Kamis, 25 Desember 2014

Banyuwangi (3)



Kawah Gunung Ijen

Sudah sore ketika kami keluar dari kawasan Taman Nasional Alas Purwo. Tujuan berikutnya adalah Rogojampi. Sebuah kawasan dimana salah seorang sepupunya tinggal. Kami akan mampir sejenak untuk istirahat atau sekedar numpang mandi sebelum melanjutkan perjalanan ke Kawah Gunung Ijen. Sempat berhenti sejenak di tepi jalan untuk mengambil gambar langit senja yang sayang dilewatkan. Sudah lepas maghrib ketika kami akhirnya sampai di rumah sepupunya. Yang berkesan dari kunjungan itu buatku adalah anak mereka yang diberi nama Heaven. Aku belum pernah menjumpai bocah kecil dengan nama seperti itu. Umurnya sekitar tiga tahun. Aktif sekali, terlihat sangat tertarik dengan warna-warna dan terutama tertarik pada benda-benda berbahan beling. Bersyukur sekali bertemu banyak orang baik di perjalananku kali ini. Kak Her, ayah Heaven, memiliki kesenangan menerima tamu di rumahnya. Dia tak segan untuk menawari menginap bahkan untuk orang yang baru saja dikenalnya di warung makan. Baik sekali. Kak Her begitu antusias bertanya soal gunung-gunung dan pendakian. Membuat lawan bicara juga ikut antusias ketika menjawab.

senja di hari ke tujuh bulan Desember

Pukul sembilan adalah waktu yang kami sepakati untuk berangkat. Sayangnya, aku ketiduran. Penat berjalan kaki sembilan kilometer membawa kantuk datang lebih awal rupanya. Pukul sepuluh tepat ketika kami bersiap-siap meninggalkan rumah Kak Her. Ketiduran satu jam tak membuatku lupa instruksi dari Kak Her untuk menuju Kawah Gunung Ijen. Lampu merah patung kuda belok kiri, lurus, lampu merah kedua belok kiri, lewat rel kereta, patung bagong belok kiri, pertigaan pertama dari situ belok kanan dan luruuuusss terus. Instruksi yang terdengar mudah dan dekat nyatanya tidak. Butuh waktu satu jam dan tiga puluh menit untuk mencapai basecamp Kawah Gunung Ijen. Belum lagi instruksi yang terakhir yakni belok kanan dan lurus terus itu tak bermakna lurus yang sesungguhnya. Jalan memang hanya ada satu, tak ada persimpangan. Tapi sungguh, bilangan keloknya sangat banyak. Belum lagi malam yang makin pekat, dingin yang mulai menggigit, kantuk yang mulai menyerang, dan sepinya jalanan. Jalan yang kami lalui benar-benar sunyi, nol pengendara selain kami. Di depan kami nampak dua gunung tinggi menjulang diantara kegelapan malam. Di kanan kiri jalan yang kami lalui tak ada lagi rumah ataupun lampu jalan. Yang ada hanya semak dan pepohonan. Membuat perjalanan kami semakin mencekam.

Sudah hampir merasa jalanan ini tak ada ujungnya ketika akhirnya kami menemukan lampu dan bangunan. Basecamp Kawah Gunung Ijen. Belum jauh dari menit ke dua puluh lima lewat jam sebelas ketika kami memarkir motor. Terlihat segerombolan anak muda tak jauh dari area parkir motor. Kami pun bertanya pada mereka perihal pendaftaran dan pembayaran retribusi sebab tak terlihat ada pintu yang terbuka di bangunan-bangunan ini. Kami tak tahu mesti mendaftar kemana. Dan mereka sendiri tak tahu kemana perginya si bapak pendaftar. Tapi mereka disarankan untuk memulai pendakian jam satu dini hari agar tidak mengganggu perjalanan para penambang belerang. Ijen memang terkenal dengan tambang belerangnya. Para penambang biasanya membawa dua buah keranjang dari bambu yang dihubungkan dengan sebilah bambu atau kayu untuk kemudian diisi belerang dan mereka panggul dari area kawah gunung. Berat.

Kurang beberapa menit menjelang pukul satu, kami bersiap. Terlihat sebuah bangunan di kiri jalan dari arah pintu masuk yang terbuka pintunya. Kami pun masuk. Dan benar rupanya, disitulah tempat pembayaran retribusi. Kami berangkat bersamaan dengan rombongan anak muda tadi, yang rupanya berangkat dari Kampung Inggris, Pare, Kediri. Di awal perjalanan kami berjalan di belakang rombongan. Namun seringnya mereka istirahat membuat kami pun menyalip dan akhirnya berada cukup jauh di depan mereka. Satu jam pertama pendakian jalanan begitu menanjak. Hampir tidak ada tanah landai yang sering kami sebut ‘bonus’. Benar-benar menanjak. Komposisi tanah dan kerikil kecil ditambah lagi dalam keadaan menanjak seperti ini membuatku benar-benar bersyukur hujan tidak turun. Akan sangat licin bila saja hujan turun cukup deras.

Pukul dua kurang lima menit ketika kami memutuskan untuk duduk sejenak di sebuah bangunan semi-permanen yang terlihat seperti sebuah warung. Bersama kami waktu itu ada seorang turis perempuan sedang mendengarkan penjelasan dari guide setempat. Nguping sedikit rasanya tak apa untuk mendapat tambahan informasi perihal Ijen. Kami tak berlama-lama, sebab istirahat yang terlalu lama biasanya membuat badan malas bergerak kembali. Jalan tak terlalu menanjak lagi di satu jam kedua. Banyak tanah landai yang berkelok. Lelah dan kantuk kembali menyerang, atau mungkin sebenarnya tak pernah pergi? Dan kemudian aku sampai pada titik dimana asap kawah mulai terlihat. Lereng diantara kawah dan tempatku berdiri terasa mencekam dalam sunyi dan kegelapan. Teksturnya membentuk pola seperti garis-garis jalur lelehan lava berwarna gelap dan terang berselang-seling. Membuatku membayangkan seperti mendarat di bulan.

Dari titik aku berdiri, kami harus turun melewati jalan yang berbatu-batu untuk dapat melihat fenomena yang menjadi ciri khas Gunung Ijen ini, Blue Fire, Api Biru. Fenomena api biru ini terjadi sepanjang hari sebenarnya, hanya saja akan terlihat sangat jelas saat malam atau gelap. Terletak di dekat kawah sehingga kami harus turun untuk bisa melihat lebih dekat. Ada batu-batu yang disusun menjadi anak tangga dan diberi pagar di beberapa titik berbahaya. Namun semakin ke bawah, semakin jarang anak tangga batu ini dijumpai dan semakin tercium pula aroma belerang yang khas. Masker pun menjadi wajib digunakan demi keamanan. Beberapa kali kami berpapasan dengan para penambang yang mengangkut belerang. Jalan yang sempit membuat kami bergeser merapat pada batu untuk memberi jalan bagi para penambang. Ini kali pertama aku menyaksikan fenomena api biru. Membayangkan ada sebuah kompor gas raksasa di dalam gunung dan mengeluarkan kobaran api biru besar yang menjilat-jilat. Indah sekali. Benar-benar indah.

blue fire dari kejauhan
berfoto dengan blue fire

Kamera pocketku tak terlalu mampu menangkap kobaran api biru. Tapi aku memiliki kamera yang jauh lebih baik yang bahkan tidak perlu mensetting untuk membuatnya berubah menjadi kamera perekam. Mata. Mataku akan menangkap gambar fenomena langka blue fire Kawah Gunung Ijen dan secara otomatis mengirimnya ke ruangan penyimpanan file memori di otak. Rombongan anak muda yang kami selip tadi sudah mulai berdatangan ketika aku menyerah (mencoba) mengambil gambar api biru. Kami pun beranjak naik lagi. Berpapasan dengan banyak turis lokal maunpun mancanegara dalam perjalanan dari kawah. Mereka baru akan turun ke dekat kawah.

Masih pukul empat pagi ketika kami sampai di atas lagi. Masih gelap. Dan istirahat menjadi pilihan yang masuk akal karena tak ada hal lain yang bisa dilakukan. Tak ada sunrise yang spektakuler hari itu meskipun menyaksikan langit pagi dari gunung selalu indah. Mendung menggantung. Semoga tidak hujan. Dan ketika cahaya perlahan menerangi sekitarku yang semula gelap pekat, terlihatlah pesona kawah Ijen yang sesungguhnya. Kawah yang memiliki tingkat keasaman sangat tinggi itu begitu indah dengan warna hijaunya. Asap yang keluar dari dasar kawah menambah efek dramatis. Para penambang belerang masih lalu lalang. Pemandangan yang semenakjubkan ini sudah menjadi makanan sehari-hari buat mereka. Melihat pengunjung yang tercengang dan kegirangan mengambil gambar keindahan Ijen pun pastilah sudah terlalu sering.  Beratnya beban belerang yang mereka pikul tentulah lebih menuntut fokus.

langit pagi hari ke delapan bulan Desember
kawah Ijen

penambang belerang

Belum genap jam enam pagi ketika kami beranjak turun. Dingin masih menggigit. Mungkin berjalan akan sedikit menghangatkan badan. Beberapa jam lalu, dalam kegelapan, yang kami perhatikan hanyalah setapak yang berkelok-kelok. Namun pagi itu, cahaya mentari yang mulai merayap naik membuat segala apa yang tadinya hitam menjadi berwarna-warni. Tanah yang kecoklatan bercampur dengan warna kuning  khas belerang disana-sini, hijaunya pepohonan, coklat kehitaman warna ranting kering, dan meskipun sedikit mendung, birunya langit masih terlihat.

kelokan setapak

selat Bali (?) dilihat dari Ijen

lembah penghiburan kala lelah

Tiga puluh menit berlalu. Dan kami telah sampai di bangunan yang dini hari tadi kuperkirakan adalah sebuah warung. Dan benar saja, memang warung. Sudah buka saat kami sampai disana. Yang tidak kuperhatikan dini hari tadi adalah bahwa ada bangunan lain di dekat warung. Bentuknya melengkung hampir bulat dengan banyak jendela dan didominasi oleh catnya yang berwarna merah. Mungkin karena bentuknyalah bangunan ini dinamai Pondok Bunder Kawah Ijen. Tak nampak ada orang di dalamnya. Tapi sungkan rasanya melongok ke dalam bahkan sekedar untuk tahu apa isi pondok tersebut. Dan hingga aku menuliskan catatan ini, aku tetap tidak tahu apa sebenarnya fungsi Pondok Bunder itu.

Pondok Bunder Kawah Ijen

Menikmati secangkir kopi hangat di warung terasa menyenangkan sebelum kami benar-benar turun dan pulang. Kembali ke peradaban dengan padatnya aneka aktifitas manusia. Dan Ijen, terima kasih untuk suguhan yang sangat luar biasa ini. Semoga ada kali lain bagi kakiku untuk menapaki lagi setapakmu.

pulang

***

Pagi keempat di Banyuwangi. Saatnya berkemas. Dan seperti pagi-pagi sebelumnya yang tidak biasa di Banyuwangi, pagi itu rupanya ada kejutan yang sudah disiapkan untukku. Adek masuk ke kamar dan membawa kue tart dengan lilin yang menyala di atasnya ketika aku tengah berkemas. Kue ulang tahunku. Ya, hari itu 9 Desember, hari ulang tahunku. Aku mendadak kehilangan kata-kata saat melihat itu semua. Kaget bercampur senang dan haru. Terima kasih ya, kamu.


Berat rasanya berpamitan. Tapi mesti dilakukan. Dan tepat pukul delapan pagi ketika Sri Tanjung meninggalkan Kalibaru. Meninggalkan kota yang sudah membekaliku dengan kenangan yang kubagi maupun yang kusimpan sendiri. Terima kasih, Banyuwangi.



Pukul sepuluh lebih dua puluh delapan menit ketika aku menyelesaikan catatan ini. Sudah malam. Aku sudah cukup banyak mengingat. Waktunya istirahat dan membiarkan otakku merapikan kembali memori yang sudah kubongkar di beberapa waktu terakhir ini. Selamat malam.
























Banyuwangi (2)




Alas Purwo

Membuka pagi hari kedua di Banyuwangi dengan bersiap-siap untuk perjalanan panjang. Pukul tujuh pagi kami sudah siap berangkat. Alas Purwo menjadi destinasi pertama kami di hari itu. Butuh waktu yang tidak sebentar untuk mencapai Alas Purwo, jadi aku pun memiliki cukup waktu memperhatikan kota Banyuwangi yang mulai sibuk di Minggu pagi. Lepas melewati kota, kami pun melintasi area persawahan sebelum benar-benar memasuki kawasan hutan. Jalan tak selalu mulus. Tapi pemandangan sekitar lebih mampu menarik fokusku. Kamera mulai tak lepas dari tangan. Kurang beberapa menit saja menjelang pukul sembilan tiga puluh ketika gapura Taman Nasional Alas Purwo menyambut kami. 


gapura Taman Nasional Alas Purwo

Alas Purwo, tempat yang begitu menarik perhatianku setelah menonton acara jalan-jalan di televisi, kini benar-benar di depan mata. Ada sedikit rasa tak percaya aku benar-benar sampai di tempat ini. Setelah membayar retribusi, kami meneruskan perjalanan sambil pepotoan *teteepp*. Pohon-pohon yang berderet rapat di kanan dan kiri jalan menciptakan suasana dramatis. Membuatku tak bosan-bosan mengambil gambar. Meski begitu, pemandangan tak melulu pohon. Kami juga melewati sebuah pura yang  cukup besar. Pura Luhur Giri Salaka. Lalu pura yang lebih kecil berada tak jauh dari Pura Luhur Giri Salaka. Situs Kawitan namanya. Kami sepakat akan mengunjungi pura-pura itu saat perjalanan pulang nanti. Belum lagi lima menit menjauh dari Situs Kawitan tadi, kami dikejutkan oleh anak kijang yang tiba-tiba melintas di jalan yang kami lalui. Kami tak ingin terlalu dekat saat mengambil gambar. Khawatir anak kijangnya lari. Ah, beruntung sekali mendapat kejutan seperti itu. Setelah anak kijang kembali berlari di antara pepohonan, kami pun melanjutkan perjalanan. 



anak kijang


Pukul sepuluh pagi ketika kami sampai di Pantai Pancur. Kawasan ini selain memiliki objek wisata pantai juga memiliki area camping ground dengan pohon-pohon besar yang teduh dan goa istana dimana sering digunakan untuk ritual bagi beberapa orang yang percaya. Tempat ini pula yang menjadi pintu gerbang menuju Pantai Plengkung atau dikenal juga dengan istilah G-land. Pantai yang begitu populer di kalangan surfer seluruh dunia. Ombak luar biasa yang disebut-sebut bertaraf internasional ini mampu memikat para surfer profesional. Menengok sebentar suasana Pantai Pancur. Sedikit mengecewakan karena banyaknya sampah disana-sini. Membuatku enggan berlama-lama dan ingin segera menuju pantai yang menjadi tujuan utama kami, Pantai Plengkung. Dan kejutan kedua hadir saat kami menyelesaikan kunjungan ke Pantai Pancur. Seekor kadal besar lewat di depan kami. Biawak? Entahlah. Aku tak yakin benar.  Sayangnya tak sempat memotret karena kemudian menghilang diantara semak. Fauna lain yang banyak kami temui adalah monyet. Begitu bebas bergelantungan di pohon-pohon. Bahkan tak sedikit yang sedang asyik nongkrong di pagar.

Pantai Pancur

Pantai Plengkung masih sembilan kilometer jauhnya dari Pantai Pancur. Ada dua alternatif yang bisa dipilih untuk sampai kesana. Yang pertama dengan berjalan kaki. Yang kedua menyewa mobil dengan biaya 250 ribu. Saat kami tiba, belum banyak pengunjung. Bahkan belum ada yang hendak melakukan perjalanan ke Pantai Plengkung. Rasanya sayang menyewa mobil berdua saja dengan harga segitu. Haha. Kami pun sepakat untuk memilih alternatif yang pertama. Berjalan kaki. Sejauh sembilan kilometer. Aku senang mengulangi dua kata ini, sembilan kilometer :)).

9 Kilometer

Kami mulai berjalan kaki dengan riang gembira. Hari masih pagi, masih bersemangat. Dalam perjalanan, kami menjumpai hutan bambu lagi. Bambu-bambu di Alas Purwo cukup dominan. Tersebar di banyak tempat sepanjang jalan yang kami lalui. Dan menurut katalog yang diberikan di pos retribusi, ada lebih dari sembilan jenis bambu di Taman Nasional Alas Purwo. Dintaranya Bambu Ampel, Bambu Wuluh, Bambu Apus, Bambu Gesing, Bambu Jajang, Bambu Jalar, Bambu Jawa, Bambu Ori, Pring Manggong dan entah jenis apa lagi. Jangan tanyakan padaku bagaimana membedakan jenis-jenis bambu itu. Aku pun tak mengerti.

bambusa sp.

Pemandangan bambu berganti menjadi pohon-pohon tinggi. Ada beberapa anggrek hutan terlihat menempel di pohon-pohon. Kadangkala kami juga melewati jembatan. Dan kemudian kami menyadari bahwa jembatan-jembatan itu memiliki nama. Dinamai dengan nama hewan-hewan. Beberapa pendek saja, namun ada juga jembatan yang panjang, salah satunya jembatan rajawali. Di bawah beberapa jembatan tersebut terdapat sungai air payau.

jembatan rajawali

Satu jam berjalan dan kami cukup letih. Beristirahat sejenak sambil mengintip yang ada di balik pepohonan di sebelah kanan kami. Dan taraaa...ada pantai indah berpasir putih disana. Minum beberapa teguk air dan makan beberapa potong biskuit sambil memandangi birunya langit dan pantai memompa semangat kami lagi. Perjalanan diteruskan. Ada beberapa fauna yang kami temui, diantaranya lutung, burung-burung berwarna indah, juga elang. Mendengar kepakan elang yang sangat jelas membuatku membayangkan sebesar apa hewan yang mampu menghasilkan suara kepakan seperti itu. Beruntung bagi kami yang berjalan kaki dibanding mereka yang menggunakan mobil sebagai alat transportasi karena kami dapat mengamati hal-hal seperti itu lebih dekat.

pantai bonus pertama

Dua jam berlalu. Matahari sudah tinggi. Dan sepertinya belum ada tanda-tanda akan sampai. Kami beristirahat lagi. Mengintip lagi pantai di balik pepohonan. Kali ini lebih indah dan lebih bersih dari yang pertama. Rasanya ingin menggelar matras dan berlama-lama menikmati pantai layaknya pantai pribadi. Tapi hati mestilah tetap. Tujuan kami adalah mencapai Pantai Plengkung. Jadi perjalanan tak boleh berhenti disini. Hap hap!

pantai bonus kedua





Dua jam dan lima belas menit kami berjalan kaki dan sampailah saat yang membahagiakan itu. Saat dimana papan bertuliskan Pantai Plengkung terlihat. Saat dimana perahu-perahu nelayan yang ditambatkan terlihat begitu indah berkolaborasi dengan pantai yang tenang. Meski senang, energi kami begitu terkuras, lapar sudah mendera. Maka tanpa babibu lagi kami menanyakan pada orang yang berjaga di pos dimana letak warung makan terdekat. Tapi apa mau dikata, ternyata pantai yang tenang menandakan Pantai Plengkung atau G-land tengah off-season. Semua warung tutup. Ah, pantas saja dari tadi kami tak melihat satu pun turis mancanegara padahal konon pantai ini begitu terkenal di luar negeri sana. Beruntung bekal air dan makanan kecil kami masih, maka beristirahatlah kami sejenak. Menikmati tenangnya pantai yang sesekali dibuat meriah oleh burung-burung berwarna indah dan juga gagak yang beberapa kali tampak terbang tak terlalu tinggi di atas pantai.







Hampir pukul setengah dua ketika kami hendak beranjak pulang. Lagi-lagi beruntungnya kami, sopir bus yang membawa turis lokal menawari kami naik mobilnya. Masih ada tempat katanya. Kami hanya perlu menunggu sebentar lagi hingga para turis lokal itu menyelesaikan foto-foto. Kami pun duduk menunggu sambil mengambil beberapa gambar. Namun tak lama, sang sopir yang baik hati itu mengajak kami pulang lebih dulu. Mau beli solar dulu, katanya. Jadilah kami bertiga bermobil kembali ke Pos Pantai Pancur. Mengingat jalan yang tidak rata dan di beberapa tempat terdapat genangan air sisa hujan jadilah kami serasa sedang naik mobil off-road. Ya, memang off-road sih jalannya :p. Kami memerlukan waktu dua jam berjalan kaki untuk sampai ke Pantai Plengkung yang ternyata setara dengan tiga puluh menit bermobil. Haha.

Sangat berterima kasih pada bapak sopir yang baik hati. Agenda berikutnya yang tidak bisa ditunda adalah makan siang. Kami tak menghabiskan waktu terlalu lama di warung makan. Hari sudah sangat siang dan masih ada beberapa tempat yang harus kami kunjungi sebelum gelap. Dan segera setelah menunaikan ibadah sholat, kami meluncur meninggalkan Pos Pantai Pancur. Mengunjungi pura. Namun sebelum mencapai pura, ada sebuah pertigaan yang mengarah ke Pantai Trianggulasi. Tanggung rasanya kalau tidak mampir. Dan akhirnya beloklah motor kami menuju Pantai Trianggulasi. Pantai yang memiliki bangunan mirip pendopo dan pagar-pagar dari kayu ini tak ada pengunjungnya. Sepi. Kami kompak sekali saat mengatakan bahwa pantai ini adalah tempat sempurna untuk menyaksikan matahari tenggelam. Tapi kami harus meninggalkan Alas Purwo sebelum gelap. Demi manajemen waktu yang sudah disusun. Sekejap saja kami menikmati eloknya Pantai Trianggulasi dan beralih mengunjungi pura.

Pantai Trianggulasi

Pura pertama yang kami jumpai dari arah Pantai Pancur adalah Situs Kawitan. Terlihat seorang ibu paruh baya yang tengah menyapu ketika kami mendekati pura. Kami pun menyapa dan bertanya ini-itu sebelum masuk ke pura. Lantas berfoto-foto dan berpamitan kepada ibu yang nampaknya mengabdikan hidupnya untuk membersihkan dan merawat pura. Singkat saja kunjungan kami ke Situs Kawitan. 

Situs Kawitan

Sesingkat kunjungan kami ke Situs Kawitan, begitu pula saat mengunjungi Pura Luhur Giri Salaka. Pura ini lebih besar dibanding Situs Kawitan. Memiliki teras dengan patung-patung layaknya penjaga. Berbeda dengan Situs Kawitan yang hanya memiliki satu pintu masuk dari depan, pura ini memiliki tiga pintu dimana pintu yang tengah merupakan yang paling besar. Namun pintu itu tertutup ketika kami tiba. Hanya satu pintu sebelah kiri yang terbuka. Aku menaiki anak tangga perlahan demi mencapai pintu yang terbuka. Melongok hati-hati dan menjumpai dua orang lelaki tengah menyapu halaman dalam pura. Mereka memakai pakaian putih-putih yang mirip dengan pakaian adat Bali. Aku pun meminta ijin untuk masuk ke dalam pura. Diijinkan. Di bagian kiri dari pintu masuk pura terdapat bangunan semacam candi mini yang nampaknya merupakan pusat peribadatan. Dihiasi payung-payung mini. Di depan candi terhampar halaman yang cukup luas. Halaman ini tak seluruhnya tanah. Ada ornamen batu-batu semen yang disusun seperti setapak-setapak kecil. Dan di ujung kanan pura terdapat tiga buah pendopo dimana pendopo tengah lebih tinggi dibanding pendopo di kanan-kirinya. Aku tidak tau fungsi masing-masing bangunan di pura ini. Dan rasanya sungkan bila ingin bertanya-tanya pada kedua bapak yang sedang bekerja. Jadi ambil gambarnya sajalah. Setelah puas mengambil beberapa gambar, kami pun berpamitan pada kedua bapak tersebut dan melanjutkan perjalanan. 

tampak depan Pura Luhur Giri Salaka

tampak dalam Pura Luhur Giri Salaka


pelataran dan pendopo