Kamis, 22 September 2016

terkenang



Kukira musim telah tak beraturan sekarang. Tak tahu benar musim apa kali ini. Tapi hujan tak hendak reda kurasa. Dan pada akhirnya seperti  yang sudah-sudah setiap hujan turun, terkenang juga aku padamu. Pada hari dimana kali pertama kau berkunjung ke rumahku.

***

“Kujerangkan air sebentar, kau mau kubuatkan minum apa?” tanyaku begitu kau sampai rumahku. Alih-alih menjawab pertanyaan, lekat kau pandangi aku. Salah tingkah aku dibuatmu.
“Sini, duduk sebelahku,” kau menepuk kursi di sebelah tempatmu duduk.
“Tapi aku jerang air dulu.”
“Nanti saja. Duduk dulu disini.”
“Ada apa?” tanyaku setelah duduk tepat di sebelahmu. 

Kurasa pelukan adalah pengganti kalimat jawaban dari pertanyaanku. Lalu kau genggam erat pula tanganku setelah itu. Lagi, kau pandangi aku dengan lekat.

“Maafkan. Kau harus tanggungkan semuanya sendirian selama ini,” katamu seolah akan menangis. Seolah segala yang terjadi adalah kesalahanmu.
“Tak apa. Itu sebab aku memilihmu dari yang lain-lain. Sebab percaya bahwa kau akan bahagiakanku,” jawabku tersenyum.

Kau peluk lagi aku. Kumaknakan sendiri pula pelukanmu, bahwa kau setuju untuk bahagiakan aku setelah segala-gala yang kutanggungkan seorang diri di dunia ini. Lalu kau usapi pipiku, lekat kau tatap mataku. Kurasai diri menjadi begitu berarti buatmu. Bahagia.

“Boleh sekarang aku jerang air untuk membuatkanmu minuman?”
“Hahaha..,” kau tertawa. Mengangguk.

Kau tahu, waktu itu fikirku bahagia adalah kita. Tak kurasai beban barang sedikit. Percaya aku padamu. Tak ada prasangka bahwa luka dan perih akan jumpai kita di kemudian hari.

***

Sekuat apa aku bertahan menahan tangis bila terkenang akan engkau sekarang? Kau tahu, lelah benar aku wujudkan bahagia di depan orang-orang. Sandiwara segalanya. Boleh kau pilih aku sebagai pemeran sandiwara terbaik untuk peran berpura-pura bahagia. Hingga tak ingat benar aku yang mana yang berpura-pura dan yang mana yang sesungguhnya. Tapi aku ingat hari terakhir kau di rumahku.

***

“Maafkan untuk segala salahku padamu. Aku rindu,” katamu.
Pun aku. Tapi apa mampu kukatakan? Tak ada. Tangis saja yang keluar.
“Maafkan tak mampu bahagiakanmu,” katamu lagi.
Kenapa baru sekarang kau datang?
“Kau hiduplah berbahagia.”

Apa kau kata? Tak mengertikah bahwa pernah kutitipkan segala cita-cita bahagia itu padamu? Kuharapkan segala hal yang indah-indah bersamamu. Hanya tak kukatakan. Aku perempuan.

***

Sesal? Terlambat? Salah pengertian? Tak inginkan segala hal itu ada pada kita. Bahwa keseluruhan yang terjadi adalah kesalahan aku dan kau. Tapi, tak ada hal buruk yang ingin aku kenangkan darimu. Aku ingin mengingatmu sederhana saja. Aku ingin mengingatmu bahagia saja. Karena pernah, suatu waktu di masa lalu, kau ingin bahagiakanku, pun aku ingin kau bahagia denganku. Karena pernah, suatu waktu di masa lalu, kita berbahagia.














[sengaja mencoba gaya menulis lain dari yang biasa saya tulis. maafkan bila banyak kurang ^.^v]

Senin, 22 Agustus 2016

Senyum

Ketika senyumku tak lagi jadi favoritmu
Saat itulah aku merasa tak perlu lagi sering melihat ke cermin
Sekedar memastikan lipstikku berwarna lembut kesukaanmu
Ketika telah ada senyum lain bagimu
Saat itulah aku merasa tak perlu lagi sering melihat ke cermin
Sekedar memastikan jilbabku tak koyak karena angin
Dan ketika senyumku tak lagi jadi favoritmu
Aku jadi jarang tersenyum

Minggu, 21 Agustus 2016

Seandainya Kamu

Melihatmu tertawa saja sudah menjadi penghiburan bagiku
Melihatmu baik-baik saja sudah melegakanku
Melihatmu berkumpul bersama teman-temanmu membuatku tenteram
Kamu tidak sendiri

Seandainya kamu mau mengerti
Kala itu
Begitu caraku peduli
Begitu caraku mencintai
Kamu

Ah, seandainya kamu mau mengerti
Aku perempuan
Mengucap rindu pun malu
Alih-alih mengejarmu
Tabu

Bukan, bukan tak ingin
Hanya saja aku tak mengerti caranya

Seandainya kamu mau mengerti
Kala itu...

Kamis, 11 Agustus 2016

Tulisanmu #3: ...

Ada rasa ganjil mengeriap meninggi-ninggi di bidang dada terdalam, bak lelayangan terhembusi angin dari padang berpenuh padi menguning. Rasa itu berbentuk kapal layar yang sebentar lagi dibelai ombak; perupa Pinisi bergaris darah petarung laut.
 
Berlayarlah rasa. Tanpa cemas-cemas kecil atau besar.
Tiap tetes hingga samudera, ialah tinta bekas pena yang menulis namamu.  Mengarunginya bermalam-malam sambil menafsir kefanatikanku akan namamu. Alas! Ini adalah laut, Firdaus tanpa tilas Khuldi; tanpa kau perlu takut akan turun ke bumi.
Hingga ke daratan, itulah dia, berdiri, dalam rupa jelata tapi jelita. Seketika nahkoda tertegun khidmat, bak tersihir bukan dimantrai. Namamu itu azimat yang rajahi kulit-kulitku, bagai daun pacar berdarah henna yang diberkati oleh para tetua.
Sampailah rasa. Ternyata sederhana; aku masih cinta

Maret, 2016. [2.1]
***
Yang terasa ganjil adalah terbangun di waktu sepi menyengat, saat sel kelabu otakku tidak bekerja keras
Tak ada riuh di kepala
Dan namamu seperti disebut oleh detak jarum jam di kamarku, satu-satunya suara yang tersisa
Sudah ingin pergi?
Ah, aku lupa
Tentu saja
Telah habis dihapus semua gambarku
Telah ada pula gambar-gambar indah yang baru
Bila telah tiba masa istirahatku
Aku ingin kita berbincang
Tentang warna langit pagi yang merah teh atau kuning mentega
Ditemani secangkir kopi dengan sedikit manis gula dan tanpa duka
Agar di masa yang belum, yang teringat adalah nikmat kopi kita
Bisa?

Selasa, 02 Agustus 2016

asing

ada yang asing
kufikir itu kau
nyatanya aku

ingatanku rasanya tak asing
aku ingat
masih ingat
perihal langit biru, tebing dan pepohonan
aku ingat
perihal keramaian, lalu lalang kereta, juga stasiun kala gelap
aku masih ingat
perihal manusia yang buru-buru, tas yang digendong tergesa, hiasan kancing baju yang terlepas dan jatuh ke lantai
rasa-rasanya tak asing
aku ingat
masih ingat
ingatanku penuh
terlalu penuh
khawatir luruh

namun ketika kufikir segalanya telah menjadi asing
nyatanya itu aku

esoknya kufikir asing itu akan menghilang seiring waktu
nyatanya tidak

tidak, tidak
asing itu bukan kau
bukan aku
kita

perempuan di bawah hujan #2



Petang itu, semua orang tampak terburu-buru. Raut tak sabar dan klakson yang terus menerus berbunyi menyerang siapa saja yang berkendara tidak cukup cepat. Kepalaku berdenyut-denyut semakin nyeri. Lampu jalan, lampu lalu lintas, bercampur baur dengan lampu-lampu mobil dan motor yang terlalu banyak. Menerpa mataku yang semakin berkunang. Aku mendongak. Awan kelabu gelap bergumpal-gumpal. Tebal dan berwarna semakin pekat. Hujan seperti akan datang mengamuk. Pantas semua orang terburu-buru. Mereka tentu saja ingin segera sampai rumah. Tempat paling aman dan nyaman. Tapi tidak denganku. Aku tidak dalam perjalanan pulang. Tetesan besar air hujan perlahan turun. Aku berhenti mendongak. Lima detik lagi lampu berubah menjadi hijau. Aku menurunkan kaca helm. Bersiap membaur kembali di padatnya jalanan.

Layaknya orang bodoh aku duduk di ruang tunggu stasiun. Entah apa yang membawaku ke tempat ini. Entah apa pula yang kuharapkan dengan berada di sini. Bertemu denganmu? Lalu apa? Aku bahkan belum sempat memikirkannya. Probabilitas bertemu denganmu disini sekarang sangatlah kecil. Kau bisa saja sudah pergi tadi malam sesaat setelah pertengkaran kita, atau mungkin saja tadi pagi. Tapi aku disini. Menunggu kereta yang biasanya membawamu pergi setelah mengunjungiku. Perjalanan pulang, katamu. Mengunjungiku adalah perjalanan pulang bagimu. Dan aku selalu tersenyum setiap kali kau mengatakannya.

Aku memandang jam digital besar di atas loket reservasi. Suara-suara di sekitarku terdengar seperti dengungan lebah. Aku tidak benar-benar mendengarkan. Beberapa orang berjalan bergerombol. Menenteng tas besar atau menyeret koper sambil tertawa-tawa. Mereka tertawa. Tapi aku bahkan tidak dapat mendengar tawa mereka. Aku seperti menonton televisi tanpa suara. Seorang perempuan dengan tas di tangan kanan dan kiri berlari-lari. Dia hampir terlambat. Dan aku sama sekali tidak melihatmu.

Terdengar pemberitahuan bahwa kereta yang biasa membawamu pergi sudah datang. Aku mengawasi setiap calon penumpang yang bergerak menuju tempat pemeriksaan tiket. Berharap salah satunya adalah dirimu. Tapi tidak. Tak ada. Dan bahkan hingga kereta mulai bergerak menuju kotamu, kau tak pernah muncul. Kaca-kaca bening mulai mengembang di mataku. Perlahan menganak sungai. Harus seperti inikah perpisahan kita?

Perlu beberapa menit setelah kereta itu benar-benar pergi hingga aku cukup memiliki kekuatan untuk beranjak meninggalkan stasiun. Gerimis. Aku mengendarai sepeda motor dengan perlahan. Tak khawatir gerimis akan menderas dan membasahiku. Dan sekalipun tak suka hujan-hujanan, aku tak ingin hujan berhenti saat ini. Biar saja menjadi deras. Biar saja. Aku sedang ingin menangis.

Maret, 2016.

***

I always needed time on my own

I never thought I'd need you there when I cry
And the days feel like years when I'm alone
And the bed where you lieis made up on your side

When you walk away
I count the steps that you take
Do you see how much I need you right now?

When you're gone
The pieces of my heart are missing you
When you're gone
The face I came to know is missing too
When you're gone
All the words I need to hear to always get me through the day
And make it OK
I miss you

I've never felt this way before
Everything that I do
Reminds me of you
And the clothes you left
they lie on my floor
And they smell just like you
I love the things that you do

When you walk away
I count the steps that you take
Do you see how much I need you right now?

When you're gone
The pieces of my heart are missing you
When you're gone
The face I came to know is missing too
And when you're gone
The words I need to hear to always get me through the day
And make it OK
I miss you

We were made for each other
Out here forever
I know we were
Yeah Yeah

All I ever wanted was for you to know
Everything I do I give my heart and soul
I can hardly breathe, I need to feel you here with me
Yeah

When you're gone
The pieces of my heart are missing you
When you're gone
The face I came to know is missing too
When you're gone
The words I need to hear will always get me through the day
And make it OK
I miss you

[When you’re gone ~ Avril Lavigne]

Minggu, 29 Mei 2016

Tulisanmu #2: pada kali terakhir

... ... ...



Tak seperti biasa
Malam tadi
Kelu bibirku mengecap rindu
Luput kusebut namamu dalam doaku

Seperti malam-malam lalu
Mungkin bosan
Mungkin kecewa
Apatis
Mungkinpun kau tiada lagi siapa-siapa

Heran
Dan saat matahari meninggi
Samar kau membayang di antara tirai pukat
Terjerang dijemur keangkuhan usia merapuh
Dirubung lalat pemangsa sisa-sisa

Menghamburkan aroma sesalan
Kau pernah jadi bagianku ternyata!

Kuenyah sekedip di kerjap mata
Kau menghilang tanpa sisa jua
Srengenge telah melingsir ke tepi barat dinawengi
Kutembangkan seleret bait syair kehilangan
Iramanya laras slendro lamat menebar mistik
Kesanmu sirna digiring gemulai lembut penari-penari bedaya
Melarut meniup luka-luka mengeringku

.

Kisah lawas itu telanjur kehilangan makna warna
Meretas berpendar pudar terkikis masa
Pengampunanku habis kandas
Peluh ini kuras
Harapku tuntas
Langkah malam tertatih menyeret waktu
Ketuk lenggok penaripun tak sejurus irama larasnya lagi
Aku menyisir tepian malam menjauh
Pergi dari bising suara-suara
Menepis kuat gamang airmata
Merepih sisi hati menelan liur pahit getir pekat

Tumpah serapahku lepas bersama dengus nafas gemas
Lesakkan tinjuku menohok langit
Kutanggalkan engkau di ujung sabit
Melangkah pergi menyusur dingin pagi

... ... ...

Kutanggalkan engkau di ujung sabit
Melangkah pergi menyusur dingin pagi

Pernah.
Aku pernah kau tanggalkan di ujung sabit
Aku pernah tiada lagi siapa-siapa
Pernah.
Tak akan asing untuk kali kedua,
Atau ketiga
Atau keempat
Tak ingat benar sudah
Dan pada kali terakhir, telah kulepas pula apa yang selama ini erat kugenggam
Tak ada risau, mungkin sedikit
Tapi terbiasa, begitu?
Pun bagimu, kurasa
Pesanku akan sampai jua padamu, bukan?
Kau selalu tahu, seperti yang sudah-sudah

Kutanggalkan engkau di ujung sabit
Melangkah pergi menyusur dingin pagi

[29] 2.4