Minggu, 23 Desember 2018

Sehari di Bukittinggi


Sudah lama sekali sejak kali terakhir saya menulis di blog. Dua tahun berlalu sejak postingan terakhir. Rasanya agak canggung ketika akan memulai kembali. Semoga setelah dua tahun yang sibuk oleh beberapa urusan yang menjadi prioritas, saya dapat lebih rajin menulis seperti dulu.

***


Adat biaso kito pakai, limbago nan samo dituang, nan elok samo dipakai nan buruak samo dibuang.
Yang baik sama dipakai, yang buruk sama ditinggalkan.
-Anonim

Bukittinggi

Siapa sangka keinginan saya bertahun-tahun yang lalu untuk pergi ke Bukittinggi terwujud tahun ini. Bila belum bisa melihat Big Ben yang asli, bolehlah suatu saat melihat Jam Gadang, pikir saya waktu itu. Dan sekali lagi, Tuhan mewujudkan harapan saya dengan caraNya yang sangat gamblang. Bahkan ketika saya hampir lupa pernah memiliki keinginan itu.

Kamis, 15 November 2018

Perjalanan saya dan suami dimulai dari Pekanbaru, rumah mertua. Butuh waktu kurang lebih 6 jam bermobil untuk sampai di kota Bukittinggi. Dengan rute Bangkinang, Kuok, Payakumbuh dan Jalan Sumatera Barat-Riau kami disuguhi pemandangan sungai besar serta perbukitan yang memanjakan mata. Ah, dan tidak lupa kami pun melewati jalan kelok Sembilan yang terkenal itu. Tak seperti yang tampak di foto-foto lama, Kelok Sembilan saat ini telah dipenuhi oleh pedagang dan beragam spot foto yang katanya sedang kekinian.

Sekitar pukul 16:30 kami pun sampai dengan  selamat di Zaky Guest House, penginapan yang kami pesan secara online . Pemilik penginapan yang bernama Pak Zaky ini sangat baik hati, beliau mengurus sendiri segala hal di penginapannya termasuk memasang sprai baru, mengganti galon hingga mengantar sarapan. Zaky Guest House pun sepertinya sedang melebarkan sayap, terbukti dengan pembangunan bangunan baru untuk menambah jumlah kamar yang dapat disewa. Kami termasuk yang mendapat kamar baru. Bangunan didesain seperti rumah dengan beberapa kamar dengan kamar mandi dalam, satu ruang tengah untuk makan dan menonton televisi serta sebuah dapur untuk digunakan bersama. Sebenarnya Pak Zaky juga menyewakan sepeda motor, hal itu menjadi salah satu pertimbangan kami memilih menginap di Zaky Guest House selain akses mudah ke Jam Gadang dan harga sewa yang bersahabat. Tapi sebelum kedatangan kami, motor Pak Zaky ‘digondol’ oleh pelanggannya sehingga Pak Zaky masih enggan menyewakan motor lagi.

Jalan-jalan kami mulai setelah isya. Agenda kami adalah mencari persewaan motor dan melihat Jam Gadang di malam hari. Menyewa motor di Bukittinggi ternyata sulit sekali. Warga Bukittinggi tidak mudah percaya pada turis lokal karena banyaknya kasus kriminal seperti motor yang dibawa ‘lari’ oleh sang penyewa. Karena tidak berhasil mendapatkan motor untuk disewa, jadilah kami berjalan-jalan saja menuju Jam Gadang. Sayang seribu sayang, Jam Gadang sedang dalam proses renovasi sehingga sekelilingnya diberi pagar dari seng.

Jum’at, 16 November 2018

Selamat pagi, Bukittinggi!
Hari kedua semoga lebih beruntung. Kami mengawali pagi dengan berjalan kaki kembali mencari persewaan motor. Bukannya mendapat motor sewaan, kami justru menemukan gang menuju benteng Fort de Kock. Ah, lupakan soal motor, ayo jalan(-jalan)!


Benteng Fort de Kock


Sepi ketika kami sampai di kawasan Benteng Fort de Kock. Hanya ada satu dua orang pengunjung selain kami berdua. Dengan membayar tiket seharga lima belas ribu rupiah untuk satu orang, kami bisa berkeliling di kawasan Benteng Fort de Kock sekaligus Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan. 

Benteng Fort de Kock menjadi saksi kegigihan pasukan Paderi yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol dalam melawan pasukan Hindia Belanda. Benteng yang berada di puncak Bukit Jirek ini didirikan sekitar tahun 1825 oleh Johan Heinrich Conrad Bauer yang saat itu memimpin salah satu satuan pasukan tentara Hindia-Belanda ke wilayah pedalaman Sumatera Barat. Nama lokasi ini didedikasikan Bauer kepada pejabat Letnan Gubernur Jenderal Hindia-Belanda yang sekaligus Komandan Militer kala itu, Hendrik Merkus Baron de Kock.

Sejarah Perang Paderi (1803–1838) dimulai oleh pertikaian antara Kaum Adat yang masih berpegang adat lama dan Kaum Paderi yang berpegang pada syariat Islam berujung pada masuknya tentara Hindia-Belanda ke dalam konflik tersebut. Pemerintah Hindia-Belanda yang dimintai bantuan oleh Kaum Adat dengan leluasa mendirikan sejumlah benteng di wilayah dataran tinggi Minangkabau untuk mengalahkan Kaum Paderi, di antaranya Fort de Kock di Bukittinggi dan Fort van der Capellen di Batusangkar. Perjanjian kerjasama antara Kaum Adat dan Hindia-Belanda tersebut pada akhirnya berbalik merugikan Kaum Adat sendiri dan menyebabkan runtuhnya Kerajaan Pagaruyung.

Bangunan yang kami kunjungi boleh dikatakan tidak mirip dengan benteng karena memang hampir tidak ada yang tersisa dari bangunan asli benteng yang terletak sekitar 1 km di sebelah utara Jam Gadang ini. Pemandangan yang terlihat hanya sisa-sisa parit yang pernah ada di benteng tersebut. Di atas area benteng ini, kini berdiri sebuah bangunan bercat krem yang dapat digunakan oleh pengunjung untuk melihat pemandangan sekeliling Kota Bukittinggi. Karena ketiadaan wujud dari benteng aslinya, bangunan berbentuk kotak inilah yang sering diabadikan orang dalam foto-foto perjalanan mereka ketika mengunjungi Benteng Fort de Kock. 

Jambatan Limpapeh

Puas mengelilingi area di sekitar Benteng Fort de Kock, kami melanjutkan perjalanan ke Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan. Kedua tempat ini dihubungkan oleh sebuah jembatan yang populer di Bukittinggi, Jambatan (jembatan) Limpapeh.


Jambatan Limpapeh yang menggantung di atas Jalan Ahmad Yani ini memiliki panjang 90 meter. Dengan sign besar berwarna merah bertuliskan ‘Jambatan Limpapeh’, jembatan ini cukup fotogenik sehingga banyak turis yang berfoto dengan latar sign tersebut. Pada bagian tengah jembatan terdapat gardu menyerupai rumah adat Minangkabau berukuran kecil dengan atap gonjong yang khas, hal yang mungkin tidak ditemui di jembatan di daerah lain. Dari atas Jembatan Limpapeh, wisatawan dapat melihat pemandangan kota Bukittinggi yang cukup padat dan khas dengan atap-atap gonjong di beberapa tempat.


Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan

Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan yang dibangun sekitar tahun 1900-an ini merupakan salah satu kebun binatang tertua di Indonesia. Pada mulanya taman ini hanya berupa taman biasa tanpa koleksi binatang, namun berangsur-angsur koleksi binatang pun dimasukkan sehingga pada tahun 1929 resmi menjadi kebun binatang. Wisatawan dapat melihat koleksi binatang yang cukup banyak di taman ini. Bermacam burung, tapir, beruang, harimau, rusa, ular, ikan dan banyak lagi.

Museum Zoologi

Sesuai dengan namanya, taman ini tak hanya berisi koleksi binatang. Di dalamnya dibangun pula Rumah Adat Baanjuang, rumah adat Minangkabau yang menyimpan beraneka ragam koleksi peninggalan budaya dan sejarah masyarakat Minang seperti pakaian adat, perhiasan, peralatan rumah tangga, peralatan pertanian, alat musik serta alat-alat kesenian lainnya.

Rumah Adat Baanjuang

Wisatawan juga dapat menyewa pakaian adat di Rumah Adat Baanjuang ini untuk kemudian berfoto-foto di kawasan wisata. Saya pun penasaran ingin merasakan bagaimana sensasi menggunakan suntiang, hiasan kepala yang dipakai pengantin wanita minang. Dengan biaya sewa dua puluh ribu rupiah saya pun dibantu memakai pakaian pengantin wanita adat minang lengkap dengan suntiangnya untuk kemudian berfoto layaknya pengantin minang.






Jam Gadang

Sudah menjelang waktu sholat jumat ketika kami meninggalkan Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan. Tak berapa jauh berjalan, kami pun menemukan masjid di seberang Pasar Atas, Masjid Raya Bukittinggi. Selepas sholat jumat, kami berkeliling di Pasar Atas. Beli apa? Beli daster bergambar Jam Gadang :)))). Barulah setelah itu kami berjalan menuju Jam Gadang sekedar melihat-lihat dari jauh (karena tak bisa masuk).


Jam Gadang yang merupakan landmark kota Bukittinggi menjadi destinasi favorit pelancong dari berbagai daerah. Nama Gadang berasal dari bahasa Minang yang berarti “besar”, sesuai untuk menggambarkan jam yang berdiameter 80 cm dan ditempatkan di empat sisi menara setinggi 26 meter. Berlokasi di pusat kota Bukittinggi, Jam Gadang dikelilingi oleh Pasar Atas, Pasar Bawah, Plaza Bukittinggi dan Istana Bung Hatta.





Dibangun pada masa penjajahan Belanda, Jam Gadang dimaksudkan sebagai kado dari Ratu Belanda kepada sekretaris kota Bukittinggi, Rook Marker. Bahkan, jam ini didatangkan langsung dari Belanda dan konon katanya mesin jam ini dibuat eksklusif hanya dua saja di dunia yaitu Big Ben di London dan Jam Gadang di Bukittinggi. Hal yang unik dari Jam Gadang ini adalah angka romawi IV yang tertulis IIII. Beragam versi cerita pun beredar di masyarakat terkait hal tersebut. Tidak diketahui dengan pasti kebenarannya.

Tidak banyak yang dapat saya ceritakan tentang ruang-ruang yang ada di dalam menara Jam Gadang karena proses renovasi yang tengah berlangsung. Semoga ada kesempatan lain untuk berkunjung kembali dan naik ke menara Jam Gadang.

Lobang Jepang

Lobang (goa) Jepang menjadi salah satu destinasi yang menarik untuk dikunjungi di kawasan Taman Panorama Bukittinggi selain Jam Gadang dan Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan. Masih berada satu kawasan dengan Jam Gadang, lokasi ini bisa ditempuh dengan 15 menit berjalan kaki atau sekitar 5 menit bermobil. Lobang Jepang merupakan sebuah terowongan perlindungan yang dibangun pada masa pendudukan Jepang untuk kepentingan pertahanan. Banyak tenaga kerja paksa atau romusha dari pulau Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi yang dikerahkan untuk menggali terowongan ini. Kenapa tidak ada pekerja dari Bukittinggi? Konon ini merupakan strategi Jepang untuk menjaga kerahasiaan proyek pembangunan.

Pintu masuk Lobang Jepang

Wisatawan dapat meminta jasa pemandu untuk menemani menyusuri Lobang Jepang. Kami berdua sih masuk saja tanpa pemandu :))) . Perlu menuruni lebih dari seratus anak tangga untuk sampai di dasar goa. Setelah itu kami disambut lorong-lorong panjang yang remang-remang. Beberapa lampu kuning  dipasang di tiap jarak tertentu di sepanjang goa untuk memandu. Untuk keperluan wisata, lorong Lobang Jepang hanya dibuka sepanjang kurang lebih 1,5 kilometer. Terdapat pembagian ruang-ruang di Lobang Jepang seperti Ruang Amunisi, Pintu Pelarian, Barak Militer, Ruang Rapat, Ruang Makan, Penjara, Dapur, dan Pintu Penyergapan. Kata masbojo, dulu dinding di Lobang Jepang tidak seperti saat kami kunjungi. Sepertinya renovasi masih terus dilakukan  di Lobang Jepang untuk mempercantik kawasan wisata tersebut dan bahkan masih ada pekerja saat kami berkunjung.

Panorama Ngarai Sianok

Masih berada di kawasan Taman Panorama, wisatawan dapat menikmati eloknya pemandangan Ngarai Sianok dari kejauhan. Ngarai Sianok adalah sebuah lembah sempit yang dikelilingi bukit-bukit bertebing curam dengan aliran sungai di tengahnya. Lembah Sianok terbentuk karena proses turunnya sebagian lempengan bumi yang membentuk patahan berwujud jurang yang curam. Kicau burung, gemericik air, hijau pepohonan, udara sejuk dan nyaman adalah komposisi indah yang menyusun panorama cantik Ngarai Sianok.


Taruko Café

Sambil menikmati sejuknya udara di Taman Panorama, kami mencoba daring mencari tempat wisata lain yang cukup dekat dengan lokasi kami. Masih terlalu awal untuk pulang ke penginapan. Tapi tak cukup banyak waktu untuk mendaki ratusan anak tangga di Janjang Saribu. Taruko Café adalah jawabannya. Sebuah café di lembah Ngarai Sianok yang tidak hanya menyajikan makanan dan minuman yang membuat kenyang, tapi juga menyajikan pemandangan indah yang membuat mata senang.

Bangunan café ini terbuat dari kayu dengan tepian café yang sengaja dibuat cukup lebar untuk menjadi meja sehingga para pengunjung dapat menikmati sajian café dengan panorama langsung menghadap sungai dan tebing Ngarai Sianok. 

Taruko Cafe

Di sudut halaman café terdapat bangunan yang mirip dengan Rangkiang khas Minangkabau, ayunan kayu, dan perahu kecil. Properti yang lengkap dengan latar sungai dan tebing Ngarai Sianok cocok untuk mereka yang hobi berfoto. Saya dan suami betah sekali berada di café ini. Ditemani coklat panas dan teh talua, kami merasa Taruko adalah tempat yang sempurna untuk menikmati sore. 


Sabtu, 17 November 2018

Hari terakhir di Bukittinggi. Saatnya kembali ke Pekanbaru. Meskipun hanya sehari, nyatanya banyak tempat menarik di Bukittinggi yang dapat dikunjungi. Terima kasih Bukittinggi, semoga suatu saat diberi kesempatan mengunjungi tempat menarik lainnya.

Senin, 10 Oktober 2016

sembilan

sembilan.sembilan belas.dua puluh sembilan.sembilan puluh.dari sembilan.

ada yang lupa
tap-tap-tap
gadis kecil berbaju merah melompat-lompat senang
kali pertama akan diajak tamasya
kemana?
kemana saja
ke klenteng cina?
boleh saja
tapi bukan
tak apa
bisa sembahyang disana
bisa?

sembilan.sembilan belas.dua puluh sembilan.sembilan puluh.dari sembilan.

ada yang bertanya
tap-tap-tap
gadis kecil berbaju merah bertanya
setelah itu akan kemana?
beli eskrim?
tentu saja
gembira?
ya

sembilan.sembilan belas.dua puluh sembilan.sembilan puluh.dari sembilan.

sepi
sunyi
mana tap-tap-tap gadis kecil berbaju merah?
tak ada
kemana?
pergi nampaknya
kenapa?
butuh teman bicara

sembilan.sembilan belas.dua puluh sembilan.sembilan puluh. dari sembilan.














Sabtu, 01 Oktober 2016

3078 mdpl : [ C I R E M A I ]



Verba volant, scripta manent.
[Yang terucap akan hilang, yang tertulis akan abadi.]
~peribahasa Latin
***
[ P E R C A Y A ]
Berangkat dari kata ‘percaya’ perjalanan ini dimulai. Kepercayaan telah diberikan kepada saya. Oleh yang saya percayai. Percaya bahwa perjalanan ini saya butuhkan lebih dari yang saya inginkan. Percaya bahwa saya akan baik-baik saja dalam perjalanan. Dan percaya, bahwa saya akan selalu pulang.

[ T E M A N ]
Bahwa di setiap perjalanan, kita akan bertemu dan membutuhkan orang lain, yang disini akan saya sebut sebagai teman. Dan bahkan, teman itu mungkin adalah diri kita sendiri. Bagaimana kita bertemu dengan diri kita sendiri? Bukankah seringkali kita merasa kehilangan diri kita sendiri entah karena pengaruh orang lain ataupun keadaan lingkungan. Dan jarang sekali kita merasa telah bertemu kembali dengan diri kita sendiri. Di perjalanan inilah saya ingin bertemu kembali, sebab rindu, merindui diri saya sendiri.

[ I S T I R A H A T ]
“Bukannya buat istirahat, ini cuti malah naik gunung,” pernah seseorang berkata pada saya.
Dan kemudian saya jawab dengan tersenyum, “Naik gunung adalah istirahat bagi saya.”
Istirahat. Seperti identik dengan tidur atau berdiam diri bermalas-malasan. Saya lebih sepakat pada definisi istirahat adalah proses pindahnya fokus atau konsentrasi. Saya lelah menulis, maka saya membaca. Membaca adalah istirahat. Saya penat bekerja, maka saya mendaki gunung. Mendaki gunung adalah istirahat. Hati dan otak saya terasa penuh, maka saya istirahat.

[ C I R E M A I ]
Ciremai. Gunung ini berada dalam wilayah dua kabupaten di Jawa Barat yakni Kuningan dan Majalengka. Memiliki ketinggian 3078 mdpl, gunung berapi ini merupakan yang tertinggi di Jawa Barat. Pada awalnya (zaman Belanda), kawasan hutan Gunung Ciremai ditetapkan sebagai hutan lindung. Namun pada tahun 1978, oleh pemerintah Indonesia hutan Gunung Ciremai dijadikan hutan produksi yang pengelolaannya diserahkan kepada Perum Perhutani. Dan pada tahun 2003, terjadi alih fungsi kawasan dari hutan produksi menjadi hutan lindung kembali untuk mengembalikan fungsi ekologis Gunung Ciremai.

Gunung Ciremai memiliki kekayaan flora dan fauna. Adapun flora yang terdapat di kawasan Gunung Ciremai diantaranya adalah pinus, kina, kayu manis, pule juga beberapa jenis palem. Dan fauna yang masih terdapat di Ciremai diantaranya adalah lutung, kera ekor panjang, musang, babi hutan, macan tutul, elang, prenjak, walet dan masih banyak lagi.

Terdapat beberapa jalur yang dapat digunakan untuk mendaki Gunung Ciremai. Yang populer digunakan adalah jalur Palutungan dan Linggarjati di Kuningan dan jalur Apuy di Majalengka. Atas rekomendasi seorang teman, kami memilih untuk mendaki lewat jalur Palutungan yang konon katanya lebih landai dibanding jalur Linggarjati meski dengan konsekuensi waktu perjalanan yang lebih lama.

3 September 2016
Dengan menggunakan kereta api Progo kami berangkat dari stasiun Lempuyangan menuju stasiun Cirebon Prujakan. Menakjubkan ketika mengingat kembali bahwa jam 8 pagi saya masih berada di tempat kerja saya di Yogyakarta, berkutat dengan pasien hingga lewat tengah hari dan jam 8 malamnya saya telah berada di kota lain, Cirebon. Teknologi transportasi. Betapa manusia telah memanfaatkan apa-apa yang dimiliki dengan sangat baik. Hal yang tidak terpikir ketika saya tidak melakukan perjalanan.

Atas tawaran teman saya yang juga merekomendasikan jalur pendakian, kami menginap di rumahnya. Tak berpikir panjang, saya iyakan. Sekalian menengok bapak si teman yang kala itu tengah sakit. Bapak yang dalam pandang saya menurut cerita-cerita si teman, adalah bapak yang disayangi, dihormati, dan disegani sekaligus. Langka. Beruntung saya diberi kesempatan untuk bertemu dan mencium tangannya, meski sekedar memperkenalkan diri dan berpamitan. Karena ketika saya menuliskan ini, beliau telah berpulang. Selamat jalan bapak, doa terbaik untuk engkau.

4 September 2016
Masih pagi ketika kami ditemani adik si teman berbelanja ke pasar Kramat Mulya untuk membeli bahan masakan. Telinga saya yang terbiasa mendengar bahasa Jawa (jawa Yogya-Solo) mendadak diliputi dengung bahasa asing ketika memasuki pasar. Sunda. Dan bahkan saya beberapa kali ditanyai dengan bahasa Sunda. Saya cuma bisa senyum dan melemparkan pandang –plis tolong terjemahin- ke adik si teman. Yang kupandang balik tersenyum dan membalasku dengan pandangan –haha, iya saya bantu- lalu menjelaskan kepada penjual pasar apa yang saya butuhkan. Bahasa. Menjadi produk yang tetap saya kagumi, bahkan ketika saya tidak mengerti.

Beres re-packing, berpamitan pada Ibu teman saya –yang kala itu belum memahami apa yang diinginkan anak muda dengan mendaki gunung- dan adik si teman –yang pengen ikut naik gunung tapi serta merta permohonannya ditolak Ibu-, lalu kami pun berangkat menuju basecamp Palutungan. Bangunan yang dijadikan basecamp berupa rumah mirip di perumahan yang sebenarnya bisa lebih bersih lagi bila rutin dibersihkan, pos loket, toko kecil yang menyewakan peralatan mendaki dan deretan kamar mandi di belakang rumah. Di sekelilingnya terdapat beberapa warung makan sekaligus toko kelontong kecil.

Kami mendaftarkan diri di pos dan membayar lima puluh ribu rupiah untuk masing-masing pendaki. Harga yang cukup mahal bila dibandingkan gunung-gunung di Jawa Tengah yang rata-rata di bawah sepuluh ribu. Menurut informasi yang saya baca di internet sebelum mendaki, hal yang sama dirasakan pula oleh masyarakat sekitar pada awal-awal kenaikan tarif. Tapi kemudian saya memahami bahwa harga sekian adalah termasuk fasilitas peta, kamar mandi dan satu kali makan (diberikan pada waktu turun gunung). Berdasarkan informasi peta, lepas dari Palutungan kami mesti melewati delapan pos sebelum sampai puncak.
Kurang lebih pukul sembilan lewat tiga puluh menit pagi kami berangkat dari basecamp Palutungan menuju Pos 1, Cigowong. Estimasi waktu perjalanan adalah dua hingga tiga jam. Waktu tempuh terlama antar pos. Saya membuat catatan sendiri, berisi estimasi waktu tempuh antar pos berdasarkan informasi yang telah didapat sebagai gambaran yang nantinya akan saya cocokkan dengan real time yang kami tempuh. Bismillah. Pendakian dimulai.

peta

Lepas dari kampung terakhir, kami melewati kebun milik penduduk, lalu kawasan hutan pinus, dan barulah kami memasuki hutan hujan Gunung Ciremai. Hutan hujan Gunung Ciremai benar-benar masih asri. Rimbun dan lembab. Hampir semua pohon besar yang kami jumpai ditumbuhi lumut hijau. Meski begitu jalan setapak yang menjadi jalur jelas terlihat. Beberapa kali kami bertemu dengan jalan yang tanjakannya lumayan. Kami belum lagi tahu bahwa di waktu selanjutnya tanjakan-tanjakan yang lumayan tadi akan berubah menjadi lumayan banget.

Jalur pendakian

Tepat dua jam perjalanan dan kami sampai di Pos 1, Cigowong. Terdapat gapura selamat datang di pos ini. Ada aura kebahagiaan memasuki gapura. Hal ini tak lebih disebabkan oleh warung-warung makan yang berjajar. Bahkan ada pula calon warung yang tengah dibangun. Beberapa waktu mendatang pastilah Pos 1 lebih semarak oleh sebab hadirnya warung-warung baru. Menurut informasi hanya di pos ini terdapat sumber air. Dibangun pula beberapa kamar mandi di dekat bak tempat mengambil air. Cukup lama kami tertahan di Pos 1. Makan, sholat, ngopi, juga ngobrol dengan bule asal Belgia, Swiss dan Perancis. Jangan tanya pakai bahasa apa. Tentu saja bahasa Indonesia. Si bule Belgia telah cukup fasih ngobrol menggunakan bahasa Indonesia karena telah tinggal selama satu tahun di Indonesia. Mereka bertanya soal jalur turun lewat Palutungan (padahal sudah sampai Pos 1). Satu hari sebelumnya mereka telah mendaki Gunung Ciremai via Apuy di Majalengka. Hujan turun membuat kami tertahan lebih lama lagi di warung. Dan ketika hujan tak nampak akan reda, kami pun bersiap mengenakan mantel hujan. Setelah berpamitan pada bapak yang telah berjasa membuatkan kami kopi dan mie instan, kami pun melanjutkan perjalanan menuju pos selanjutnya, Pos Kuta. 

Pos Cigowong

Tiga puluh menit estimasi waktu yang diperlukan dari Cigowong menuju Kuta kami pangkas menjadi setengahnya, lima belas menit kami telah sampai di Pos Kuta yang rupanya hanya berwujud pohon besar dengan akar-akar besarnya yang mencuat ke atas tanah. Bisa digunakan untuk duduk-duduk. Mantel hujan masih kami pakai. Dan tak ada niat untuk beristirahat lama-lama di Pos Kuta. Kami pun meneruskan perjalanan.

Pos Kuta

Pukul dua kurang sepuluh menit kami sampai di Pos 3, Pangguyangan Badak. Tiga puluh menit perjalanan dari Pos Kuta. Pangguyangan Badak cukup lapang untuk dapat didirikan tenda bila diperlukan. Bisa menampung sekitar tiga atau empat tenda kapasitas 2-4 orang. Di pos ini kami melepas mantel hujan. Hujan sudah berhenti. Alhamdulillah.

Pos Pangguyangan Badak

Semangat masih membara rupanya sehingga empat puluh menit dari Pangguyangan Badak sampailah kami di Arban, Pos 4. Dalam catatan saya estimasi waktu tempuh dari Pangguyangan Badak menuju Arban adalah enam puluh  menit. Ah, semoga semangat ini tetap terjaga mengingat kaki saya yang sudah lama sekali tidak dilatih naik gunung. Di Pos Arban kami menjumpai banyak pendaki yang memilih mendirikan tenda setelah turun dari puncak. Sebentar mengobrol dengan beberapa orang dan kami pun melanjutkan perjalanan menuju Pos 5. Hal-hal yang seperti ini yang sering saya rindukan. Di gunung, kami saling menyapa dan menghormati orang lain yang dijumpai sekalipun tidak saling kenal. Merasa kontras ketika mengingat kehidupan nyata di bawah sana. Saling kenal pun kadang enggan menyapa. Bahkan yang pernah sangat dekat pun rasa-rasanya bisa menjadi asing. Manusia.

Pos Arban

Pos 5 bernama Pos Tanjakan Asoy. Entah apa pasal diberi nama seperti itu. Saya curiga tracknya justru kebalikan dari asoy. Dan benar saja, tanjakan-tanjakan cukup curam mesti kami lalui untuk mencapai pos tersebut. Akar-akar pohon bercampur tanah masih menjadi pemandangan utama. Beruntung hujan tak turun berkepanjangan. Akan sangat licin setapak yang kami lalui bila hal itu terjadi. Tujuh belas menit kami butuhkan dari Arban untuk sampai di Tanjakan Asoy. Dan rasanya cukup melelahkan. Lelah yang membahagiakan. Pukul tiga lebih dua puluh menit sore.

Jalur

Pos Tanjakan Asoy

Cukup beristirahat untuk mengumpulkan kembali tenaga. Berharap tak bertemu lagi dengan tanjakan-tanjakan asoy setelah Pos Tanjakan Asoy. Dan pupus harapan! Tanjakan Asoy adalah permulaan. Jarang sekali kami jumpai tanah datar. Tanjakan dan tanjakan. Curam dan curam. Tap tap tap. Langkah kaki rasa-rasanya semakin berat. Kami mulai lelah. Empat puluh lima menit dan kami baru sampai di Pasanggrahan I. Entah sejak kapan muncul Pos Pasanggrahan I ini. Di peta belum lagi ada. Hanya ada tertera Pos Pasanggrahan, yang kemudian kami ketahui maknanya adalah Pasanggrahan II, Pasanggrahan yang sejati. Beberapa tenda telah dan sedang didirikan di Pasanggrahan I. Menurut instruksi yang kami dapat di basecamp, pendaki dianjurkan mendirikan tenda di Pasanggrahan. Dan atas kesepakatan pengelola basecamp Palutungan dan Apuy, pendaki tidak disarankan untuk mendirikan tenda di pos terakhir, Goa Walet, untuk mencegah terjadinya timbunan sampah seperti yang sudah-sudah. Kami duduk-duduk di tempat lebih tinggi untuk sekedar meluruskan kaki sambil melihat orang-orang yang tengah mendirikan tenda dan hammock sebelum melanjutkan perjalanan menuju Pasanggrahan II.

Pos Pasanggrahan I

“Kalau kondisinya seperti ini seterusnya, kita tidak bisa melihat sunset,” kata saya sambil tetap memandangi orang-orang yang nampak sibuk dengan tenda dan peralatan masak mereka.
“Sepertinya sih gitu.”

Kondisi hutan hujan Gunung Ciremai yang sangat rimbun dan sarat pohon besar nan tinggi menjulang membuat kami kesulitan melihat langit luas. Langit hanya dapat kami lihat melalui celah-celah dedaunan. Kondisi yang sama hingga menjelang batas vegetasi.

Dua puluh menit waktu yang kami butuhkan dari Pasanggrahan I untuk mencapai Pos 6, Pasanggrahan, yang sekarang disebut dengan Pasanggrahan II. Waktu menunjukkan pukul lima sore kurang beberapa menit. Kami pun mulai mendirikan tenda sebelum gelap tiba.

Pos Pasanggrahan II

5 September 2016
Pukul tiga pagi adalah waktu yang kami sepakati untuk summit attack. Nyatanya pukul empat barulah kami beranjak dari tenda. Semoga masih cukup waktu untuk melihat langit pagi beserta sunrise dari tanah tertinggi Jawa Barat. Lima belas menit berjalan dan kami telah sampai di Pos 7, Pos Sanghyang Ropoh. Semakin ke atas jalur menjadi lebih sulit dilewati. Tak sekedar tanjakan berupa tanah dan akar pepohonan. Kali ini batu-batuan besar pun turut serta meramaikan jalur kami. Tak hanya sekali saya kebingungan mesti menapakkan kaki dimana.

Pos Sanghyang Ropoh

persimpangan jalur Palutungan dan Apuy

“Eh ini mesti lewat mana?”
“Kaki aku yang satu mesti ditaruh dimana?”
“Aku takut lewat situ.”

Kalimat-kalimat yang jarang sekali saya pakai mendadak keluar ketika berhadapan dengan jalur yang mesti kami lalui. Cukup menantang. Dan melelahkan. Namun ternyata saya memang merindukan hal-hal seperti itu. Terima kasih Ya Alloh. Terima kasih semesta. Untuk keberadaan saya di Ciremai.

rada ngeblur. tangan menggigil

Lima puluh menit dan kami pun sampai di Pos terakhir, Pos Goa Walet. Hanya ada satu tenda berdiri di pos ini. Saya menunaikan sholat subuh tak jauh dari tenda sebelum melanjutkan perjalanan yang tak lebih mudah dari sebelumnya. Langit tak lagi hanya kami lihat lewat celah dedaunan. Semburat kuning dan jingga mulai terlihat. Bertemu cantigi adalah kelegaan. Sebentar lagi puncak!

Pos Goa Walet

Goa Walet

selamat pagi :)

Hap hap hap! Dan meski semangat meletup namun kondisi tubuh tak lagi dapat dibohongi. Track yang sungguh mampu membuat lelah masih menemani kami sampai akhir. Tiga puluh lima menit sudah kami berjalan dari Pos Goa Walet. Dan pada pukul enam kurang beberapa menit saja sampailah kami di puncak tertinggi di Jawa Barat, Puncak Ciremai. Alhamdulillah. Allahu akbar. Lega sekali rasanya melihat kibaran bendera merah putih. Senang bukan kepalang menatap lautan awan dari tempat saya berdiri. Berjalan lurus menuju tempat dimana sang merah putih berada. Sebelah kanan saya adalah lautan awan dan sebelah kiri adalah jurang dengan kawah di dasarnya. Dan sinar matari pagi menghangatkan gigil yang sedari tadi tak hilang-hilang. Padu padan yang tak selalu didapatkan. Padu padan yang di kemudian waktu memberi pemahaman kepada Ibu teman saya tentang mengapa anak muda senang mendaki gunung. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?














Kami berjalan berkeliling di Puncak Ciremai. Memanjakan mata dengan kombinasi apik antara langit biru, gumpalan awan, cahaya matari pagi, juga edelweis. Menikmati setiap menitnya berada di tanah ini, sebagai hadiah indah bagi kami semua. Hadiah atas perjalanan yang tak mudah. Hadiah manis untuk mereka yang memilih untuk tidak menyerah.







maafkan saya untuk foto ini :p



Merasa cukup berada di atas, kami pun turun. Setengah delapan lewat. Dan saya kembali dihadapkan pada kenyataan jalur yang kami lalui tadi. Pegang ranting itu, merangkak disini, berjinjit, lompat, menggelayut di dahan. Kemudian menengok ke belakang sesekali untuk melihat yang sudah berhasil dilewati. Astaghfirulloh, tadi jalurnya kayak gitu?

astaghfirulloh..






Lega rasanya begitu sampai kembali di tenda. Kami beristirahat sejenak untuk kemudian memasak makan siang. Makan siang kami istimewa sekali. Nasi putih, orak arik brokoli campur wortel dan jagung manis dengan lauk telur dadar spesial. Kenyang!

makan siang

Sudah lewat tengah hari ketika kami kembali menggendong keril. Pada mulanya perjalanan turun terasa lebih cepat dibanding saat kami mendaki. Tapi entah apa pasal setelah lewat Pos 4,  pergelangan kaki saya seperti salah otot. Mulanya terjadi nyeri mendadak. Saya coba lemaskan, putar-putar, tempelin salonpas, tapi nyerinya tak juga hilang. Ah sudahlah. Jalan saja terus sampai bawah. Insyaa Alloh mampu.

Senja mulai merayap turun ketika kami sudah sampai perkebunan penduduk. Beberapa kali menengok ke belakang untuk sekedar menatap gagahnya Ciremai. Untuk sekedar bertanya dalam hati sendiri, “Benarkah tadi pagi kaki ini telah menjejak puncak itu?”. Untuk sekedar mengucap terima kasih sudah sedemikian baik pada manusia yang datang berkunjung. Dan untuk sekedar mengucap salam perpisahan. Terima kasih Ciremai. Terima kasih. 

Sudah benar-benar gelap ketika kami sampai di basecamp. Lampu-lampu telah dinyalakan. Hari sudah hampir berakhir. Yang lelah akan beristirahat. Bersiap untuk menyambut hari baru esok pagi.

[ S E K I A N ]


Catatan khusus:
Direkomendasikan untuk menggunakan sepatu yang sesuai saat mendaki Gunung Ciremai terkait track yang akan dilalui. Tetap waspada terhadap satwa-satwa yang mungkin ditemui. Jangan salah masuk jalur evakuasi. Bawa diri dengan baik dan jangan lupa bawa sampahmu turun. Salam lestari.