Sabtu, 28 Juni 2014

di tepian jembatan aku (dan kau) menanti pagi



Adalah seorang gadis duduk di tepian sebuah jembatan. Kakinya bergerak berayun bebas. Sungai di bawah kakinya memantulkan warna merah. Semburat di langit timur. Matahari belum lagi sempurna terbit. Sepeda mini milik si gadis terparkir di ujung jembatan. Seperti menanti sesuatu. Atau seseorang?

Seseorang. Seorang pemuda menjadi jawabannya. Pemuda itu berjalan cepat menghampiri si gadis. Mengecup kepalanya. Membaui wangi rambut si gadis. Dan duduk menyebelahinya.

“Sudah lama?”

“Belum. Belum lama. Tidak pernah terlalu lama menunggumu.”

Warna kuning mulai dipantulkan air sungai di bawah kaki mereka. Matahari sebentar lagi muncul nampaknya.

Si pemuda meraih tangan si gadis. Menggenggamnya erat sekali. Seolah kali terakhir dia mampu melakukan itu.

“Tanganmu masih dingin. Belum ada yang menghangatkan?” tanyanya pada si gadis.

Si gadis menoleh. Menatap tangan dalam genggaman pemuda yang baik sekali hatinya. Lalu beralih menatap matanya.

“Tanganmu juga masih panas. Masih belum ada yang mendinginkan?”

Pemuda itu tersenyum. Tak menjawab.

“Aku senang melihatmu tersenyum. Kata orang-orang, kau jarang tersenyum sekarang,” ucap si gadis, menatap ujung kakinya yang kini sudah berhenti berayun-ayun.

“Tak ada kau,” si pemuda menjawab singkat, menatap langit yang kini beringsut benderang.

“Kau tahu aku selalu ada,” tangan si gadis yang bebas memegang lengan si pemuda, lanjutnya, “dan kenapa tanganmu sekurus ini?”

“Tak ada kau yang mengurusku,” ucap si pemuda. Masih menatap langit yang kini warnanya sudah berupa-rupa. Paduan biru, merah, kuning dan jingga.

Air sungai berkilau memantulkan aneka warna langit di atasnya.

“Aku akan mengurusmu selama kau inginkan. Selama kau tak memintaku pergi,” si gadis ikut menatap langit. Sekelompok burung terbang ke arah barat.

“Aku tak pernah ingin kau pergi.”

“Tapi kau pergi.” Kaca-kaca bening sudah memenuhi mata si gadis. Si pemuda meraih tubuh gadisnya. Memeluknya erat sekali.

“Aku sayang kamu,” ucap pemuda itu lirih. Masih memeluk si gadis, merasakan bahunya yang bergetar.

“Pergilah,” si gadis melepas  pelukan.

“Aku tak ingin pergi.”

“Tapi kau harus.”

“Aku akan datang lagi.”

Si gadis hanya tersenyum.

***
Kau datang. Selalu datang. Bahkan ketika tahu aku tak ada. Tak lagi ada. Seperti hari ini, hari ulang tahunmu, kau datang. Duduk di tepian jembatan. Menatap langit. Menanti matahari terbit. Menantiku hadir. Duduk di sebelahmu. Mengucap rindu. Yang sepertinya takkan pernah cukup sekalipun sudah diucap beribu-ribu.

“Selamat ulang tahun...”

***
“Selamat ulang tahun...”

Aku mendengarmu. Aku tahu kau ada disini. Selalu disini. 

Aku datang. Selalu datang. Melihatmu duduk di tepian jembatan. Sendirian. Menantiku tentu saja. Menantiku menggenggam tanganmu yang masih dingin. Yang bahkan lebih dingin sekarang. Terlalu dingin.

“Kau pergi jauh sekali. Kenapa jauh sekali...”

***
Air sungai di bawah jembatan itu berkilau memantulkan berupa-rupa warna langit di atasnya. Biru, merah, kuning dan jingga. Sekelompok burung terbang ke arah barat. Sepasang muda-mudi bersepeda bersama. Seorang pemuda masih duduk sendirian di tepian jembatan. Merentangkan tangan. Menyambut pagi. Menanti gadisnya yang tak akan datang. Takkan pernah bisa datang.


Jumat, 11 April 2014

kembar



Mereka bilang kami kembar. Kurasa tidak. Rambutnya hitam berkilau. Seperti ibu. Rambutku coklat. Tidak seperti ayah ataupun ibu. 

Mereka bilang kami kembar. Kurasa tidak. Matanya hitam cemerlang. Seperti ayah. Mataku coklat. 

Mereka bilang kami kembar. Tapi kurasa tidak. Perangainya lembut sekali. Gemar memasak dan menanam bunga. Seperti ibu. Aku menyukai olahraga. Tinju.

Mereka bilang kami serupa benar. Sama-sama pendiam. Kurasa tidak. Tidak sama sekali. Dia sering bicara. Cerewet sekali. Dia sering bicara pada malam, pada bintang, pada hujan. Aku tidak.

Mereka bilang kami kembar. Kurasa tidak. Dia suka menatap pelangi setelah hujan. Aku suka melihat kecoa gepeng di bawah sandalku.

Mereka bilang kami kembar. Tidak. Sungguh tidak. Dia begitu girang ketika melihat gaun-gaun yang dibelikan ibu untuk kami. Dan aku selalu senang menemani ayah membeli alat pertukangan. Palu, paku, gergaji.

Mereka bilang kami kembar. Kenapa sih mereka harus selalu mengatakan hal yang sama berulang-ulang? Dia selalu membayangkan pangeran tampan berkuda putih. Dan aku selalu membayangkan bagaimana sosok malaikat pencabut nyawa.

Mereka bilang kami kembar. Dan aku mulai muak. Karena kurasa tidak. Tidak.

Mereka bilang akhir-akhir ini tingkah kami serupa sekali. Benarkah? Dia menjadi seperti aku? Atau aku menjadi seperti dia?

Mereka bilang kami kembar. Aku benar-benar kesal dibuatnya. Tidak. Tidak. Tidak.

Suatu malam kudatangi dia yang sedang menatap bintang di beranda kamar tidur kami. Dia tersenyum. Aku tidak. Dia mulai bicara. Aku diam saja. Dia bercerita. Aku mulai kesal. Dia bersenandung. Aku benar-benar geram. Dia memeluk lenganku, menyandarkan kepala di pundakku. Rambutnya mengenai wajahku. Wangi sekali. Aku muak. Lalu kosong. Hitam. Mendadak segalanya berhenti. Tak ada beranda kamar. Tak ada bintang-bintang. Tak ada dia. Kosong. Kosong. Kosong. Hitam. Hitam. Hitam.

Teriakan ibu membawaku kembali. Pada beranda kamar. Pada bintang-bintang. Pada dia. Dia. Dia tergeletak bersimbah darah. Rambutnya yang coklat kusam berantakan sekali. Matanya yang coklat menatapku kosong. Kosong. Tak bernyawa. Mati.

Mereka bilang kami kembar. Dan ya, kami kembar. Kami kembar.



Rabu, 19 Maret 2014

telepon pagi



“ Aku memimpikanmu semalam,”masih dengan piyamanya, Karin beranjak dari tempat tidur menuju dapur.

Ari masih enggan beranjak dari tempat tidur. Tapi toh akhirnya dia bangun juga. Duduk di tepi tempat tidur, memandang ke luar jendela, “ Oh ya? Coba ceritakan.”

Karin memasukkan tiga sendok coklat bubuk ke dalam cangkirnya. Menambahkan sedikit sekali gula lalu menuangkan air panas. Mulai mengaduknya perlahan.

“ Ada banyak sekali orang waktu itu. Lalu kau datang. Menghampiriku. Entah bagaimana caranya kau menemukanku.” Karin membawa cangkirnya ke meja kecil dekat jendela di sudut dapur.

“ Lalu?” Ari berjalan malas menuju dapur. Berantakan sekali dapur ini, pikirnya.

“ Lalu kau membuka tas kecil panjang berwarna hitam. Ternyata isinya teleskop. Hei, jangan terlalu banyak kopinya.”

Ari urung memasukkan sendok keempat kopi toraja favoritnya. Ah, dia tau saja.

“ Iya, nggak banyak kok. Setelah kukeluarkan teleskop, lalu apa?” Ari mencari stoples wadah gula pasirnya. Dan berhasil menemukannya di dekat tumpukan piring kotor. Menuang air panas dan mulai mengaduk isi cangkirnya.

“ Lalu kau menggandeng tanganku. Mengajak keluar dari keramaian itu. Melihat langit dari balik teleskop.” Karin tersenyum sendiri. Memandang derasnya hujan di luar dari jendela dapur.

“ Apa yang terlihat waktu itu, Sayang?” Ari meletakkan cangkir kopi di meja kecil dekat jendela di sudut dapur.

“ Ada Jupiter bersama empat pengiringnya.”

 “ Hmm.. Kau rindu padaku?”

“ Tentu saja. Itu sebabnya aku sampai memimpikanmu.”

“ Aku juga rindu sekali padamu.”

Karin tersenyum mendengar kalimat Ari yang terakhir.

“ Hari ini jangan telat ngantor lagi ya Sayang.”

“ Iyaa...bawel kesayanganku. Ya sudah, aku mandi dulu ya.”

“ Oke.”

“ I love you.”

“ Love you too.”

Klik.

Karin meletakkan telepon selulernya di meja. Meminum lagi coklat panasnya yang kini sudah mulai dingin. Masih menatap hujan dari balik jendela. Dan masih merindukan laki-laki yang baru saja meneleponnya.

Ari menghabiskan kopi yang tersisa di cangkir. Menatap telepon seluler yang tergeletak di meja. Adalah foto seorang gadis sebagai latarnya. Gadis yang baru saja dia dengar suaranya lewat telepon. Ah, aku rindu sekali padamu, batinnya.

hei kamu, aku rindu.

Rabu, 12 Februari 2014

hai, Er...




Hai Er, apa kabar? Lama sekali tak dengar kabarmu. Aku rindu.
Er, masihkah kau simpan surat-surat kita? Aku masih. Aku rindu berbincang denganmu.

Benar kata orang rupanya, kehilangan begitu besar dirasakan ketika yang kita kasihi sudah pergi. Dan aku benar-benar kehilangan rasa nyaman seperti saat berbincang denganmu.

Er, hari-hari terakhir ini berat sekali rasanya kujalani. Butuh ruang tapi tak ada jeda. Dan seperti biasa, aku tak pandai menjabarkan yang kurasakan. Itu membuat bebanku menjadi-jadi.

Ingin lari rasanya, Er. Ingin teriak keras-keras. Ingin menangis lama-lama. Butuh ruang, Er. Butuh jeda. Atau mungkin butuh duduk bersama denganmu saja.

Aku tak butuh kalimat penghiburan, Er. Kau tahu itu. Aku hanya ingin kau dengarkan dalam kalimatku yang terbata-bata. Dalam nafasku yang tersengal-sengal. Aku hanya butuh ruang dimana hanya suaraku dan suaramu saja yang terdengar. Tak ada bising. Tak ada ramai.

Kau tahu Er, masih saja ku ingat saat kau mengingatkanku pada salah satu ayat dalam kitab suci, “ Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” Aku tahu begitulah caramu menguatkanku. Dan aku akan selalu berterima kasih untuk itu.

Tapi Er, sekalipun aku tahu akan mampu, kadangkala sesak itu masih saja menghimpit dada. Ketika keputusan-keputusan besar dan sulit harus kubuat. Ketika tak ada yang dapat kumintai pertimbangan. Ketika waktu tak jua memberiku jawaban. Ketika diam pun tak menyelesaikan. Aku tidak tahu harus berbuat apa, Er. Lelah.

Menyerah. Akhirnya kupejamkan mata. Berusaha memisahkan diri dari keramaian. Menghadirkanmu dalam benakku. Duduk canggung di hadapanku. Membenarkan letak kacamatamu.  Memberiku sebuah senyuman dan berkata, “ Kamu mampu lewati ini.”

Senin, 03 Februari 2014

sajak terima kasih


terima kasih untuk tidak menuntutku mengucapkan rindu setiap hari, tapi kau tetap merinduiku dari pagi ke pagi.

terima kasih untuk tak pernah membuatku merasakan rasanya tak berarti karena adanya orang lain yang lebih istimewa daripada aku.

terima kasih untuk tak pernah memaksaku bersabar atasmu, tapi kau selalu bersabar atas sifat kekanakanku.

terima kasih untuk selalu menjadi nyata dalam hidupku, dan tak pernah menuntutku selalu ada dalam kehidupan mayamu sekalipun.

terima kasih untuk hadirkan bahagia untukku, sekalipun aku tak membawa hal yang sama untukmu.

dan terima kasih untuk tak pernah berusaha mengimbangi rasa sakitku denganmu, karena kau selalu ingin mengambil semua bagianku.