Kamis, 25 Desember 2014

Banyuwangi (1)





Jam di tanganku menunjukkan pukul empat kurang lima belas menit ketika tulisan ini dimulai. Masih tiga jam dan lima belas menit lagi hingga keretaku sampai di Stasiun Lempuyangan. Dan tiga puluh menit lagi hingga benar-benar sampai di rumah. Tambahan lagi satu jam bila kereta ini terlambat. Mengingat kereta ini kerap terlambat. Dan itu berarti hampir dua belas jam aku berada di kereta. Waktu yang diperlukan dari Banyuwangi untuk sampai di Jogjakarta atau sebaliknya. Ya, Banyuwangi. Catatanku kali ini tentang Banyuwangi, kota di ujung timur pulau Jawa. Bukan tanpa alasan aku menghabiskan cuti tahunan di kotanya suku Osing ini. Dan salah satu dari alasan-alasan itu adalah Alas Purwo dan Kawah Gunung Ijen.

Kopi yang kupesan sudah dingin. Tampias hujan di jendela kereta tak banyak lagi tersisa. Otakku bekerja menarik kembali ingatan di puluhan jam yang lalu. 



Hari itu Jumat, 5 Desember 2014. Jam kerja yang lebih pendek di hari Jumat memberiku banyak keuntungan. Salah satunya bisa bersiap-siap sebelum berangkat dengan kereta pukul dua lebih enam belas menit. Kereta ini tak menuju Banyuwangi, tapi Surabaya. Dari Surabaya lantas berganti kereta menuju Banyuwangi bersama partner. Dengan begitu, hari Sabtu dini hari aku sudah berada di Banyuwangi. Artinya, menambah waktu liburan.

Aku jarang merasa bosan saat melakukan perjalanan dengan kereta. Meski itu perjalanan tunggal. Tak banyak memang yang bisa dilakukan di kereta. Tapi ada banyak hal yang bisa dilihat dan diamati. Terutama mengamati manusia. Seperti siang itu, di awal perjalananku menuju Surabaya. Sesaat setelah menemukan tempat dudukku di kereta, datang seorang perempuan bertopi dengan ransel di punggung dan tas selempang kecil. Teman duduk di sebelahku rupanya. Diskusi kecil tentang ransel siapa yang diletakkan di atas dan ransel siapa yang di bawah membawa kami pada beberapa percakapan singkat sesudahnya. Perempuan asal Magelang itu kutaksir umurnya tak jauh dari umurku. Mungkin lebih tua satu sampai tiga tahun. Seorang guru sekolah dasar. Profesi yang tidak bisa kutebak sebelumnya. Pikiranku terlalu sempit membayangkan seorang guru selalu memakai rok atau celana juga kemeja licin dan rapi. Perempuan di sebelahku memakai celana katun, kaos, jaket casual berwarna biru, sepatu kets dan topi. Lebih masuk akal bila menebak dia seorang mahasiswi tingkat akhir. Berbeda denganku yang begitu duduk lantas mengeluarkan buku, dia justru memasukkan novel yang tengah dibacanya. Novel bergenre romance yang aku lupa judulnya. Dia berganti mengeluarkan earphone dan mulai mendengarkan musik. Lambat laun aku merasa hal itu lebih berguna. Karena kemudian aku seringkali dikejutkan oleh tawa yang tiba-tiba meledak ketika asyik membaca. Tawa itu berasal dari rombongan ibu-ibu di deretan belakang dari gerbong yang sama denganku. Kututup sejenak buku, lantas mulai mengamati rombongan ibu-ibu ini.  Sunda adalah bahasa yang mereka pakai. Jadi aku tak banyak mengerti apa yang mereka perbincangkan. Namun ada beberapa kata yang diucapkan yang tidak banyak dipakai oleh orang yang berprofesi diluar bidang kesehatan. Diagnosa awal mereka orang yang bergerak di bidang kesehatan. Kebanyakan mereka adalah perempuan, ditambah lagi block note yang dipakai oleh seorang dari mereka produksi sebuah perusahaan penghasil salah satu pil kontrasepsi, kusimpulkan mereka adalah bidan atau perawat. Bidan mungkin lebih mendekati. Dan diagnosaku tegak ketika kemudian aku mengobrol dengan salah satu diantara mereka. Rombongan Ikatan Bidan Indonesia (IBI) wilayah Tasik. Mereka hendak liburan ke Bromo. Aku meneruskan membaca.

Kota-kota sudah berganti. Cerah berganti gerimis lalu hujan berganti cerah lagi. Terang menjadi gelap. Kereta terlambat. Hampir sembilan puluh menit dari jadwal yang seharusnya. Aku berjalan bersama ibu guru teman dudukku. Dan ketika berpisah kami baru saling bertukar nama. Yuda. Namanya terdengar seperti nama laki-laki. Tapi mungkin itu hanya nama panggilan saja. Partnerku sudah menunggu. Kami akan melanjutkan perjalanan dengan kereta berikutnya menuju Banyuwangi. Masih enam puluh menit lagi. Beruntung Mutiara Timur Malam tidak terlambat datang. Lima jam dan tiga puluh menit kurang lebih waktu tempuh yang diperlukan untuk sampai di Stasiun Kalibaru, tujuan kami. Dua jam pertama di kereta kami habiskan dengan menonton film berjudul Lucy. Film yang mampu membuat mata lelahku tetap terjaga. Bagus! Jam-jam selanjutkan kami habiskan untuk istirahat. Aku hampir tak bisa tidur di kereta pertama. Seringnya dikejutkan oleh ledakan tawa rombongan bidan tadi membuat tidurku sama sekali tidak berkualitas.

Mataku masih terasa berat ketika dibangunkan. Kami sampai di Stasiun Kalibaru. Ini kali pertama aku menginjakkan kaki di Banyuwangi, kotanya. Hai, selamat pagi Banyuwangi. Dijemput oleh ayahnya dan segera meluncur ke rumah. Rumah keluarganya, rumah yang akan kutinggali beberapa hari ke depan. Tak sampai lima menit berkendara dengan motor kami pun sampai. Ah, dekat sekali rupanya dengan stasiun. Berkenalan dan berbincang hingga pagi cukup terang. Niatnya hendak melihat sunrise dari Gunung Gumitir yang katanya tak jauh dari rumah. Namun sesaat setelah keluar dari gang rumah aku disuguhi merahnya langit pagi Banyuwangi. Subhanallah, indah sekali. Langit benar-benar begitu merah. Begitu terpesonanya hingga tidak sempat memotret. Aahh.. Lepas melewati Stasiun Kalibaru, gerimis berubah menjadi butiran air yang lebih besar dan banyak. Hujan. Kami pun putar balik. Batal melihat sunrise dari Gunung Gumitir. Tak apa. Mungkin kali lain bisa melihat indahnya langit pagi Banyuwangi dari sana.



Di Banyuwangi, selain bahasa Jawa, bahasa yang lazim digunakan adalah bahasa Madura. Dan meskipun masih terhimpun dalam satu provinsi Jawa Timur, bahasa orang Madura ini benar-benar membuatku pusing. Rasanya seperti menonton acara Si Bolang ketika mendengar anak-anak kecil ngobrol bersahutan. Senang mendengarkan mereka berbicara meskipun aku tidak mengerti sama sekali. Belum lagi logat yang dipakai. Ada logat Osing yang (katanya) berbeda, meskipun aku masih belum bisa menangkap dimana letak perbedaannya. Toh, aku sama sekali tak mengerti. Tapi sekali lagi, aku selalu menikmati roaming bahasa, sama seperti ketika aku berkumpul bersama kawan-kawan yang berbahasa Sunda. Yeah, happy roaming :D

Mengisi pagi dengan berkenalan dengan lingkungan sekitar rumah. Dan astaga, Gunung Raung terlihat sangat dekat. Gunung yang terkenal dengan tingkat kesulitan cukup tinggi itu seolah menyapa. Hai, semoga suatu saat bisa berkenalan lebih dekat lagi. Setelah beristirahat sebentar lalu mandi, aku disuguhi hidangan istimewa. Hidangan yang sangat dia suka. Tradisi turun temurun yang masih dilakukan hingga sekarang. Jenang Safar. Jenang ini hanya dibuat pada bulan Safar dalam kalender Hijriyah. Yah, meskipun tidak masalah bila ingin membuatnya di bulan selain Safar. Tapi tradisi di bulan Safar, jenang ini selalu dibuat. Aku tidak mengenal tradisi ini di keluarga atau lingkungan sekitarku. Ini membuatnya menjadi unik. Jenang yang berbahan dasar utama tepung ketan ini mirip dengan Jenang Grendul di Jogja. Ada bulatan-bulatan kenyal di antara tekstur jenang yang lembut. Dan oh, ternyata ada ketan putih di dasar piring yang tertutup jenang. Kenyang!

Siang menjelang. Saatnya bertualang. Tak begitu jauh dari rumah, konon ada air terjun. Maka pergilah kami kesana bersama si adek. Kota ini dikelilingi bukit dan pegunungan. Menyejukkan sejauh mata memandang. Kami juga melewati perkebunan cokelat. Sempat berhenti sejenak untuk mengetahui seperti apa serangga bernama lokal Rarowe. Suaranya riuh sekali mengiringi perjalanan kami. Jalanan yang tidak rata dengan genangan air disana-sini justru membuat kami kegirangan. Seru sekali. Waktu menunjukkan pukul dua belas lebih dua puluh lima menit ketika kami memarkir motor. Air terjun belum lagi nampak. Tersembunyi di balik rimbunnya pepohonan. Kami harus menuruni anak-anak tangga yang terbuat dari batu untuk mencapai air terjun. Dan gerimis turun tepat ketika kami sampai. Ah, sudah kepalang tanggung. Rasanya sayang kalau tidak menyentuh air. Kami pun turun ke sungai. Air terjun yang kami datangi kali ini terdiri dari dua air terjun yang bermuara pada satu sungai. Gerimis dan tampias air terjun mulai membasahi jilbab dan jaketku. Aduh, rasanya malah jadi pengen nyebur. Tak puas hanya bermain di bawah air terjun, kami pun berjalan menyusuri jalan setapak menuju sungai bagian atas. Pengen nyebur lagi deh melihat betapa jernihnya air sungai :3






Puas bermain, baju sudah basah, kami pun beranjak pulang. Masih dengan keseruan jalanan yang tidak rata. Juga obrolan lucu dan polos khas si adek. Mulai dari absennya foto Pak Presiden baru di kelasnya hingga tebak-tebakan harimau. Dan bahkan dengan mengingatnya saja, bibirku masih tertarik ke atas, tersenyum sendiri.

Kamis, 30 Oktober 2014

Gadis Kecil Ibu




Gadis kecil itu terseok-seok menuntun sepeda mini miliknya. Sandal yang ia pakai tinggal sebelah. Sesekali tampak meringis bila kaki kecilnya mengincak kerikil tajam. Matanya berkaca. Sudah hampir tumpah. Bibirnya bergetar. Tak tahan lagi menahan tangis. Ada kelegaan di sepasang matanya ketika pintu bercat putih itu sudah terlihat. Pintu rumahnya. Langkahnya semakin cepat. Dan tepat di depan pintu rumah itu, dia meletakkan begitu saja sepedanya. Mendorong pintu dengan tergesa. Dan mulai memanggil ibunya. Menangis.

Sang ibu yang tengah memasak tergesa mendatangi putrinya. Khawatir bukan buatan mendengar gadis kecilnya menangis. Segera dipeluknya gadisnya yang manis. Menanyakan mengapa pula tangis itu mesti tumpah? Lantas gadis kecil pun mulai bercerita di dalam pelukan ibunya yang hangat. Setengah terisak dia menunjukkan luka pada lutut dan sikunya. Tadi jatuh di dekat sungai saat bersepeda. Sandal merah bergambar Mickey Mouse kesayangannya jatuh lalu hanyut di sungai. 

Sang ibu melepaskan pelukannya. Beranjak mengambil obat merah di kotak P3K. Dan tanpa berkata mulai membersihkan luka gadis kecilnya. Setelah yakin bahwa sudah tak ada kotoran yang menempel, lantas obat merah pun diteteskan di atas lukanya. Gadis kecil itu meringis. Ibu tersenyum dan mengusap sisa-sisa air mata di pipi gadis kecil.

“ Sudah, tidak usah menangis lagi. Esok lusa, lukanya pasti sembuh.”

***

Gadis itu memeluk tubuhnya sendiri erat-erat. Berjalan cepat melintasi jalanan menuju rumahnya. Matanya berkaca. Sudah hampir tumpah. Bibirnya bergetar. Tak kuasa lagi menahan tangis. Ada kelegaan di sepasang matanya ketika pintu bercat putih itu terlihat. Pintu rumahnya. Langkahnya semakin cepat. Tepat di depan pintu bercat putih itu air matanya jatuh. Ia mendorong pintu dengan tergesa dan memanggil-manggil ibunya. Tangisnya pecah sudah. Tak ada lagi tabu di rumah itu. Dia boleh menangis.

Tapi ibunya tak kunjung muncul dari dapur seperti biasanya. Tak ada pelukan. Tak ada usapan di pipi. Tak ada senyuman. Tak ada siapa-siapa. Lengang. Gadis itu makin terisak. Meringkuk memeluk lutut di atas lantai yang dingin. Sendiri. Ada luka yang ingin ia tunjukkan. Luka yang dalam. Luka yang lebih menyakitkan daripada tergores batu di tepi sungai.  Ada kisah tentang luka itu yang ingin ia ceritakan. Kisah yang lebih memilukan dibanding hilangnya sandal Mickey Mouse kesayangan. Pada ibunya. Pada kawan ceritanya. Ada peluk yang ia harapkan. Ada usapan yang menenangkan. Ada senyuman yang ia rindukan. Ada suara yang ingin ia dengarkan,

“ Sudah, tidak usah menangis lagi. Esok lusa, lukanya pasti sembuh.”
 


Minggu, 26 Oktober 2014

Srikandhi Naik Andong



Perjalanan kali ini sedikit berbeda. Partner pendakian yang biasanya didominasi kaum adam, kali ini seluruhnya kaum hawa. Istimewa sekali. Empat perempuan, dua motor, dua kamera SLR, satu pocket-cam, satu teleskop. Formasi lengkap ekspedisi Gunung Andong. Rencana semula perjalanan ke Gunung Andong ini adalah untuk menemani salah satu teman  survey lokasi pendakian. Tapi si teman justru mengalami kecelakaan saat akan menuju Jogja *lekas pulih Risma :)*. Namun rencana sudah dibuat. Dan tinggallah kami ber-empat yang akan mendaki. Dokumentasi tentu akan dibagi pada Risma. Sebagai pelega rasa.

Berkenalan dengan dua diantara tiga perempuan itu di salah satu klub astronomi. Bidang yang kami geluti tak sama, kami hanya dipersatukan oleh kesukaan yang sama dan persaudaraan antar perempuan :p. Dan itu sudah cukup membuat perjalanan kali ini menjadi benar-benar tidak biasa.


Aku, Adyn, Bela, dan Cikol. Kami berempat sepakat berangkat dari Jogja hari Kamis, 28 Agustus 2014 pukul 17.15 WIB. Apa daya default jam kebanyakan orang Indonesia -termasuk kami- ter-setting agak menyerupai karet. Jadilah kami berangkat ba’da maghrib. Menembus hingar kota Jogja kala malam, geliat kota Magelang, juga jalanan yang berkelok-kelok menuju kecamatan Ngablak. Dingin yang menusuk justru membangkitkan semangat. Semangat memacu motor lebih kencang agar lekas sampai basecamp. Kabut tebal kadangkala menghalangi pandangan mata terhadap jalanan di depan. Mewajibkan kami untuk ekstra hati-hati. Dan bahagia itu mulai datang ketika pasar Ngablak sudah terlihat. Kami pun berbelok ke arah kiri. Menuju desa Girirejo, dusun Sawit, dimana basecamp Gunung Andong berada.

Pukul 20.40 WIB kami sampai dengan selamat dan kedinginan di basecamp. Rencana awal kami tidur di basecamp dan memulai pendakian sekitar jam tiga dini hari. Ah, tapi apalah arti rencana-rencana. Bisa dibicarakan lagi nanti. Ada yang lebih penting yakni menghalau dingin yang sepertinya sudah terlanjur menempel di badan kami. Mie instan dan minuman hangat pun segera dipesan. Beruntung di basecamp tidak ada yang menginap selain kami berempat, jadilah pengabadian momen-momen yang kurang penting semacam makan dan adegan menjelang tidur berjalan lancar :)).

tiket masuk Gn Andong beserta bonusnya, stiker

Menjelang pukul tiga pagi kami bangun dan bersiap-siap. Sedikit mendiskusikan apa yang mesti dibawa dan apa yang mesti ditinggal. Dan terjadilah insiden tripod Adyn patah di detik terakhir keberangkatan. Entah apa pasalnya. Kami pun berjibaku membenarkan ke posisi seharusnya dan tetap tak bisa sempurna seperti sedia kala. Tapi ya sudahlah. Sudah diusahakan. Perjalanan tetap harus dilanjutkan. Pukul empat pagi kami pun memulai pendakian dari basecamp. Bismillah...


Langit masih gelap. Dingin dan kabut belum hilang sempurna. Kami berjalan di setapak ber-semen yang kanan-kirinya masih di dominasi kebun sayur milik penduduk. Obrolan-obrolan perempuan menjadikan gapura titik awal pendakian terasa tidak terlalu jauh. Dari gapura ini setapak tak lagi ber-semen, berganti dengan tanah setapak. Selepas kebun penduduk, kami pun memasuki area hutan pinus. Senter dan headlamp masih menyala. Sesekali berhenti untuk istirahat, mengatur nafas, minum, makan permen, membenarkan posisi tripod, dan tentu saja melihat langit. 

gapura kala siang

Pos 1 kala siang

Subuh sudah memasuki waktunya. Tapi kami tak menemukan tempat yang cukup lapang untuk sholat subuh. Bela memberi tahu kami, bahwa tak jauh dari tempat kami berada ada pancuran kecil. Baiklah, target mencapai pancuran untuk berwudhu dilanjut sholat subuh. Semoga ada tempat strategis. Dinginnya air pancuran membuatku tak ingin berlama-lama menyentuh air. Dan segera berjalan untuk mencari tempat untuk sholat. Tapi tak ada tempat yang cukup nyaman. Karena khawatir terlalu terlambat, jadilah kami menggelar matras di setapak pos 2. Tak rata, agak menanjak, dan sempit. Tapi tak apalah. Semoga tidak ada orang lewat.

Pos 2

Lama kami berada di Pos 2. Niatnya menanti detik-detik terbitnya matari pagi hari itu. Tapi kabut dimana-mana. Penuh. Hampir menyedot semua yang tampak oleh mata. Sudah waktunya terbit. Apalah daya kabut dan awan begitu pekatnya. Sesekali terlihat. Dan beberapa saat kemudian tersembunyi. Susah sekali mengabadikan momen ini. Ujung-ujungnya yang menjadi objek foto adalah orang-orangnya sendiri :))

matahari pagi dibalik kabut

Usai berfoto, kami tak lantas melanjutkan perjalanan dengan segera. Masih ada ritual ala wanita. Haha. Sunblock sudah mulai merata di wajah-wajah kami lantaran matari sudah mulai bersinar terang. Mengoles-oles madu di bibir dan bahkan bedakan *senggol Cikol* :)). Hal-hal yang tak ditemui saat mendaki bersama kaum lelaki. Seru sekali.




Matari  sudah sepenggalah naik saat kami meneruskan perjalanan. Kabut sudah sedikit tersibak. Dan layaknya layar yang diangkat di panggung teater yang menyembunyikan pentas, kabut yang tersingkap menampilkan gagahnya Merapi dan Merbabu. Indah sekali. Setapak yang kami lalui masih sama. Kecil dan sedikit menanjak. Hap-hap. 

Merbabu dan Merapi

Langkahku terhenti. Ada si kembar di ujung mata. Gunung Sindoro dan Sumbing anggun mencuat di antara awan dan kabut. Terlihatnya si kembar Sindoro dan Sumbing menandakan puncak pertama sudah dekat. Dan benar saja, setelah berbelok di tikungan bersemak, nampaklah sebuah tenda. Camping ground. Sudah sangat dekat dengan puncak. Kami beristirahat sebentar. Menikmati udara pagi. Menyapa para penghuni tenda. Dan beruntungnya kami, mereka sedang memasak. Jadilah dua gelas teh panas, Oreo dan sebungkus roti dihidangkan untuk kami. Terima kasih :D

Sindoro dan Sumbing


Merasa cukup beristirahat dan menikmati suasana pagi di camping ground (baca: teh sudah hampir habis), kami melanjutkan perjalanan menuju puncak yang tinggal seperlemparan batu saja. Dan belum lagi genap jam sembilan pagi ketika kami berempat akhirnya sampai di 1726 mdpl. Puncak  Gunung Andong. Alhamdulillah :)

berfoto bersama penghuni tenda yang baik hati
puncak!
Cikol-aku-Bela-Adyn


Tanggung rasanya kalau hanya menginjakkan kaki di puncak pertama. Puncak kedua tak jauh jaraknya. Hanya perlu menyeberangi geger sapi (jawa: geger=punggung) *hanya :p*. Setapak kecil yang kanan-kirinya jurang ini merupakan penghubung dua puncak Gunung Andong. Area ini kerap disebut geger sapi karena bentuknya yang menyerupai punggung sapi atau juga punuk unta. Tampak seram sekaligus indah. Menakutkan tapi bikin kepengen lewat lagi dan lagi. 



geger sapi



Selangkah demi selangkah kami menapaki setapak sempit geger sapi. Tidak banyak pendaki yang mendaki kala itu. Cukup leluasa untuk berjalan santai atau berhenti lama-lama menikmati indahnya panorama. Kabut mulai merangkak mengarah setapak geger sapi. Kami pun mempercepat langkah. Dan berhenti sejenak setelah berhasil melewati geger sapi. Memandangi setapak yang telah kami lalui juga kabut yang menutupi separuh gunung seperti migrain.




Perjalanan dilanjut. Puncak sudah terlihat. Yang mungkin akan jarang ditemukan di gunung lain, masih bisa dilihat para pencari rumput di puncak Andong. Gunung yang memang tidak terlalu tinggi serta rumput yang tumbuh subur dan melimpah memungkinkan warga sekitar gunung untuk merumput bahkan sampai puncaknya. 

Dan disinilah kami. Puncak kedua Gunung Andong. Terlihat Merbabu dan Merapi juga Telomoyo. Hijaunya Gunung Andong juga setapak geger sapi seolah melengkapi. Istimewa, kawan. Istimewa. Membuat kami betah berlama-lama. Enggan mengingat bahwa kami nanti mesti pulang jua.



Matari cukup terik ketika kami berada di puncak kedua Gunung Andong. Payung pun dikembangkan. Haha. Tak puas hanya berfoto-foto. Kami pun membuat video. Karena ingin semua bisa masuk kamera, disulaplah tripod menjadi tongsis yang bisa digerakkan semena-mena sesuai selera pembuat video :)).

Jam di tanganku sudah menunjukkan pukul sebelas siang. Sudah waktunya turun bila tak ingin kemalaman sampai Jogja. Payung ditutup, makanan-makanan kembali dimasukkan, kami berkemas. Perjalanan turun masih sama serunya. Masih dipenuhi jeprat-jepret kamera. Lulus melintasi geger sapi untuk kedua kalinya, kami sampai di puncak Gunung Andong yang pertama. Kembali turun menuju camping ground. Tenda mas-mas yang membuatkan kami teh tadi sudah tak nampak. Sudah pulang mereka rupanya. Lantas melewati setapak turunan dengan riang gembira. 


Satu jam berlalu. Pinus-pinus sudah mengelilingi kami. Hutan pinus. Rehat sejenak menikmati pemandangan sekitar. Obrol ini dan itu. Potret ini dan itu. Setelah dirasa cukup, kami pun melanjutkan perjalanan. Kurang lebih pukul satu sampailah kami di gapura dimana kami memulai perjalanan dini hari tadi. Alhamdulillah.

hai, kalian :D

Baru beberapa puluh meter kami berjalan ketika sebuah mobil pengangkut menawari kami tumpangan sampai basecamp. Rasanya sayang kalau ditolak, meskipun mobil ini tampak luar saja sudah penuh. Masuklah jua kami. Entah sebenarnya mobil ini pengangkut apa. Sebab di dalamnya ada batang-batang kayu juga rumput. Ruang di dalam mobil begitu sempit. Tak ada pilihan. Aku pun duduk di singgasana tumpukan rumput. Jumawa sekali tertawa-tawa karena merasa seru dan akhirnya nyaris terjungkang :))

dalam mobil pengangkut


Berterima kasih berkali-kali pada bapak sopir mobil dan tertawa-tawa ketika akhirnya kami sampai di basecamp dengan selamat sentausa. Sebenarnya, destinasi selanjutnya adalah air terjun yang konon katanya tidak jauh dari kaki gunung Andong. Tapi kata ibu penjual di warung airnya sedang kering, maka secara otomatis gugurlah rencana kami mengunjungi air terjun. Tak apa, mungkin belum berjodoh. Semoga masih ada kali lain.


Dan dengan sampainya kami lagi di basecamp, itu artinya berakhir pula petualangan kami –empat perempuan- di Gunung Andong. Semoga akan ada lagi petualangan-petualangan berikutnya :D. Terima kasih Andong. Sudah begitu ramah dan indah. Terima kasih kalian. Sudah menjadikan petualangan kali ini tidak biasa :).

Sabtu, 20 September 2014

teh

teh-ku tak lagi manis
sebab kau tak suka
tak suka yang terlalu manis

teh-ku tak lagi manis
karena rindu-rindu itu tak selalu berujung manis
pun kisah-kisah tak mesti berakhir manis
memang tak dramatis, hanya kurang manis

teh-ku tak lagi manis
lantaran banyak cerita yang memaksaku menangis
lantaran banyak luka oleh sebab egois

teh-ku tak lagi manis
bila kali lain kau datang
kau akan tahu,
teh-ku tak lagi manis