Rabu, 13 Februari 2013

yang (mungkin) tak kau tahu



Di luar sedang hujan. Kau masih ingat terakhir kita hujan-hujanan bersama? Aku ingat. Waktu itu kita terburu-buru hendak menonton film ‘kosong’ itu :D. Aku terlambat datang. Kau lari-lari dari laundry dekat kosmu. Padahal seharusnya aku mengantarmu ke laundry. Maaf ya :). Tapi beruntung kita tidak terlambat. Kau tahu? Aku rindu nonton bareng kamu.

Entah kenapa hujan sore ini mengantarkan banyak sekali memori tentangmu. Masih ingatkah kau ketika kita menertawakan kata tentatif dalam rapat? Tentang tuduhan lucu mengambil gambar di internet atas jus yang susah payah kita buat di rumahku? Atau tentang mengaktifkan GPRS di Sunmor bareng Diana? :)) Kau tahu? Aku merindukan saat bersamamu.

Aku selalu suka melihatmu tertawa. Rasanya seperti mendapat es krim gratis tiba-tiba. Atau mungkin seperti menemukan sepatu yang ukurannya pas dengan kakiku setelah lelah berkeliling. 37 bling-bling bok :p. Aku suka melihatmu tergelak saat aku menirukan adegan tusuk pisau atau membahas celana Ricini dari film Serigala Terakhir. Ada kegembiraan yang menular atau semacam kelegaan tersamar ketika melihatmu tertawa. Kau tahu? Aku merindukan tawamu.

Aku senang mendengarmu bercerita. Tentang apa saja. Kau pandai menirukan cara bicara orang lain. Mimik wajahmu juga ikut bercerita. Membuatku seolah mengalami sendiri apa yang kau ceritakan. Tapi bagian terbaiknya adalah saat kau mendengarkan cerita orang lain. Juga ceritaku. Kau benar-benar pendengar yang baik. Salah satu yang terbaik. Dan aku rindu.

Kau bukan orang yang rajin mengingatku agar jangan lupa makan atau semacamnya. Kau memiliki caramu sendiri untuk menunjukkan bahwa kau peduli. Bahwa kau percaya aku akan bisa mengatasi apa saja. Dan itu sangat membantuku. Dengan caramu. Terima kasih.

Dan aku yakin kau tak tahu soal yang satu ini. Aku senang kau memajang foto kita di kamarmu. Berderet dengan foto sahabat-sahabatmu. Melegakan sekali ketika melihatnya. Terima kasih ya :)

Iya, aku tahu. Terlalu banyak kata rindu disini. Kau pasti bosan membacanya. Tapi aku tak peduli. Bahkan kalau kau memberi nilai 1,5 untuk tulisanku kali ini, aku tak peduli. Sebab aku memang rindu. Sedikit mengerikan ya? Semacam mewakili Bagendit untuk mengatakan semua hal itu padamu :p. Tapi tak apa kan? Yang penting aku tak pakai metik abu-abu. Dan aku tak pernah pakai hotpants saat naik gunung :p. Sebab aku percaya legging itu bermakna celana ketat :))

Hey, maafin aku untuk segalanya. Untuk membuatmu begitu kesal. Untuk ke-tidakpeka-anku.Untuk membuatmu merasa sudah kehilanganku. Aku minta maaf. Sungguh.

Aku merindukan kita yang dahulu. Kau tahu? Mengenalmu adalah salah satu yang terbaik dalam hidupku.

Selamat ulang tahun Fan :)


Jumat, 01 Februari 2013

kau bukan - bukan aku

kau bukan lelakiku
jadi berhentilah bersikap begitu
pun aku bukan perempuanmu
jadi berhentilah menganggapku seperti itu

ucapmu tak lantas selalu kubenarkan
sebab memang tak selalu benar
janjimu tak musti aku yakini
sebab bukan tak mungkin kau ingkari

kau bukan lelakiku
jadi berhentilah bersikap begitu
pun aku bukan perempuanmu
jadi berhentilah menganggapku seperti itu

berlarilah di atas rel keretamu
dan aku di atas rel keretaku
bila rel sempat mempertemukan kau dan aku, anggaplah saja itu sapaan sambil lalu

sebab aku tak harus membenarkan ucapmu
sebab aku tak musti mengimani janjimu
sebab aku bukan perempuanmu
jadi berhentilah menganggapku seperti itu.

jam rasa-rasa

aku melirik arah jam tiga
sepasang kekasih berpelukan dan tertawa
sibuk mengumbar janji setia
ah! dasar pecinta!

aku melihat arah jam dua belas
lelaki menampar perempuan hingga berbekas
sibuk mencaci, membenci, tanpa berbalas
ah! dasar tak berbelas!

kemudian aku menengok arah jam sembilan
seorang gadis terdiam di sudut taman ujung jalan
sibuk tertawan rindu sang pemuda tampan
ah! dasar perawan!

oh Ibu, lalu aku melihat pada diriku
ada hati yang sibuk merekam beragam rasa semu
kadang berujung ngilu
tak jarang berakhir rindu

oh Ibu, aku macam tak belajar saja darimu
rasa-rasa masih berhasil membuatku tertipu
menjebakku sibuk berebut dengan waktu
ah! dasar dungu!
kataku.


Selasa, 15 Januari 2013

sangkaku


sangkaku akan berani
menatap punggungmu menjauh pergi
lalu membiarkan pecah tangis dan caci
kemudian tak peduli

sangkaku akan berani
tanpamu berjalan sendiri
timpang selayak tak berkaki
teramputasi

sangkaku akan berani
membakar puisi cintamu dalam api
menyisakan abu sepi
lalu sendiri

sangkaku akan berani
dan benarlah apa yang disangkakan hati
kemudian aku menari
lalu mati.

Rabu, 09 Januari 2013

menelisik asik kisah pewayangan di Gua Kiskendo dan menyusuri lika liku jalanan Waduk Sermo




Alkisah pada jaman dahulu hiduplah sepasang kakak beradik bernama Mahesasura dan Lembusura. Mereka adalah pemimpin para binatang buas. Mereka hidup di sebuah gua bernama Kiskendo. Tubuh mereka besar, berbadan manusia namun berkepala hewan. Mereka sakti sekali, hingga bila salah satunya mati maka bisa hidup kembali bila dilangkahi oleh saudaranya.

Satu hari Mahesasura bermimpi menikah dengan dewi tercantik di kahyangan yakni Dewi Tara. Dan saat terbangun, Mahesasura menyampaikan mimpinya pada sang adik, Lembusura. Mahesasura hendak mewujudkan mimpinya menjadi kenyataan. Maka berangkatlah keduanya menuju kahyangan untuk melamar Dewi Tara. Tapi apa mau dikata, lamaran Mahesasura ditolak oleh para dewa. Menjadi marahlah Mahesasura, merasa terhina. Mereka pun mengamuk di kahyangan dan berhasil menculik Dewi Tara ke bumi.

Para dewa pun kemudian bermusyawarah agar bisa membawa Dewi Tara kembali ke kahyangan dan membinasakan Mahesasura juga adiknya Lembusura. Maka diputuskanlah mereka akan menggunakan kekuatan kedewaan yang disebut Aji Pancasona. Namun kekuatan itu hanya bisa dipergunakan oleh mereka yang putih hatinya. Maka dipilihlah seorang pertapa suci putra Resi Gotama bernama Subali. Subali pun menyanggupi permintaan para dewa. Bersama adiknya Sugriwa, Subali pun berangkat menuju gua tempat tinggal Mahesasura dan Lembusura.

Sampailah Subali dan Sugriwa di mulut gua. Subali meminta adiknya untuk berjaga di depan gua. Tak lama kemudian keluarlah Subali bersama Dewi Tara. Subali pun hendak masuk lagi ke dalam gua untuk membinasakan Mahesasura  dan Lembusura. Namun sebelum masuk, Subali berpesan kepada Sugriwa.
“ Adikku, tolong jaga Dewi Tara disini. Nanti, bila darah yang keluar dari Gua Kiskendo ini berwarna merah, maka berarti akulah yang memenangkan pertarungan. Namun bila darah yang keluar berwarna putih, maka berarti akulah yang tewas. Bila hal kedua yang terjadi, tutuplah mulut gua ini dengan batu besar dan kembalilah ke kahyangan.”

Subali pun bertarung dengan Mahesasura dan Lembusura. Namun ketika Subali sudah membinasakan salah satunya, mereka dapat hidup kembali setelah dilangkahi oleh saudaranya. Maka Subali pun berfikir untuk membinasakan keduanya bersamaan. Subali kemudian mengubah tubuhnya menjadi besar. Setelah itu Subali memegang kepala Mahesasura dan Lembusura dan saling membenturkannya. Binasalah keduanya secara bersamaan. Dan mengalirlah darah yang bercampur otak berwarna merah dan putih.

Melihat hal itu, Sugriwa mengira kakaknya meninggal bersamaan dengan dua raksasa itu. Maka Sugriwa pun kemudian menutup mulut gua dengan batu besar dan kembali ke kahyangan bersama Dewi Tara. Kedatangan mereka disambut gembira oleh para dewa. Setelah mendengar cerita bahwa Subali meninggal, maka para dewa pun menikahkan adiknya yakni Sugriwa dengan Dewi Tara.

Sementara itu Subali yang berhasil memenangkan pertarungan dan hendak keluar dari gua melihat pintu gua ditutup dengan batu besar. Subali merasa dikhianati oleh adiknya. Menjadi marahlah Subali dan menghancurkan batu itu lalu serta merta menuju kahyangan. Sesampainya di kahyangan, Subali melihat adiknya bersanding dengan Dewi Tara di pelaminan. Bertambah marahlah Subali dan langsung menghajar Sugriwa. Sugriwa tak diberi kesempatan untuk menjelaskan. Dan pertarungan sengit antara kakak beradik itu pun tak terelakkan hingga datanglah ayah mereka, Resi Gotama. Setelah mendengar pengakuan dari Sugriwa, menjadi marahlah Resi Gotama kepada Subali. Menurut Resi Gotama tak ada manusia yang berdarah putih. Maka atas ketakaburannya, Subali pun dikutuk oleh ayahnya sendiri. Sedangkan Sugriwa mendapatkan restu untuk menikah dengan Dewi Tara. Dan setelah menikah, Sugriwa membangun sebuah kerajaan bernama Pancawati di Gua Kiskendo.

***

Kurang lebih begitulah kisah yang berkembang populer tentang Gua Kiskendo, sebuah gua yang berada di Pegunungan Menoreh tepatnya di Desa Jatimulyo, Kecamatan Girimulyo, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta. Berada di ketinggian 1200 mdpl, gua ini cukup populer sebagai obyek wisata dan masih dianggap tempat keramat oleh masyarakat sekitarnya.

Gua inilah yang kami pilih sebagai destinasi untuk mengisi liburan Natal [25 Desember 2012] lalu. Hari masih pagi ketika Kasih, salah seorang sahabatku sejak SMP, datang ke rumahku. Aku belum lagi mandi dan masih asyik bergelung di kasur sambil menonton acara televisi Home Alone. Setelah sehari yang lalu batal kemana-mana disebabkan oleh ketidakjelasan destinasi dan kemacetan parah yang melanda Jogja, hari itu kami memutuskan untuk plesir de Kulon Progo.

Pukul 10.30 kami bergerak meninggalkan rumah. Berbekal info di internet dan bertanya pada kawan yang sudah pernah kesana, kami menyusuri jalan menuju Gua Kiskendo. Tidak terlalu sulit untuk mencapai gua ini. Cukup mencari Jalan Wates di peta, lalu teruslah ke arah barat hingga bertemu pertigaan terminal Ngeplang. Dari pertigaan itu, beloklah ke kanan atau ke arah utara. Susuri saja jalan utama, ikuti papan petunjuk yang ada. Dan voila! Sampailah kami di Gua Kiskendo. Estimasi kami sempurna meleset. Kami memperkirakan butuh waktu 2 jam untuk mencapai Gua Kiskendo. Tapi ternyata cukup 1 jam saja waktu yang dibutuhkan dari rumahku yang berada di sekitar kawasan Godean.

menuju Gua Kiskendo
Setelah memarkir motor, kami pun membeli tiket masuk ke dalam gua. Cukup membayar 2000 rupiah saja dan kami sudah bebas menikmati obyek wisata Gua Kiskendo. Terdapat sebuah relief besar di dekat pintu masuk Gua Kiskendo. Konon relief ini adalah penggambaran kisah pewayangan tentang sejarah Gua Kiskendo.

relief di dekat pintu masuk Gua Kiskendo
Gua Kiskendo adalah gua di bawah tanah, maka sebelum masuk kami pun menyewa sebuah headlamp sebagai sumber penerangan saat berada di dalam gua. Melewati gerbang pintu masuk gua, kami langsung dihadapkan pada anak-anak tangga yang mengarah ke bawah. Di anak tangga yang terbawah sempurnalah di depan sana lorong kegelapan *tsaahh*. 

mulut gua dilihat dari atas
mulut gua dilihat dari bawah
Terdapat semacam path di Gua Kiskendo. Tentu saja ini dibuat untuk memudahkan para wisatawan selama berkeliling di gua. Berbekal headlamp kami pun menyusuri gua. Mengamati dinding dan bagian atas gua. Sedang di bawah kami ada semacam sungai yang airnya sangat jernih.


ngeri juga liat batu di tikungan ini :p
sungai dalam gua
Semelong, jalan tempat keluarnya Subali setelah bertempur
Sekandang, diyakini sebagai tempat bertempurnya Subali dan Mahesasura-Lembusura
Kasih berfoto bersama 'lidah Mahesasura dan Lembusura'
salah satu lorong di Gua Kiskendo
Dirasa cukup mengelilingi seluruh gua, kami pun beranjak keluar. Berkeliling di area di luar gua. Obyek wisata Gua Kiskendo tak hanya menyuguhkan gua sebagai daya tarik wisatawan, namun terdapat pula camping ground juga gardu pandang. Maka kami pun ‘blusukan’ ke semua sudutnya :D

Hari belum lagi sore. Tanggung rasanya kalau langsung pulang *alesan*. Jadi diputuskanlah kami sekalian mengunjungi obyek wisata Waduk Sermo. Mumpung tak begitu jauh, pikir kami. Tapi ternyataaaaa...menuju Waduk Sermo dari Gua Kiskendo itu bikin jantung deg-degan dan badan pegal. Jalanan yang berkelok dan naik turun membuat kami harus selalu fokus. Padahal pemandangan di kanan-kiri kami begitu menggoda.

Setelah sempat salah jalan dan hampir tersesat :p, tibalah kami akhirnya di satu-satunya waduk di Jogjakarta, Waduk Sermo. Waduk yang dibuat dengan membendung Kali Ngrancah ini selain dipergunakan sebagai penyangga air untuk  pertanian di sekitar area waduk juga dimanfaatkan sebagai obyek wisata yang cukup menarik. Para wisatawan bisa memancing, berkeliling dengan kapal kecil, ataupun sekedar duduk-duduk menikmati keindahan Waduk Sermo dengan latar belakang perbukitan menoreh. Sejuk sekali memandangnya kawan :D. Tapi aku pribadi lebih menyukai memandang Waduk Sermo dari ketinggian. Lebih keren! :D

Waduk Sermo dilihat dari atas
Waduk Sermo
hijauuuu :D
Jam ditanganku menunjukkan pukul 15.30. Baterai kamera sudah diujung tanduk kematian. Waktunya bagi kami untuk pulang. Mengakhiri perjalanan yang tanpa rencana untuk hari ini. Dan semoga esok akan ada perjalanan-perjalanan seru lain untuk dibagi bersama sahabat :)

Selamat malam.

3676 mdpl (5~habis): 15 menit saja [Mahameru]


you don't need to climb a mountain to know that it's high
[ Paulo Coelho ]



SUMMIT ATTACK!

Tibalah saatnya kami berada di batas vegetasi Gunung Semeru. Dimana kini kami harus terus menatap pasir dan batu. Tak ada pohon dan rumput apalagi danau. Dan perjuangan yang sesungguhnya pun baru akan dimulai.

Tak pernah mudah melewati track yang berpasir dan berbatu seperti itu. Naik 3 langkah, turun 2 langkah. Melorot.  Apalagi kami dilarang menginjak batu. Kami pun benar-benar memilih dan memilah apa yang akan kami injak. Dan harus selalu waspada bila ada yang meneriakkan batu/rock dari atas. Sudah menjadi semacam aturan tak tertulis di Semeru bila ada yang menginjak batu kemudian batu itu menggelinding ke bawah maka dia wajib memperingatkan yang berada di bawah dengan berteriak batu/rock. Yang melihat dan mendengarnya pun demikian adanya, meneruskan memperingatkan ke bawah sambil melindungi diri.

Hari masih gelap. Kami bertujuh bersama ratusan pendaki berjalan dan bahkan merangkak di atas pasir Semeru. Merangkak? Ya, kami merangkak layaknya Spiderman yang sedang berjalan menempel di dinding bangunan. Sebab ternyata dengan merangkak ternyata lebih cepat dan lebih mudah daripada berjalan.

Teza dan Teh Nadia merangkak
Kami merangkak dan terus merangkak. Hingga terdengar suara teriakan bersahutan ‘batu’. Aku pun melongok ke atas, tak melihat apa pun tapi tetap berusaha melindungi diri dengan melompat ke arah kanan dan menutupi kepala dengan kedua tangan. Teza sepertinya sempat melihat si batu menggelinding itu. Lumayan besar katanya. Huffff.... Setelah deg-degannya selesai kami pun lanjut merangkak. Mendengar kabar dari atas bahwa ada yang terluka terkena batu dan baru di perban. Di perban? Berarti lukanya cukup besar. Entah benar atau tidaknya namun hal itu cukup membuatku merinding mendengarnya. Ya Allah, lindungi kami semua....

Tidak berapa lama, semburat sang fajar mulai nampak. Cahaya mulai menerangi sehingga kami bisa melihat pasir dan batu dengan jelas. Headlamp pun dimatikan. Kami meyakini waktu Subuh sudah tiba, maka kami sepakat untuk sholat terlebih dahulu sebelum meneruskan pendakian. Kami memilih tempat yang berada di pinggir, agar tak mengganggu pendaki yang lain. Dengan menggunakan pasir Semeru kami bertayamum. Duduk di pasir, kami pun sholat Subuh. Istimewa sekali sholat subuh kala itu. Berada di ketinggian diatas 3000 mdpl, duduk di atas gunung pasir beratapkan langit, merasakan desau angin fajar, syahdu sekali.


sesaat setelah sholat subuh
Selesai sholat kami meneruskan perjuangan. Diperkirakan kami berada di ketinggian 3300 hingga 3400 mdpl ketika kami beristirahat lagi. Tiba-tiba saja Kang Arai melepas kupluknya dan berkata, “ Kiki, akang sampai disini saja”. Sontak aku kaget. Puncak tak lama lagi. Tapi Kang Arai memilih untuk berhenti di ketinggian ini. Aku tak paham benar apa alasan sebenarnya Kang Arai, tapi aku yakin dia memiliki pertimbangannya sendiri. Kang Dian sempat berucap tak muncak satu, lainnya juga enggak. Tapi Kang Arai menolak mentah-mentah. Katanya kami harus tetap melanjutkan perjuangan sampai puncak. Cukup lama kami berdebat tentang hal itu. Hingga akhirnya diputuskan aku, Teza, Teh Nadia dan Kang Dian tetap naik sedangkan Kang Arai akan ditemani Kang Andi turun ke Kalimati. Karena logistik dan P3K dibawa oleh Mas David yang sudah berada di atas kami, aku pun membekali Kang Arai seada-adanya dengan betadine juga madu. Sedih sekali rasanya waktu itu. Sudah hampir mau menangis malah. Kami sudah berjuang bersama-sama sejak dari bawah. Dan karena formasi yang sudah ditetapkan yakni Kang Arai yang berjalan di depanku, maka Kang Arai lah yang selama perjalanan banyak membantuku. Berat sekali harus berpisah dengan Kang Arai kala itu.

moment sebelum berpisah :'(
Tapi perjuangan kami terus dilanjutkan. Tak berapa jauh, kami melihat sosok Mas David. Dia pun menanyakan keberadaan Kang Andi dan Kang Arai. Kami menceritakan kejadian beberapa menit yang lalu. Dan disinilah terjadi perundingan kembali. Mas David bilang,” Kalo mau ke puncak, aku temenin. Tapi jalannya harus ngejoss, jam 7 sudah harus sampai puncak. Gimana?”. Aku melihat jam tangan. Hah? jam 6 kurang. Apa iya dalam waktu 1 jam bisa sampai puncak. Aku mendongak. Melihat gunung pasir yang entah puncaknya dimana. Tapi aku optimis saja. Teringat kata Kang Arai ketika mendapat kabar jalur pendakian Semeru ditutup. Yang penting usaha maksimal dulu. Berjalan dulu. Mau jam 7 sampai atau tidak yang penting usaha dulu. Aku pun menyanggupi syarat dari Mas David. Teza, Teh Nadia dan Kang Dian gamang. Aku tahu benar Teza sebenarnya ingin, ingin sekali berada di Mahameru. Aku pun yakin sebenarnya dia masih sanggup. Tapi angka ‘7’ membuatnya ragu. Khawatir tidak bisa sampai tepat waktu, maka Teza pun memilih untuk tidak meneruskan pendakian. Pun begitu adanya dengan Teh Nadia dan Kang Dian. Ah, berat sekali rasanya tanpa mereka.

Akhirnya aku dan Mas David pun berjalan. Setengah jam selanjutnya aku masih memiliki energi yang cukup untuk berjalan dan merangkak layaknya sebelumnya. Setengah jam selanjutnya aku sudah mulai lelah, benar-benar lelah. Batas waktu yang ditentukan dan minimnya waktu istirahat yang ditoleransi Mas David membuatku tak bisa bersantai-santai lama. Jalan dan terus berjalan. Merangkak dan terus merangkak. Dan 15 menit terakhir adalah waktu yang benar-benar menguras energi fisik, otak juga hati. Terhitung 6 jam lebih kami berjalan sejak dari Kalimati tengah malam tadi, jelas saja lelah itu ada dalam kami. Namun begitu, otakku terus melogika bahwa banyak sekali orang bisa sampai sana, Mahameru, maka aku pun akan bisa bila diusahakan. Dan dalam keadaan demikian, hati manusia terkadang tak lantas memberi dukungan kepada salah satunya, fisik atau otak. Maka di 15 menit terakhir itu frustasi dan putus asa menjadi tipis sekali batasnya.

Para pendaki yang kami jumpai berkata puncak sebentar lagi. Sudah mau pingsan saja rasanya. Tapi toh aku terseok-seok masih berjalan. Dengan sisa-sisa energi yang kumiliki dibantu dengan sedikit paksaan dari Mas David, sampailah aku di batu terakhir dimana dibaliknya adalah puncak Semeru, Mahameru.

Allahuakbar! Subhanallah! Aku pun langsung menjatuhkan diri. Tergeletak di tanah. Minim energi. Saat itulah Mas David berkata, “ Jam 7:30 kita turun”. Aku melihat jam tanganku. 7:15. What?? Pingsan aja deh pengennya -_-

Aku tahu, sepenuhnya tahu, tujuan Mas David tak buruk. Dia tidak mau kami membuat kawan-kawan kami yang dibawah menunggu terlalu lama. Iya, aku paham.

15 menit yang berharga tak mau kusiakan. Aku pun beranjak dari tanah. Masih terseok mengumpulkan ceceran energi yang tersisa. Mengabadikan yang ada disana, di 3676 mdpl, tanah tertinggi Pulau Jawa.

puncak Semeru, Mahameru

in memoriam Soe Hok Gie & Idhan Lubis
07:30 tepat aku menghentikan semua aktifitas memotretku. Aku melihat sekeliling mencari Mas David. Banyaknya orang yang berada di puncak membuatku sulit menemukannya. Akhirnya kuputuskan untuk menunggu Mas David di ujung jalan turun. Beberapa menit kemudian datanglah Mas David. Ketiduran katanya heuuu -_-. Kami duduk sejenak melihat apa yang terlihat dari atas. Kalau kukatakan sejenak bersama Mas David, itu sejenak yang sesungguhnya. Sebab tentu saja si tangguh itu takkan berlama-lama bersantai. Dan kemudian, kami pun turun. Selamat tinggal Mahameru. Sampai bertemu lagi di hari ketika tak hanya 15 menit yang kumiliki, di hari ketika aku bisa berdiri bersama sahabatku. Disini, di 3676 mdpl, Mahameru.