Rabu, 02 Juli 2014

di tepian jembatan aku dan kau (masih) menanti pagi



Siapakah kita? Mau menjadi siapakah kita? Sepasang muda-mudi yang bersepeda bersama itu? Atau kau menjadi si pemuda dan aku gadis yang sudah tak ada? Ataukah kita adalah bagian dari rombongan burung yang terbang ke arah barat? Masih pedulikah kita menjadi siapa? Kita masih bertemu. Kita masih rindu.

Sebut apa saja untuk kita. Sebut aku menghormatimu ketika aku mencium tanganmu saat kau akan pergi. Sebut kau (masih) menyayangiku ketika kau mencium balik tanganku. Sebut apa saja untuk kita. Kita masih bertemu. Kita masih rindu.

Terjemahkan bagaimana saja rasa kita. Bisa? Bagaimana rasanya (bila) melihatmu bersanding dengan yang lain? Bagaimana (bila) kau melihatku bersama orang lain? Terjemahkan. Bisa? Terjemahkan sesukamu. Sesukaku. Kita masih bertemu. Kita masih rindu.

Aku kehilangan kata-kata untuk menerjemahkan rasaku padamu. Hilang. Sekalipun bertemu. Sekalipun rindu.

“Aku rindu udara pagi bersamamu,” katamu.

Aku diam dalam ke-tidak-ada-an-ku.

“Aku ingin melihatmu lagi menantiku di tepian jembatan.”

Aku (masih) disini.

“Aku ingin kau bawakan bekal makan siang lagi.”

Itu inginku.

“Aku ingin pergi ke pantai bersamamu lagi.”

Duduk di pasir dan menanti matahari tenggelam.

“Menggenggam tanganmu dan mengenalkanmu sebagai perempuanku.”

Kita..

“Aku ingin bertemu.”

Kita masih bertemu. Kita masih rindu.

Sabtu, 28 Juni 2014

di tepian jembatan aku (dan kau) menanti pagi



Adalah seorang gadis duduk di tepian sebuah jembatan. Kakinya bergerak berayun bebas. Sungai di bawah kakinya memantulkan warna merah. Semburat di langit timur. Matahari belum lagi sempurna terbit. Sepeda mini milik si gadis terparkir di ujung jembatan. Seperti menanti sesuatu. Atau seseorang?

Seseorang. Seorang pemuda menjadi jawabannya. Pemuda itu berjalan cepat menghampiri si gadis. Mengecup kepalanya. Membaui wangi rambut si gadis. Dan duduk menyebelahinya.

“Sudah lama?”

“Belum. Belum lama. Tidak pernah terlalu lama menunggumu.”

Warna kuning mulai dipantulkan air sungai di bawah kaki mereka. Matahari sebentar lagi muncul nampaknya.

Si pemuda meraih tangan si gadis. Menggenggamnya erat sekali. Seolah kali terakhir dia mampu melakukan itu.

“Tanganmu masih dingin. Belum ada yang menghangatkan?” tanyanya pada si gadis.

Si gadis menoleh. Menatap tangan dalam genggaman pemuda yang baik sekali hatinya. Lalu beralih menatap matanya.

“Tanganmu juga masih panas. Masih belum ada yang mendinginkan?”

Pemuda itu tersenyum. Tak menjawab.

“Aku senang melihatmu tersenyum. Kata orang-orang, kau jarang tersenyum sekarang,” ucap si gadis, menatap ujung kakinya yang kini sudah berhenti berayun-ayun.

“Tak ada kau,” si pemuda menjawab singkat, menatap langit yang kini beringsut benderang.

“Kau tahu aku selalu ada,” tangan si gadis yang bebas memegang lengan si pemuda, lanjutnya, “dan kenapa tanganmu sekurus ini?”

“Tak ada kau yang mengurusku,” ucap si pemuda. Masih menatap langit yang kini warnanya sudah berupa-rupa. Paduan biru, merah, kuning dan jingga.

Air sungai berkilau memantulkan aneka warna langit di atasnya.

“Aku akan mengurusmu selama kau inginkan. Selama kau tak memintaku pergi,” si gadis ikut menatap langit. Sekelompok burung terbang ke arah barat.

“Aku tak pernah ingin kau pergi.”

“Tapi kau pergi.” Kaca-kaca bening sudah memenuhi mata si gadis. Si pemuda meraih tubuh gadisnya. Memeluknya erat sekali.

“Aku sayang kamu,” ucap pemuda itu lirih. Masih memeluk si gadis, merasakan bahunya yang bergetar.

“Pergilah,” si gadis melepas  pelukan.

“Aku tak ingin pergi.”

“Tapi kau harus.”

“Aku akan datang lagi.”

Si gadis hanya tersenyum.

***
Kau datang. Selalu datang. Bahkan ketika tahu aku tak ada. Tak lagi ada. Seperti hari ini, hari ulang tahunmu, kau datang. Duduk di tepian jembatan. Menatap langit. Menanti matahari terbit. Menantiku hadir. Duduk di sebelahmu. Mengucap rindu. Yang sepertinya takkan pernah cukup sekalipun sudah diucap beribu-ribu.

“Selamat ulang tahun...”

***
“Selamat ulang tahun...”

Aku mendengarmu. Aku tahu kau ada disini. Selalu disini. 

Aku datang. Selalu datang. Melihatmu duduk di tepian jembatan. Sendirian. Menantiku tentu saja. Menantiku menggenggam tanganmu yang masih dingin. Yang bahkan lebih dingin sekarang. Terlalu dingin.

“Kau pergi jauh sekali. Kenapa jauh sekali...”

***
Air sungai di bawah jembatan itu berkilau memantulkan berupa-rupa warna langit di atasnya. Biru, merah, kuning dan jingga. Sekelompok burung terbang ke arah barat. Sepasang muda-mudi bersepeda bersama. Seorang pemuda masih duduk sendirian di tepian jembatan. Merentangkan tangan. Menyambut pagi. Menanti gadisnya yang tak akan datang. Takkan pernah bisa datang.


Jumat, 11 April 2014

kembar



Mereka bilang kami kembar. Kurasa tidak. Rambutnya hitam berkilau. Seperti ibu. Rambutku coklat. Tidak seperti ayah ataupun ibu. 

Mereka bilang kami kembar. Kurasa tidak. Matanya hitam cemerlang. Seperti ayah. Mataku coklat. 

Mereka bilang kami kembar. Tapi kurasa tidak. Perangainya lembut sekali. Gemar memasak dan menanam bunga. Seperti ibu. Aku menyukai olahraga. Tinju.

Mereka bilang kami serupa benar. Sama-sama pendiam. Kurasa tidak. Tidak sama sekali. Dia sering bicara. Cerewet sekali. Dia sering bicara pada malam, pada bintang, pada hujan. Aku tidak.

Mereka bilang kami kembar. Kurasa tidak. Dia suka menatap pelangi setelah hujan. Aku suka melihat kecoa gepeng di bawah sandalku.

Mereka bilang kami kembar. Tidak. Sungguh tidak. Dia begitu girang ketika melihat gaun-gaun yang dibelikan ibu untuk kami. Dan aku selalu senang menemani ayah membeli alat pertukangan. Palu, paku, gergaji.

Mereka bilang kami kembar. Kenapa sih mereka harus selalu mengatakan hal yang sama berulang-ulang? Dia selalu membayangkan pangeran tampan berkuda putih. Dan aku selalu membayangkan bagaimana sosok malaikat pencabut nyawa.

Mereka bilang kami kembar. Dan aku mulai muak. Karena kurasa tidak. Tidak.

Mereka bilang akhir-akhir ini tingkah kami serupa sekali. Benarkah? Dia menjadi seperti aku? Atau aku menjadi seperti dia?

Mereka bilang kami kembar. Aku benar-benar kesal dibuatnya. Tidak. Tidak. Tidak.

Suatu malam kudatangi dia yang sedang menatap bintang di beranda kamar tidur kami. Dia tersenyum. Aku tidak. Dia mulai bicara. Aku diam saja. Dia bercerita. Aku mulai kesal. Dia bersenandung. Aku benar-benar geram. Dia memeluk lenganku, menyandarkan kepala di pundakku. Rambutnya mengenai wajahku. Wangi sekali. Aku muak. Lalu kosong. Hitam. Mendadak segalanya berhenti. Tak ada beranda kamar. Tak ada bintang-bintang. Tak ada dia. Kosong. Kosong. Kosong. Hitam. Hitam. Hitam.

Teriakan ibu membawaku kembali. Pada beranda kamar. Pada bintang-bintang. Pada dia. Dia. Dia tergeletak bersimbah darah. Rambutnya yang coklat kusam berantakan sekali. Matanya yang coklat menatapku kosong. Kosong. Tak bernyawa. Mati.

Mereka bilang kami kembar. Dan ya, kami kembar. Kami kembar.



Rabu, 19 Maret 2014

telepon pagi



“ Aku memimpikanmu semalam,”masih dengan piyamanya, Karin beranjak dari tempat tidur menuju dapur.

Ari masih enggan beranjak dari tempat tidur. Tapi toh akhirnya dia bangun juga. Duduk di tepi tempat tidur, memandang ke luar jendela, “ Oh ya? Coba ceritakan.”

Karin memasukkan tiga sendok coklat bubuk ke dalam cangkirnya. Menambahkan sedikit sekali gula lalu menuangkan air panas. Mulai mengaduknya perlahan.

“ Ada banyak sekali orang waktu itu. Lalu kau datang. Menghampiriku. Entah bagaimana caranya kau menemukanku.” Karin membawa cangkirnya ke meja kecil dekat jendela di sudut dapur.

“ Lalu?” Ari berjalan malas menuju dapur. Berantakan sekali dapur ini, pikirnya.

“ Lalu kau membuka tas kecil panjang berwarna hitam. Ternyata isinya teleskop. Hei, jangan terlalu banyak kopinya.”

Ari urung memasukkan sendok keempat kopi toraja favoritnya. Ah, dia tau saja.

“ Iya, nggak banyak kok. Setelah kukeluarkan teleskop, lalu apa?” Ari mencari stoples wadah gula pasirnya. Dan berhasil menemukannya di dekat tumpukan piring kotor. Menuang air panas dan mulai mengaduk isi cangkirnya.

“ Lalu kau menggandeng tanganku. Mengajak keluar dari keramaian itu. Melihat langit dari balik teleskop.” Karin tersenyum sendiri. Memandang derasnya hujan di luar dari jendela dapur.

“ Apa yang terlihat waktu itu, Sayang?” Ari meletakkan cangkir kopi di meja kecil dekat jendela di sudut dapur.

“ Ada Jupiter bersama empat pengiringnya.”

 “ Hmm.. Kau rindu padaku?”

“ Tentu saja. Itu sebabnya aku sampai memimpikanmu.”

“ Aku juga rindu sekali padamu.”

Karin tersenyum mendengar kalimat Ari yang terakhir.

“ Hari ini jangan telat ngantor lagi ya Sayang.”

“ Iyaa...bawel kesayanganku. Ya sudah, aku mandi dulu ya.”

“ Oke.”

“ I love you.”

“ Love you too.”

Klik.

Karin meletakkan telepon selulernya di meja. Meminum lagi coklat panasnya yang kini sudah mulai dingin. Masih menatap hujan dari balik jendela. Dan masih merindukan laki-laki yang baru saja meneleponnya.

Ari menghabiskan kopi yang tersisa di cangkir. Menatap telepon seluler yang tergeletak di meja. Adalah foto seorang gadis sebagai latarnya. Gadis yang baru saja dia dengar suaranya lewat telepon. Ah, aku rindu sekali padamu, batinnya.

hei kamu, aku rindu.