hutan di bawah sana, juga kawah di Gunung Slamet yang nampak masih mengeluarkan asap.









Cukup lama kami menghabiskan waktu berfoto-foto di puncak. Dan pada akhirnya kami pun harus turun. Waktu itu kira-kira pukul 10 pagi. Kami harus bergegas agar tidak terlalu sore sampai Pos 2, tempat Mas Hono dan Kak Eva menanti.

Enggan rasanya meninggalkan puncak Slamet. Enggan rasanya meninggalkan puncak yang kami perjuangkan tadi. Tapi bukankah hidup memang seperti itu? Meraih satu puncak, lalu bergegas mencapai puncak yang lain. Sebab hidup itu perjuangan tanpa henti. Sebab waktu kita terlalu sedikit kawan, sedang dunia terlalu luas.

Dan perjalanan turun gunung pun dimulai...


Sabtu, 08 September 2012

Indonesiaku, Pemimpinku..



Ada yang masih ingat kisah ini???

.. KISAH SEORANG POLISI YANG MENILANG SRI SULTAN HB IX ...

Bismillahir-Rahmaanir-Rahim ... Kota batik Pekalongan di pertengahan tahun 1960an menyambut fajar dengan kabut tipis, pukul setengah enam pagi polisi muda Royadin yang belum genap


seminggu mendapatkan kenaikan pangkat dari agen polisi kepala menjadi brigadir polisi sudah berdiri di tepi posnya di kawasan Soko dengan gagahnya.

Kudapan nasi megono khas pekalongan pagi itu menyegarkan tubuhnya yang gagah berbalut seragam polisi dengan pangkat brigadir.

Becak dan delman amat dominan masa itu, persimpangan Soko mulai riuh dengan bunyi kalung kuda yang terangguk angguk mengikuti ayunan cemeti sang kusir.

Dari arah selatan dan membelok ke barat sebuah sedan hitam berplat AB melaju dari arah yang berlawanan dengan arus becak dan delman. Brigadir Royadin memandang dari kejauhan, sementara sedan hitam itu melaju perlahan menuju kearahnya.

Dengan sigap ia menyeberang jalan ditepi posnya, ayunan tangan kedepan dengan posisi membentuk sudut Sembilan puluh derajat menghentikan laju sedan hitam itu. Sebuah sedan tahun lima puluhan yang amat jarang berlalu di jalanan pekalongan berhenti dihadapannya.

Saat mobil menepi, brigadir Royadin menghampiri sisi kanan pengemudi dan memberi hormat.

“Selamat pagi!” Brigadir Royadin memberi hormat dengan sikap sempurna . “Boleh ditunjukan rebuwes!” Ia meminta surat surat mobil berikut surat ijin mengemudi kepada lelaki di balik kaca, jaman itu surat mobil masih diistilahkan rebuwes

Perlahan, pria berusia sekitar setengah abad menurunkan kaca samping secara penuh.

“Ada apa pak polisi ?” Tanya pria itu. Brigadir Royadin tersentak kaget , ia mengenali siapa pria itu. “Ya Allah … sinuwun!” kejutnya dalam hati . Gugup bukan main namun itu hanya berlangsung sedetik, naluri polisinya tetap menopang tubuh gagahnya dalam sikap sempurna.

“Bapak melangar verbodden, tidak boleh lewat sini, ini satu arah !” Ia memandangi pria itu yang tak lain adalah Sultan Jogja, Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Dirinya tak habis pikir, orang sebesar sultan HB IX mengendarai sendiri mobilnya dari jogja ke pekalongan yang jauhnya cukup lumayan, entah tujuannya kemana.

Setelah melihat rebuwes, Brigadir Royadin mempersilahkan Sri Sultan untuk mengecek tanda larangan verboden di ujung jalan, namun sultan menolak.

“ Ya .. saya salah, kamu benar, saya pasti salah !” Sinuwun turun dari sedannya dan menghampiri Brigadir Royadin yang tetap menggengam rebuwes tanpa tahu harus berbuat apa.

“ Jadi …?” Sinuwun bertanya, pertanyaan yang singkat namun sulit bagi brigadir Royadin menjawabnya .

“Em .. emm .. bapak saya tilang, mohon maaf!” Brigadir Royadin heran, sinuwun tak kunjung menggunakan kekuasaannya untuk paling tidak bernegosiasi dengannya, jangankan begitu, mengenalkan dirinya sebagai pejabat Negara dan Rajapun beliau tidak melakukannya.

“Baik .. brigadir, kamu buatkan surat itu, nanti saya ikuti aturannya, saya harus segera ke Tegal !” Sinuwun meminta brigadir Royadin untuk segera membuatkan surat tilang.

Dengan tangan bergetar ia membuatkan surat tilang, ingin rasanya tidak memberikan surat itu tapi tidak tahu kenapa ia sebagai polisi tidak boleh memandang beda pelanggar kesalahan yang terjadi di depan hidungnya.

Yang paling membuatnya sedikit tenang adalah tidak sepatah katapun yang keluar dari mulut sinuwun menyebutkan bahwa dia berhak mendapatkan dispensasi. “Sungguh orang yang besar…!” begitu gumamnya.

Surat tilang berpindah tangan, rebuwes saat itu dalam genggamannya dan ia menghormat pada sinuwun sebelum sinuwun kembali memacu Sedan hitamnya menuju ke arah barat, Tegal.

Beberapa menit sinuwun melintas di depan stasiun pekalongan, brigadir royadin menyadari kebodohannya, kekakuannya dan segala macam pikiran berkecamuk. Ingin ia memacu sepeda ontelnya mengejar Sedan hitam itu tapi manalah mungkin. Nasi sudah menjadi bubur dan ketetapan hatinya untuk tetap menegakkan peraturan pada siapapun berhasil menghibur dirinya.

Saat aplusan di sore hari dan kembali ke markas , Ia menyerahkan rebuwes kepada petugas jaga untuk diproses hukum lebih lanjut, Ialu kembali kerumah dengan sepeda abu abu tuanya.

Saat apel pagi esok harinya , suara amarah meledak di markas polisi pekalongan, nama Royadin diteriakkan berkali kali dari ruang komisaris. Beberapa polisi tergopoh gopoh menghampirinya dan memintanya menghadap komisaris polisi selaku kepala kantor.

“Royadin, apa yang kamu lakukan .. sa’enake dewe .. ora mikir .. iki sing mbok tangkep sopo heh .. ngawur .. ngawur!” Komisaris mengumpat dalam bahasa jawa, ditangannya rebuwes milik sinuwun pindah dari telapak kanan kekiri bolak balik.

“Sekarang aku mau Tanya , kenapa kamu tidak lepas saja sinuwun .. biarkan lewat, wong kamu tahu siapa dia, ngerti nggak kowe sopo sinuwun?” Komisaris tak menurunkan nada bicaranya.

“Siap pak , beliau tidak bilang beliau itu siapa, beliau ngaku salah .. dan memang salah!” brigadir Royadin menjawab tegas.

“Ya tapi kan kamu mestinya ngerti siapa dia .. ojo kaku kaku, kok malah mbok tilang .. ngawur .. jangan ngawur …. Ini bisa panjang, bisa sampai Menteri !” Derai komisaris. Saat itu kepala polisi dijabat oleh Menteri Kepolisian Negara.

Brigadir Royadin pasrah, apapun yang dia lakukan dasarnya adalah posisinya sebagai polisi, yang disumpah untuk menegakkan peraturan pada siapa saja .. memang Koppeg(keras kepala) kedengarannya.

Kepala polisi pekalongan berusaha mencari tahu dimana gerangan sinuwun, masih di Tegalkah atau tempat lain? Tujuannya cuma satu, mengembalikan rebuwes.

Namun tidak seperti saat ini yang demikian mudahnya bertukar kabar, keberadaa sinuwun tak kunjung diketahui hingga beberapa hari. Pada akhirnya kepala polisi pekalongan mengutus beberapa petugas ke Jogja untuk mengembalikan rebuwes tanpa mengikut sertakan Brigadir Royadin.

Usai mendapat marah, Brigadir Royadin bertugas seperti biasa, satu minggu setelah kejadian penilangan, banyak teman temannya yang mentertawakan bahkan ada isu yang ia dengar dirinya akan dimutasi ke pinggiran kota pekalongan selatan.

Suatu sore, saat belum habis jam dinas, seorang kurir datang menghampirinya di persimpangan soko yang memintanya untuk segera kembali ke kantor. Sesampai di kantor beberapa polisi menggiringnya keruang komisaris yang saat itu tengah menggengam selembar surat.

“Royadin …. minggu depan kamu diminta pindah !” lemas tubuh Royadin , ia membayangkan harus menempuh jalan menanjak dipinggir kota pekalongan setiap hari, karena mutasi ini, karena ketegasan sikapnya dipersimpangan soko .

“ Siap pak !” Royadin menjawab datar.

“Bersama keluargamu semua, dibawa!” pernyataan komisaris mengejutkan, untuk apa bawa keluarga ketepi pekalongan selatan, ini hanya merepotkan diri saja.

“Saya sanggup setiap hari pakai sepeda pak komandan, semua keluarga biar tetap di rumah sekarang !” Brigadir Royadin menawar.

“Ngawur … Kamu sanggup bersepeda pekalongan – Jogja ? pindahmu itu ke jogja bukan disini, sinuwun yang minta kamu pindah tugas kesana, pangkatmu mau dinaikkan satu tingkat.!” Cetus pak komisaris, disodorkan surat yang ada digengamannya kepada brigadir Royadin.

Surat itu berisi permintaan bertuliskan tangan yang intinya : “Mohon dipindahkan brigadir Royadin ke Jogja, sebagai polisi yang tegas saya selaku pemimpin Jogjakarta akan menempatkannya di wilayah Jogjakarta bersama keluarganya dengan meminta kepolisian untuk menaikkan pangkatnya satu tingkat.” Ditanda tangani sri sultan hamengkubuwono IX.

Tangan brigadir Royadin bergetar, namun ia segera menemukan jawabannya. Ia tak sangup menolak permntaan orang besar seperti sultan HB IX namun dia juga harus mempertimbangkan seluruh hidupnya di kota pekalongan. Ia cinta pekalongan dan tak ingin meninggalkan kota ini .

“Mohon bapak sampaikan ke sinuwun, saya berterima kasih, saya tidak bisa pindah dari pekalongan, ini tanah kelahiran saya, rumah saya. Sampaikan hormat saya pada beliau, dan sampaikan permintaan maaf saya pada beliau atas kelancangan saya !” Brigadir Royadin bergetar, ia tak memahami betapa luasnya hati sinuwun Sultan HB IX, Amarah hanya diperolehnya dari sang komisaris namun penghargaan tinggi justru datang dari orang yang menjadi korban ketegasannya.

July 2010 , saat saya mendengar kepergian purnawirawan polisi Royadin kepada sang khalik dari keluarga dipekalongan, saya tak memilki waktu cukup untuk menghantar kepergiannya .

Suaranya yang lirih saat mendekati akhir hayat masih saja mengiangkan cerita kebanggaannya ini pada semua sanak family yang berkumpul.

Ia pergi meninggalkan kesederhanaan perilaku dan prinsip kepada keturunannya, sekaligus kepada saya selaku keponakannya.

Idealismenya di kepolisian Pekalongan tetap ia jaga sampai akhir masa baktinya, pangkatnya tak banyak bergeser terbelenggu idealisme yang selalu dipegangnya erat erat yaitu ketegasan dan kejujuran.

Hormat amat sangat kepadamu Pak Royadin, Sang Polisi sejati . Dan juga kepada pahlawan bangsa Sultan Hamengkubuwono IX yang keluasan hatinya melebihi wilayah negeri ini dari sabang sampai merauke.

Depok June 25′ 2011
- Aryadi Noersaid –


Miris rasanya membandingkan cerita diatas dengan yang aku alami kemarin siang. Jadi begini ceritanya...

Puskesmas tempatku bekerja ramai seperti biasanya. Dan seperti setiap harinya aku melayani resep dari pasien. Tidak ada yang berbeda. Hingga seorang ibu paruh baya datang kepadaku. Beliau membawa kertas resep dan kuitansi yang belum dibayar. 
Dan seperti biasa pun aku berkata : Ibu silahkan bayar di kasir dulu..

Si Ibu pun menjawab: Iyo iyo mbak inii..*ngotot memaksa aku untuk menerima resep yang belum terbayar dan belum dicap lunas. 
Dengan wajah ramah dan seulas senyuman aku berkata lagi : Eemm..iya ibu..tapi resepnya harus di-cap dulu...

Si Ibu masih memaksa..tapi akhirnya beliau berjalan ke kasir sambil memanggil-manggil nama salah seorang pegawai pendaftaran dengan suara keras. Tapi yang dipanggil tak kunjung keluar dari ruangan. Aku tidak tau apa maksudnya beliau berteriak begitu. Tapi ya sudahlah, aku senyum saja dan mengambil resep beliau di kasir [ padahal aturan yang benar: resep yang sudah di-cap lunas dari kasir dibawa oleh si PASIEN untuk kemudian diletakkan di keranjang tempat resep.]

Kemudian aku masuk ke ruang obat. Mengerjakan resep yang kubawa tadi. Tidak berapa lama si ibu tadi masuk ke ruanganku. Menyapa dan berjabat tangan dengan partner kerjaku. Maaf lahir batin kata beliau. Aku yang sebenarnya ingin ikut memberi salam urung mengulurkan tangan karena nampaknya beliau melirikku pun tidak. Aku tersenyum saja. Melanjutkan bekerja.

Setelah menyelesaikan resep, aku pun keluar ruangan untuk menyerahkan obat kepada pasien. Itu artinya tinggal si ibu bersama partner kerjaku yang berada di ruangan obat. Dan aku sengaja berlama-lama berdiri di luar ruangan. Takut mengganggu percakapan mereka.

Resep pun berdatangan lagi. Mau tidak mau aku harus menyiapkan obat di ruangan. Masuklah aku. Berpapasan dengan si Ibu yang nampaknya sudah berpamitan dengan partner kerjaku. Tapi entah apa yang membuat si Ibu masuk ke ruanganku lagi. 
Lalu dengan sengaja berkata pada partner kerjaku : ora ora nek aku ra mbayar yo mbak... [kalau diterjemahkan kira-kira begini: kan gak mungkin aku nggak bayar ya mbak..]

Baiklah. Itu jelas menyindirku. Oh Ibu...bukan maksud saya tidak percaya ibu tidak akan membayar,, saya hanya mengingatkan prosedur yang ada..bahwa resep pasien umum yang kami layani adalah yang sudah dicap lunas.. Rasanya ingin sekali mengatakan itu. Tapi ya sudahlah. Tidak usah memperpanjang :)

Aku pun duduk di kursiku. Mengerjakan resep. Kemudian sambil lalu bertanya kepada partner kerjaku : Pasti bahas yang tadi ya bu?
Si ibu partner kerjaku tampak tidak enak menjawab: ehehe..iya nduk..
Aku tidak berniat tahu apa yang beliau perbincangkan. Setidaknya aku sudah bisa mereka-reka. Dan tidak ingin tahu detailnya. Takut akan berprasangka lebih buruk lagi :(
Beliau siapa bu? tanyaku lagi.
Dan dijawab: Itu tadi bu lurah xxx *menyebutkan nama sebuah kelurahan*
Ooohh.. aku pun hanya menjawab seperti itu. Mulai mengerti. Mulai bisa menyambungkan semua rangkaian kejadian.

Harus begitukah sanksi sosial yang kuterima?
Salahkah aku karena mengingatkan prosedur yang benar pada salah seorang pejabat?
Berdosakah aku karena tidak mendahulukan resep salah seorang pejabat?

Dan sayangnya Bu, maaf, tapi saya akan tetap melakukan hal yang sama meskipun saya tahu Anda adalah Ibu Lurah.. :)

Oh...aku tidak pernah menyangka akan ada yang tersinggung hanya karena aku mengingatkan untuk membayar lebih dulu sebelum menyerahkan resep. Biasanya pasien akan berkata: oh iya mbak, lupa *sambil tersenyum* atau seperti ini: oh, maaf mbak, saya nggak tahu..

Tapi ya sudahlah, mungkin tadi aku kurang ramah, mungkin tadi senyumku kurang lebar. Mungkin, mungkin, mungkin...
Aku sempat terduduk lemas kemarin siang. Cara beliau berbicara, bahasa tubuh beliau yang menganggap aku seperti tidak ada sungguh membuatku sedih. Begitu salahkah aku di mata beliau?

Aku tahu tidak semua pemimpin bisa bersikap sama seperti Sri Sultan HB IX...

Aku tahu..tidak semua manusia sempurna..dan tidak sempurnaku karena aku sempat merasa sedih atas sanksi sosial yang kuterima karena bertindak sesuai prosedur..

Aahh...Indonesia, aku sungguh hanya pelayan bagi masyarakatmu. Aku sungguh hanya menjalankan kewajibanku...

Indonesia, bagaimanapun pemimpin yang kau pilih, aku menghormatinya.

*selalu sayang Indonesia, mau bagaimana juga :)