jika dan hanya jika, "seandainya" diperbolehkan, ada yang aku inginkan lebih dari apapun di dunia ini. lebih dari apapun. engkau kembali.
bertukar tempat pun tak mengapa. karena ternyata ketika dewasa aku tidak tahu apa yang benar-benar kuinginkan. yang benar-benar membuatku bahagia. aku cukup bahagia saat itu. saat kau masih ada, Bu.
aku tidak baik-baik saja sekarang. dan aku tahu, aku akan baik-baik saja bersamamu. aku sungguh merindukanmu.
aku tahu. aku sudah berdosa bahkan dengan memikirkan ini. aku hanya sedang merindukanmu seperti orang gila. aku membutuhkanmu.
rengkuh aku, kumohon. sembunyikan aku dari dunia. sembunyikan aku.
jika dan hanya jika. hanya jika kalimat andai itu diperbolehkan.
Minggu, 20 Maret 2016
Kamis, 17 Maret 2016
kami dan Prau
Happiness is only real when shared.
-Into
The Wild-
***
Terlalu lama. Catper ini
nongkrong terlalu lama di kolong leptop saya. Sampai berdebu, berkalang jaring
laba-laba. Yang nanyain kapan catatan ini terbit sampai sudah lelah bertanya.
Maafkan. Kakak sibuk :)))
Berselang hanya dua minggu dari
pendakian Gunung Ungaran, saya berencana *lagi, rencana dadakan :p* mendaki
gunung cantik di kawasan DataranTinggi Dieng, Gunung Prau. Gunung dengan
ketinggian 2565 meter diatas permukaan laut ini merupakan puncak tertinggi di kawasan Dataran Tinggi Dieng. Karena
merupakan gunung tapal batas antara tiga kabupaten yakni Kabupaten Batang,
Kabupaten Wonosobo, dan Kabupaten Kendal maka terdapat tiga jalur pula yang
lazimnya digunakan para pendaki: jalur Pranten di Batang, jalur Patak Banteng
di Wonosobo dan jalur Kenjuran di Kendal. Dan karena salah satu partner mendaki
kali ini berasal dari kota Wonosobo, jadilah saya bersama teman-teman *yang
berhasil diajak mendaki dadakan* sepakat berangkat dari jalur Patak Banteng di
Wonosobo.
8 April 2015
Pukul delapan pagi. Peserta dari
Jogja yaitu saya, Fitria, dan Mba Nurul sudah duduk manis di mobil travel.
Carrier kami sudah ditata rapi di bagian paling belakang mobil. Kami siap
berangkat. Bismillah.
Perjalanan seringkali menawarkan
banyak pilihan. Ikut mengamati lalu lalang jalanan, ngobrol dengan teman
seperjalanan, sibuk dengan pikiran sendiri, atau juga kombinasi dari ketiganya.
Setidaknya bagi saya, perjalanan hampir selalu mampu menyediakan waktu yang
cukup lama untuk berpikir. Tentang beberapa hal, banyak hal, atau sekedar
refleksi yang telah lampau. Sering baper sih jadinya. Ah sudahlah.
Tengah hari kami sudah sampai di
Alun-alun Wonosobo, tempat yang kami sepakati dengan Adhi –peserta Wonosobo-
sebagai tempat bertemu. Dalam pandangan
saya, Alun-alun Wonosobo menjadi tempat yang benar-benar mampu digunakan
masyarakat Wonosobo pada khususnya. Selain karena menyediakan lapangan yang
cukup luas untuk bermain bola ataupun kasti, terdapat pula di sudut lapangan
sebuah area untuk bermain basket juga voli. Lapangan rumput ini dikelilingi
semacam trotoar yang didesain tersusun oleh batu-batu kecil agar tidak licin
untuk mereka yang ingin jalan-jalan, lari atau bersepeda. Dan sisi paling luar
Alun-alun terdapat pepohonan sebagai perindang dengan bangku-bangku duduk
terbuat dari semen atau pipa-pipa yang disusun. Alun-alun Wonosobo dikelilingi
bangunan dengan nilai fungsi yang sangat strategis. Terdapat kantor
pemerintahan, koramil, sekolah, taman kota, juga tempat ibadah seperti gereja
dan masjid. Dan disinilah kami, duduk di bangku Alun-alun dekat kolam menanti
Adhi datang. Tapi tak lama berselang, gerimis yang datang perlahan berubah
menjadi deras. Kami berteduh sekenanya.
hujan di Alun-alun Wonosobo |
Belum benar-benar reda ketika
kami bertiga pindah tempat ke masjid dekat Alun-alun untuk menunaikan ibadah
sholat. Menyempatkan untuk ngobrol sana-sini. Jajan jajanan tradisional yang
dijual ibu muda di masjid (mungkin mampir berteduh dan sholat juga). Foto-foto
dan mengamati arsitektur masjid yang beberapa waktu terakhir telah di renovasi.
Adhi belum juga datang. Kami mulai bosan. Belum berada di bosan level pengen
guling-guling di halaman masjid ketika akhirnya sang tuan rumah datang. Setelah
tanya ini itu, protes kenapa lama sekali, Adhi akhirnya mengajak kami jalan.
Makan. Benar, kami lapar.
Setelah mengisi perut kami siap
untuk mencari angkutan umum sebelum benar-benar sore dan angkutan-angkutan itu
lelah. Butuh lebih dari satu jam perjalanan untuk sampai di basecamp Patak
Banteng. Basecamp yang seperti biasanya terletak membaur dengan
rumah-rumah penduduk kaki gunung. Kami
tak berlama-lama. Membayar retribusi dengan fasilitas peta dan tempat leha-leha
lalu berangkat. Menuju senja.
Pukul lima sore lewat. Langit
masih terang. Menginjak anak-anak tangga di awal perjalanan dan di belakang
punggung kami telah tergelar lanskap
pemandangan rumah-rumah penduduk kaki gunung yang memadat. Seperti berumpun
sekaligus tersebar. Dikelilingi pegunungan dieng seperti teriosolasi. Isolasi
yang indah dan menyejukkan. Pendar matahari berseling dengan awan membuat mata
mengerjap. Menjelang senja.
rumah penduduk |
Stop tengok belakang. Di depan
ada pemandangan luar biasa. Perbukitan dengan kebun-kebun sayur milik warga
yang tersusun rapi. Jalan setapak berbatu menjadi akses bagi petani untuk menaikkan
pupuk atau membawa hasil panen dengan kendaraan bermesin. Menjadi akses pula
bagi kami menuju Pos 1, Sikut Dewo. Setengah enam lewat. Dan langit masih
cerah. Masih menjelang senja.
menjelang senja |
pos 1 |
Belok kiri setelah plang Pos 1,
memasuki area tanah. Kami menyaru dengan kebun sayur. Mengamati bayangan
sendiri yang jatuh tetap ke kebun sayur. Kurang dari setengah jam kami pun
sampai di Pos 2, Canggal Walangan. Jam enam kurang sedikit. Hampir senja.
bayangan kami |
pos 2 |
Bukit tak lagi sehijau saat
berangkat tadi. Menggelap. Warna langit berubah. Senja perlahan lahir. Biru
langit menjadi lebih pekat. Semburat orange memerah. Awan berarak mencoba
menutupi megahnya langit senja itu. Malu-malu. Kami mencoba pergi ke tempat
yang lebih tinggi untuk menangkap sedikit saja semburat senja dari sela pepohonan
yang mulai merapat seperti barisan tentara penjaga. Cekrek. Senja.
senja |
Gelap. Headlamp dinyalakan. Tak
lama lagi, kata Adhi. Ah, toh Adhi selalu berkata begitu tiap kali kami mendaki
bersama. Dan artinya bisa bervariasi. Bisa bermakna satu jam, setelah pohon
cantigi yang ke-berapa puluh, atau setelah memanjat tebing batu. Pokoknya
menyesuaikan saja deh. Jangan terlalu percaya dengan ucapan tak-lama-lagi. Eh
tapi beneran. Tiba-tiba kami sampai di puncak. Entahlah jam berapa. Tujuh
kurasa. Langit sudah gelap. Senja sudah lewat.
Seperti prediksi, tak ramai
layaknya weekend. Ini sebabnya, saya membuat rencana ini di tengah pekan. Saat
orang-orang kebanyakan sibuk-sibuknya di kantor, saya kelayapan. Saat orang
liburan, saya selonjoran di rumah. Dingin menusuk-nusuk seperti memori buruk
*halah.apalah ini.analogi semena-mena*. Adhi memilih lokasi. Bertiga yang lain
menyetujui. Bergegas membongkar tenda kuning baru milik Adhi. Bekerja sama
membangun tenda. Melawan dingin yang menusuk-nusuk nyeri. Berusaha seimbang
dengan angin yang menderu-deru. Hap-hap. Tenda pun berdiri dengan gagah.
Buru-buru kami memasukkan semua tas dan diri kami masing-masing. Terlalu
menyiksa untuk berada di luar lama-lama. Menjelang musim kemarau. Langit sudah
gelap. Kerlip lampu jauh di bawah sana menandakan kehidupan. Bulan sebentar
lagi muncul. Senja sudah jauh.
Masih terlalu awal untuk disebut
malam. Kami menyalakan kompor gas portable, menjerang air, membuat minuman
hangat, memasak, mengeluarkan cemilan, dan kartu keramat. UNO. Menghangatkan
diri dan hati. Kemudian sesuatu yang besar dan berwarna merah menyembul
terlihat dari balik pintu tenda yang tidak tertutup. Bulan penuh. Berwarna
merah. Benar-benar merah. Melintas ingatan pada beberapa hari yang lalu saat
menatap gerhana bulan secara langsung. Betapa yang penuh bisa menjadi gelap
total. Cekrek. Cekrek. Kamera tidak memadai, Kapten. Oke, pasrah saja. Merekam
lewat mata. Menyempurnakan senja.
itu bulan, ya |
9 April 2015
Selamat pagi, dari puncak Gunung
Prau.
Selamat ulang tahun, Fitria.
Pagi menjelang. Matahari belum
datang. Semburatnya sudah. Mewarnai langit di sela gunung-gunung yang
berjajar-jajar. Merapi, Merbabu, Sindoro, Sumbing, dan sederet pegunungan
Dieng. Ah, bukankah itu Lawu? Astaga. Ini benar-benar luar biasa. Sempurna.
Biru beradu dengan kuning orange
dan merah. Ah silakan saja sebut warnanya. Ini terlalu indah untuk digambarkan
dengan kata-kata. Dingin masih menggigit. Lampu kotadi bawah sana belum padam
seluruhnya. Cekrek. Cekrek. Takut kehilangan momen. Momen yang sebanding dengan
senja.
Kami mendaki bukit tetangga.
Mencoba menangkap sisi lain. Pukul enam lewat satu atau dua menit. Matahari
malu-malu terbit, menghangat. Mulai menjatuhkan
bayangan. Bulan penuh masih nampak. Perlahan tapi pasti bergeser. Mempersilakan
partner menggantikan. Sungguh Dia sebaik-baik Perencana. Bunga daisy merekah
anggun menyisakan tetes embun di ujung daun.
Puas menatapi sekumpulan bunga
daisy yang tumbuh liar, mandi cahaya matari pagi dan tentu saja pepotoan, kami
kembali ke tenda. Mengisi agenda pagi. Memasak. Tapi sebelumnya, karena hari
ini hari ulang tahun Fitria, saya telah dengan sengaja membawa kado, juga kado
titipan dari teman kami yang lain, teman kesayangan. Spesial bukan, ulang tahun
dengan kado lanskap dari puncak Gunung Prau. Selamat berbahagia, Fit :D.
bunga daisy |
Beberapa kali bersama, membuat
kami terbiasa. Adhi adalah penentu menu. Mba Nurul penjaga nutrisi. Saya sama
Fitria mah apa. Bantu sana sini saja. Icip sana sini :))). Penggembira ketika
Adhi keukeuh membuang batang brokoli dan Mba Nurul berkeras mempertahankannya.
Seru sekali. Pukul delapan lewat lima belas menit.
“ Kalsiumnya banyak,” kata Mba
Nurul mencoba memberi pemahaman nutrisi yang benar.
“ Tapi nggak enak,” Adhi
berkeras.
“ Ya udah, nanti yang makan
batangnya Mba Nurul aja,” Mba Nurul mencoba mengalah tapi tetap pada pendirian.
“ Oke.”
Pertunjukan selesai. Masak
dilanjut. Penghuni tenda tetangga kadang lewat dan bahkan berkunjung, penasaran dengan yang kami lakukan. Salam
sapa obrol dan bahkan saling meledek pun mengalir begitu saja, hangat. Gunung,
masih selalu begitu. Menawarkan keakraban yang sudah mulai mahal di perkotaan
padat penduduk. Dan beberapa saat kemudian, makanan pun siap. Saatnya sarapan.
Cekrek. Foto bak keluarga sehat nan gembira dulu sebelum adegan rebutan tempe
goreng dimulai. Terima kasih. Dan bahkan sarapan saja bisa seseru itu bersama
kalian :)
Dengan alasan memberi kesempatan
pada organ-organ pencernaan untuk bekerja, kami mengizinkan tubuh kami
bermalas-malasan di tenda. Mengistirahatkan tungkai, otak, dan hati dari segala
pelik. Menyenandungkan musik kebebasan. Menyeimbangkan diri dengan alam.
Mengisi ulang energi dan semangat.
Pukul sepuluh lewat ketika kami
mulai memberesi peralatan. Perlahan carrier mulai gembul terisi lagi. Dan
pelataran bekas tenda kami berdiri pun bersih. Ah, tenda tetangga pun mulai
berkemas. Obrol sana sini. Bertemu pula dengan tiga orang yang tidak lagi muda
dan tidak membawa carrier atau apapun yang menunjukkan mereka hendak camping
atau mendaki. Hanya seperti jalan-jalan santai di gunung. Bapak-bapak ini
rupanya sedang kangen gunung. Kurasa mereka pro di jamannya. Kami pun sepakat
untuk turun gunung bersama. Menanti mereka selesai packing kemudian foto
bersama. Lucu ketika menyadari salah satu anggota tenda tetangga memakai cincin
yang sama persis dengan milik Mba Nurul. Mungkin mereka anak yang tertukar,
atau kembar yang terpisah. Ah, sudahlah. Sebaiknya jangan diteruskan. Khawatir
catper ini akan berakhir seperti sinetron Uttaran.
bersama penghuni tenda tetangga |
yang (tidak) tertukar |
Sebelas tiga puluh sekian ketika
kami mulai bergerak turun. Menjelang tengah hari. Bergerak mendekati senja. Bergerak
menangkap senja di tempat lain. Selamat berburu senja, kalian :)
pulang |
PS: Hampir setahun. Dan catper
ini akhirnya rampung dibuat. Saya kembali menulis. Terima kasih untuk yang
setia menanti catatan ini. Juga untuk yang membuat saya harus kembali menulis
dan menyibukkan diri.
![]() |
kami, berfoto dari Puncak Prau |
Rabu, 23 September 2015
me(Nyepi) di Ungaran
Berbahagialah dia yang
makan dari keringatnya sendiri, bersuka karena usahanya sendiri dan maju karena
pengalamannya sendiri.
-Pramoedya Ananta Toer-
***
Ungaran. Gunung
dengan ketinggian 2050 meter di atas permukaan laut ini terletak di daerah Bandungan,
Semarang, Jawa Tengah. Memiliki tiga puncak yakni Gendol, Botak dan Ungaran
dengan Ungaran sebagai puncak tertinggi. Dan ada tiga jalur pula
yang lazim digunakan pendaki untuk mendaki Gunung Ungaran, yakni via Candi
Gedong Songo, Promasan, dan Jimbaran/Sidomukti. Jalur terakhir adalah jalur
yang kami pilih pada pendakian kali ini.
20 Maret 2015
Gunung Ungaran adalah
salah satu dari beberapa gunung yang menjadi titik berat pendakian saya di
tahun ini. Rencana sudah cukup lama, namun baru dikukuhkan pada bulan Maret,
2015. Dipilihlah tanggal 20-21 (Jumat-Sabtu), bertepatan dengan Hari Raya Nyepi
di hari Sabtu sehingga saya tak perlu mengambil jatah cuti hehe. Kemudahan yang
lain ditemukan ketika mengajak beberapa teman dan tak ada hambatan besar *soalnya
biasanya saya sih yang terhambat gara-gara cuti dsb :p*. Menjelang detik
terakhir, akhirnya tim pendakian ini fix diisi oleh 5 orang; Adhi, Bimo,
Fitria, Mba Nurul dan saya sendiri. Karena jam pulang kerja yang berbeda antara
saya dan Fitria dan kendaraan yang
digunakan berbeda (rencana awalnya Fitria dan Bimo naik motor dari
tempat kerja, saya dan Mba Nurul naik bus ke Semarang), kami memutuskan untuk
berangkat secara terpisah. Tapi apapun bisa terjadi di detik terakhir, seperti
saya dan Mba Nurul yang kemudian berganti rencana menggunakan sepeda motor
untuk mencapai basecamp Gunung Ungaran.
Perjalanan
Jogja-Semarang yang lazimnya dapat ditempuh dalam 3 jam kami lalui hingga
hampir 5 jam. Haha. Hanya berbekal petunjuk dari teman dan internet, kami pun berangkat
lewat tengah hari. Cuaca masih menjadi hal yang sulit sekali di prediksi. Belum
lagi keluar dari Jogja tiba-tiba hujan deras turun. Kami buru-buru memakai
mantel hujan dan melanjutkan perjalanan dengan hati-hati. Setengah kuyup ketika
kami mampir di salah satu masjid di
Magelang untuk menunaikan sholat ashar. Hujan nampaknya tak hendak reda dalam
waktu dekat. Kami pun kembali bermantel dan melanjutkan perjalanan. Beberapa
waktu berselang ada kelegaan melihat jalan aspal yang tak basah. Kami tak tergesa
melepas mantel hujan, masih tetap dipakai sekalian di angin-angin supaya kering
dahulu. Namun belum lagi kami melepas mantel, hujan kembali turun seiring
perjalanan. Dan begitu seterusnya beberapa kali terulang. Kami tertawa-tawa
saja.
Hari sudah gelap ketika
kami berbelok ke daerah Bandungan. Mampir ke masjid di tikungan jalan untuk
menunaikan sholat maghrib sekaligus menanyakan arah kepada penduduk sekitar.
Usai sholat dan mendapat sedikit pencerahan petunjuk arah, kami pun melanjutkan
perjalanan. Beberapa kali bertanya pada orang sekitar dan kami tiba pada point
pencarian, Pasar Jimbaran. Entah kami yang tak pandai menangkap petunjuk atau
petunjuk yang tidak jelas atau jalan yang setengah gelap membuat kami bingung,
pada akhirnya kami sempat salah jalan. Tak ingin benar-benar tersesat, kami
kembali bertanya pada penduduk sekitar. Mendapat arahan lagi. Dan ya, untuk
kesekian kalinya kami mengikuti arahan. Semoga kali ini benar. Alhamdulillah
tak berapa jauh, kami melihat sosok Adhi di pinggir jalan. Senang luar biasa.
Hahaha. Adhi sudah duduk-duduk ditemani Fitria dan Bimo *padahal mereka
berangkat belakangan :p*. Tak apalah, kami sih cengar-cengir saja tanpa rasa berdosa. Setelah
berkenalan dengan Bimo dan membeli
kebutuhan air minum, kami beranjak
menuju basecamp Mawar,
Sidomukti. Berada tak jauh dari kawasan wisata Sidomukti, basecamp Mawar dapat dicapai setelah melewati jalanan yang cukup
menanjak dan berkelok-kelok. Konsentrasi dan keterampilan mengemudikan
kendaraan sangat diperlukan meskipun kelap kelip lampu pemandangan malam kota
Semarang sungguh sangat menggoda mata.
Seperti biasa, selalu
ada proses re-packing bila
berangkatnya tidak bersama-sama. Kebanyakan sih proses “nitipin” barang di
keril Adhi yang gede :p. Setelah dirasa cukup *cukup membebani Adhi :p*, kami lantas memulai perjalanan.
Perjalanan ke warung makan maksudnya.
Dan meskipun perjalanan malam tak banyak menghasilkan keringat dan kepayahan
layaknya siang hari, mengisi perut sebagai sumber energi tentu diperlukan juga.
Barulah setelah kenyang dan hangat kami memulai perjalanan yang sesungguhnya
sebelum malas karena kekenyangan melanda. Jam di tanganku menunjukkan hampir pukul sepuluh malam. Bismillah.
Setapak yang kami lalui
masih cukup landai di awal perjalanan. Beberapa kali menemui kenangan eh
genangan air dan tanah becek. Maklum saja, musim penghujan belum lagi berakhir.
Lompat sana, melipir sini. Masih tengah malam ketika gerimis-gerimis kecil
mulai menderas. Kami pun segera mencari lapak sekenanya untuk mendirikan tenda.
Begitu tenda sudah kokoh berdiri, kami segera memasukkan keril-keril dan diri
kami masing-masing. Berlindung dari hujan yang kian menderas. Berhubung kami
masih kenyang dan perjalanan yang kami tempuh belum lama, malam itu kami tidak
memasak. Malam masih panjang. Ngobrol, ngemil, dan bermain UNO sampai bosan
sebelum kami beristirahat.
21 Maret 2015
Kabut tipis menyelimuti
pagi selepas hujan semalam. Namun bukan kabut saja yang menjadi kenang-kenangan
pagi itu, juga genangan air di beberapa tempat termasuk di dalam tenda Bimo.
Geli rasanya melihat Bimo dengan lempengnya menyerok air di dalam tendanya ke
luar. Hihi. Tenda terlalu tipis rupanya dan tak ada lapisan kedua di luarnya,
sehingga air hujan merembes masuk ke dalam tenda.
selamat pagi :) |
It’s a must membuat
minuman hangat di pagi hari saat di gunung. Sambil menikmati pemandangan
sekitar, bersama kawan-kawan terbaik menikmati hangatnya minuman. Sedaapp.
Perkebunan teh dan kopi yang dibungkus kabut tipis menjadi pemandangan indah
kami pagi itu. Berdiri berjajar layaknya boyband sedang pemotretan cover album terbaru, kami menatap jauh perkebunan. Dan cepat saja rasanya minuman kami tandas. Belum genap pukul
delapan pagi, kami memasak bersama untuk sarapan. Sop sayuran dan baso, oseng
jamur dan tempe goreng menjadi menu sarapan kami. Kan sedap sekali itu?
mari memasak |
Kebersamaan ketika
mendaki gunung akan menjadi hal yang sangat mahal, tak sekarang mungkin, kelak.
Dan makan bersama di gunung adalah momen yang mesti dikenangkan dan pasti akan
dirindukan. Bertanya kapan akan terulang. Dan selalu menjadi kisah yang seru
untuk diceritakan. Minimal pada anak-anak sendiri kelak. Ah, apalah saya ini
sudah membayangkan yang kelak. Tapi, ya, ketika menuliskan catatan ini, saya telah rindu pada
momen-momen itu.
Pukul sepuluh kurang kami bergerak meninggalkan tenda. Bimo
tidak, ingin istirahat sebentar lagi katanya. Mungkin lelah menyerok air :p.
Tanah masih basah. Jalan setapak berbatu yang cukup menanjak menjadi track kami menuju puncak. Batu yang
menjadi kawan kami di perjalanan pun kadang tak sembarang batu. Batu-batu besar
seringkali kami jumpai. Mesti sedikit memanjat untuk melaluinya. Beruntung di
awal-awal perjalanan cabang-cabang pohon yang rimbun menaungi kami dari panas
matahari. Kami tak tergesa berjalan. Bimo akan menyusul. Berhenti memberi jalan
bila ada rombongan lain akan turun, beristirahat bila lelah berjalan, dan
berfoto bila ada spot bagus. Tak
perlu terburu-buru. Setiap momen adalah seru
bila bersama kalian. Dan satu setengah jam kemudian, kami melihat Bimo telah
menyusul. Kami berjalan bersama menuju titik yang sama, tapi bukan tujuan
utama, puncak Ungaran.
licin |
rimbun |
Bimo sudah menyusul |
Adhi ngeksis dulu pemirsaaa |
Dan akhirnya, pukul dua belas lebih
dua puluh menit kami telah menjejak tanah tertinggi di Gunung Ungaran.
Alhamdulillah. Cukup ramai ketika kami sampai disana. Kami menunggu beberapa
saat hingga giliran kami berfoto dengan papan bertulis ‘PUNCAK GUNUNG UNGARAN’.
Tidak wajib memang. Tapi rasanya tidak afdhol kalau belum berfoto haha. Tak
banyak yang dapat kami lihat dari puncak karena kabut yang tak juga hilang. Dan
meski begitu kami tak kecewa. Kami cukup puas dengan bermain-main sapu terbang
di puncak Gunung Ungaran.
Puncak Ungaran |
![]() |
papan dan sapu terbang |
Kira-kira pukul satu
siang ketika kami beranjak turun dari puncak. Kabut masih dimana-dimana.
Seperti lazimnya, perjalanan turun memakan waktu yang lebih sedikit daripada
ketika mendaki. Tap-tap. Beberapa kali berpapasan dengan rombongan yang akan
naik. Banyak diantaranya masih anak sekolah. Dan bahkan kami juga bertemu
dengan biksu yang ikut mendaki. Kan manusia mesti menyatu dengan alam sekitar?
perjalanan turun |
Setelah sampai di tenda
kami tak langsung berkemas. Memberi kesempatan dulu pada kaki untuk
beristirahat sembari menyiapkan bekal ngemil di jalan. Nutrijel, as always :D.
Sore pun tiba. Saatnya berkemas. Bongkar tenda, packing, bersihin sampah. Sekitar pukul empat sore kami sudah siap
dengan keril di punggung, turun gunung. Melintasi kebun teh juga kebun kopi
yang tidak sempat kami perhatikan saat berangkat karena gelap. Menikmati
detik-detik pergantian terang ke gelap hari bersama kawan dari tempat tinggi.
Semacam obat.
team: Bimo-Fitria-Kiki-Nurul-Adhi |
Sudah benar-benar gelap
ketika kami sampai kembali di basecamp
Mawar. Ramai. Sepertinya banyak yang baru datang . Mesti mengantri untuk
membersihkan diri. Padahal kamar mandi tersedia beberapa. Selesai bersih-bersih
dan sholat, kami re-packing lagi sebelum pulang. Kembali melewati kelokan dan
turunan ekstrim *kemarin tanjakan* untuk sampai di jalan raya. Kami sepakat
untuk mengisi perut sebagai bekal energi pulang ke rumah.
Lewat jam delapan malam
kami mesti bersiap dan fokus pada perjalanan pulang. Berpisah dengan Adhi yang
pulang ke Wonosobo. Saya menggantikan Mba Nurul mengemudikan motor. Motor yang
istimewa karena lampu depannya mati. Jadilah headlamp dipasangkan di plat nomor depan sebagai pengganti lampu.
Haha. Seru sekali. Melintasi jalan alternatif penghubung antar kota membuat
kami sering sekali mesti berpapasan atau selip menyelip dengan truk dan bus.
Perasaan was-was tak urung hinggap juga. Dan beberapa waktu kemudian, headlamp nampaknya kehabisan energi.
Sinarnya mulai redup, bahkan beberapa kali tak bersinar sama sekali. Mencari
saat yang cukup baik untuk pergantian headlamp.
Dan saat berada di lampu merah, saya mengganti headlamp Mba Nurul yang mulai redup dengan headlamp milik saya. Bismillah jalan lagi.
Masih berada di Magelang
ketika hujan turun. Mula-mula kami abai saja. Namun akhirnya menepi berteduh
juga ketika sudah mulai deras. Menanti hingga hujan mereda untuk meneruskan
perjalanan. Dan bahagia itu ketika motor yang kami kemudikan sudah memasuki
area Jogjakarta. Dan tepat pukul sebelas malam, saya dan Mba Nurul masuk kamar
kos Mba Nurul. Rasanyaaaa...penat sekali. Merebahkan badan menjadi hal paling
nikmat saat itu. Dan cepat saja kami terlelap. Mengakhiri petualangan di Gunung
Ungaran. Petualangan yang akan selalu dikenang. Dirindukan.
Alhamdulillah. Banyak
syukur kepadaNya. Terima kasih. Terima kasih kalian. Terima kasih semesta..
Langganan:
Postingan (Atom)