Kamis, 25 Desember 2014

Banyuwangi (2)




Alas Purwo

Membuka pagi hari kedua di Banyuwangi dengan bersiap-siap untuk perjalanan panjang. Pukul tujuh pagi kami sudah siap berangkat. Alas Purwo menjadi destinasi pertama kami di hari itu. Butuh waktu yang tidak sebentar untuk mencapai Alas Purwo, jadi aku pun memiliki cukup waktu memperhatikan kota Banyuwangi yang mulai sibuk di Minggu pagi. Lepas melewati kota, kami pun melintasi area persawahan sebelum benar-benar memasuki kawasan hutan. Jalan tak selalu mulus. Tapi pemandangan sekitar lebih mampu menarik fokusku. Kamera mulai tak lepas dari tangan. Kurang beberapa menit saja menjelang pukul sembilan tiga puluh ketika gapura Taman Nasional Alas Purwo menyambut kami. 


gapura Taman Nasional Alas Purwo

Alas Purwo, tempat yang begitu menarik perhatianku setelah menonton acara jalan-jalan di televisi, kini benar-benar di depan mata. Ada sedikit rasa tak percaya aku benar-benar sampai di tempat ini. Setelah membayar retribusi, kami meneruskan perjalanan sambil pepotoan *teteepp*. Pohon-pohon yang berderet rapat di kanan dan kiri jalan menciptakan suasana dramatis. Membuatku tak bosan-bosan mengambil gambar. Meski begitu, pemandangan tak melulu pohon. Kami juga melewati sebuah pura yang  cukup besar. Pura Luhur Giri Salaka. Lalu pura yang lebih kecil berada tak jauh dari Pura Luhur Giri Salaka. Situs Kawitan namanya. Kami sepakat akan mengunjungi pura-pura itu saat perjalanan pulang nanti. Belum lagi lima menit menjauh dari Situs Kawitan tadi, kami dikejutkan oleh anak kijang yang tiba-tiba melintas di jalan yang kami lalui. Kami tak ingin terlalu dekat saat mengambil gambar. Khawatir anak kijangnya lari. Ah, beruntung sekali mendapat kejutan seperti itu. Setelah anak kijang kembali berlari di antara pepohonan, kami pun melanjutkan perjalanan. 



anak kijang


Pukul sepuluh pagi ketika kami sampai di Pantai Pancur. Kawasan ini selain memiliki objek wisata pantai juga memiliki area camping ground dengan pohon-pohon besar yang teduh dan goa istana dimana sering digunakan untuk ritual bagi beberapa orang yang percaya. Tempat ini pula yang menjadi pintu gerbang menuju Pantai Plengkung atau dikenal juga dengan istilah G-land. Pantai yang begitu populer di kalangan surfer seluruh dunia. Ombak luar biasa yang disebut-sebut bertaraf internasional ini mampu memikat para surfer profesional. Menengok sebentar suasana Pantai Pancur. Sedikit mengecewakan karena banyaknya sampah disana-sini. Membuatku enggan berlama-lama dan ingin segera menuju pantai yang menjadi tujuan utama kami, Pantai Plengkung. Dan kejutan kedua hadir saat kami menyelesaikan kunjungan ke Pantai Pancur. Seekor kadal besar lewat di depan kami. Biawak? Entahlah. Aku tak yakin benar.  Sayangnya tak sempat memotret karena kemudian menghilang diantara semak. Fauna lain yang banyak kami temui adalah monyet. Begitu bebas bergelantungan di pohon-pohon. Bahkan tak sedikit yang sedang asyik nongkrong di pagar.

Pantai Pancur

Pantai Plengkung masih sembilan kilometer jauhnya dari Pantai Pancur. Ada dua alternatif yang bisa dipilih untuk sampai kesana. Yang pertama dengan berjalan kaki. Yang kedua menyewa mobil dengan biaya 250 ribu. Saat kami tiba, belum banyak pengunjung. Bahkan belum ada yang hendak melakukan perjalanan ke Pantai Plengkung. Rasanya sayang menyewa mobil berdua saja dengan harga segitu. Haha. Kami pun sepakat untuk memilih alternatif yang pertama. Berjalan kaki. Sejauh sembilan kilometer. Aku senang mengulangi dua kata ini, sembilan kilometer :)).

9 Kilometer

Kami mulai berjalan kaki dengan riang gembira. Hari masih pagi, masih bersemangat. Dalam perjalanan, kami menjumpai hutan bambu lagi. Bambu-bambu di Alas Purwo cukup dominan. Tersebar di banyak tempat sepanjang jalan yang kami lalui. Dan menurut katalog yang diberikan di pos retribusi, ada lebih dari sembilan jenis bambu di Taman Nasional Alas Purwo. Dintaranya Bambu Ampel, Bambu Wuluh, Bambu Apus, Bambu Gesing, Bambu Jajang, Bambu Jalar, Bambu Jawa, Bambu Ori, Pring Manggong dan entah jenis apa lagi. Jangan tanyakan padaku bagaimana membedakan jenis-jenis bambu itu. Aku pun tak mengerti.

bambusa sp.

Pemandangan bambu berganti menjadi pohon-pohon tinggi. Ada beberapa anggrek hutan terlihat menempel di pohon-pohon. Kadangkala kami juga melewati jembatan. Dan kemudian kami menyadari bahwa jembatan-jembatan itu memiliki nama. Dinamai dengan nama hewan-hewan. Beberapa pendek saja, namun ada juga jembatan yang panjang, salah satunya jembatan rajawali. Di bawah beberapa jembatan tersebut terdapat sungai air payau.

jembatan rajawali

Satu jam berjalan dan kami cukup letih. Beristirahat sejenak sambil mengintip yang ada di balik pepohonan di sebelah kanan kami. Dan taraaa...ada pantai indah berpasir putih disana. Minum beberapa teguk air dan makan beberapa potong biskuit sambil memandangi birunya langit dan pantai memompa semangat kami lagi. Perjalanan diteruskan. Ada beberapa fauna yang kami temui, diantaranya lutung, burung-burung berwarna indah, juga elang. Mendengar kepakan elang yang sangat jelas membuatku membayangkan sebesar apa hewan yang mampu menghasilkan suara kepakan seperti itu. Beruntung bagi kami yang berjalan kaki dibanding mereka yang menggunakan mobil sebagai alat transportasi karena kami dapat mengamati hal-hal seperti itu lebih dekat.

pantai bonus pertama

Dua jam berlalu. Matahari sudah tinggi. Dan sepertinya belum ada tanda-tanda akan sampai. Kami beristirahat lagi. Mengintip lagi pantai di balik pepohonan. Kali ini lebih indah dan lebih bersih dari yang pertama. Rasanya ingin menggelar matras dan berlama-lama menikmati pantai layaknya pantai pribadi. Tapi hati mestilah tetap. Tujuan kami adalah mencapai Pantai Plengkung. Jadi perjalanan tak boleh berhenti disini. Hap hap!

pantai bonus kedua





Dua jam dan lima belas menit kami berjalan kaki dan sampailah saat yang membahagiakan itu. Saat dimana papan bertuliskan Pantai Plengkung terlihat. Saat dimana perahu-perahu nelayan yang ditambatkan terlihat begitu indah berkolaborasi dengan pantai yang tenang. Meski senang, energi kami begitu terkuras, lapar sudah mendera. Maka tanpa babibu lagi kami menanyakan pada orang yang berjaga di pos dimana letak warung makan terdekat. Tapi apa mau dikata, ternyata pantai yang tenang menandakan Pantai Plengkung atau G-land tengah off-season. Semua warung tutup. Ah, pantas saja dari tadi kami tak melihat satu pun turis mancanegara padahal konon pantai ini begitu terkenal di luar negeri sana. Beruntung bekal air dan makanan kecil kami masih, maka beristirahatlah kami sejenak. Menikmati tenangnya pantai yang sesekali dibuat meriah oleh burung-burung berwarna indah dan juga gagak yang beberapa kali tampak terbang tak terlalu tinggi di atas pantai.







Hampir pukul setengah dua ketika kami hendak beranjak pulang. Lagi-lagi beruntungnya kami, sopir bus yang membawa turis lokal menawari kami naik mobilnya. Masih ada tempat katanya. Kami hanya perlu menunggu sebentar lagi hingga para turis lokal itu menyelesaikan foto-foto. Kami pun duduk menunggu sambil mengambil beberapa gambar. Namun tak lama, sang sopir yang baik hati itu mengajak kami pulang lebih dulu. Mau beli solar dulu, katanya. Jadilah kami bertiga bermobil kembali ke Pos Pantai Pancur. Mengingat jalan yang tidak rata dan di beberapa tempat terdapat genangan air sisa hujan jadilah kami serasa sedang naik mobil off-road. Ya, memang off-road sih jalannya :p. Kami memerlukan waktu dua jam berjalan kaki untuk sampai ke Pantai Plengkung yang ternyata setara dengan tiga puluh menit bermobil. Haha.

Sangat berterima kasih pada bapak sopir yang baik hati. Agenda berikutnya yang tidak bisa ditunda adalah makan siang. Kami tak menghabiskan waktu terlalu lama di warung makan. Hari sudah sangat siang dan masih ada beberapa tempat yang harus kami kunjungi sebelum gelap. Dan segera setelah menunaikan ibadah sholat, kami meluncur meninggalkan Pos Pantai Pancur. Mengunjungi pura. Namun sebelum mencapai pura, ada sebuah pertigaan yang mengarah ke Pantai Trianggulasi. Tanggung rasanya kalau tidak mampir. Dan akhirnya beloklah motor kami menuju Pantai Trianggulasi. Pantai yang memiliki bangunan mirip pendopo dan pagar-pagar dari kayu ini tak ada pengunjungnya. Sepi. Kami kompak sekali saat mengatakan bahwa pantai ini adalah tempat sempurna untuk menyaksikan matahari tenggelam. Tapi kami harus meninggalkan Alas Purwo sebelum gelap. Demi manajemen waktu yang sudah disusun. Sekejap saja kami menikmati eloknya Pantai Trianggulasi dan beralih mengunjungi pura.

Pantai Trianggulasi

Pura pertama yang kami jumpai dari arah Pantai Pancur adalah Situs Kawitan. Terlihat seorang ibu paruh baya yang tengah menyapu ketika kami mendekati pura. Kami pun menyapa dan bertanya ini-itu sebelum masuk ke pura. Lantas berfoto-foto dan berpamitan kepada ibu yang nampaknya mengabdikan hidupnya untuk membersihkan dan merawat pura. Singkat saja kunjungan kami ke Situs Kawitan. 

Situs Kawitan

Sesingkat kunjungan kami ke Situs Kawitan, begitu pula saat mengunjungi Pura Luhur Giri Salaka. Pura ini lebih besar dibanding Situs Kawitan. Memiliki teras dengan patung-patung layaknya penjaga. Berbeda dengan Situs Kawitan yang hanya memiliki satu pintu masuk dari depan, pura ini memiliki tiga pintu dimana pintu yang tengah merupakan yang paling besar. Namun pintu itu tertutup ketika kami tiba. Hanya satu pintu sebelah kiri yang terbuka. Aku menaiki anak tangga perlahan demi mencapai pintu yang terbuka. Melongok hati-hati dan menjumpai dua orang lelaki tengah menyapu halaman dalam pura. Mereka memakai pakaian putih-putih yang mirip dengan pakaian adat Bali. Aku pun meminta ijin untuk masuk ke dalam pura. Diijinkan. Di bagian kiri dari pintu masuk pura terdapat bangunan semacam candi mini yang nampaknya merupakan pusat peribadatan. Dihiasi payung-payung mini. Di depan candi terhampar halaman yang cukup luas. Halaman ini tak seluruhnya tanah. Ada ornamen batu-batu semen yang disusun seperti setapak-setapak kecil. Dan di ujung kanan pura terdapat tiga buah pendopo dimana pendopo tengah lebih tinggi dibanding pendopo di kanan-kirinya. Aku tidak tau fungsi masing-masing bangunan di pura ini. Dan rasanya sungkan bila ingin bertanya-tanya pada kedua bapak yang sedang bekerja. Jadi ambil gambarnya sajalah. Setelah puas mengambil beberapa gambar, kami pun berpamitan pada kedua bapak tersebut dan melanjutkan perjalanan. 

tampak depan Pura Luhur Giri Salaka

tampak dalam Pura Luhur Giri Salaka


pelataran dan pendopo


Tidak ada komentar:

Posting Komentar