Kami berjalan menembus dinginnya malam di Gunung Slamet.
Sejak dari Pos 1, track yang kami lalui terus dan terus menanjak. Sedikit
sekali kami temui ‘bonus’ alias tanah datar. Dengan bantuan sinar head-lamp
[dipinjami Mas Hono, senterku tidak terlalu terang sih :p], aku berjalan di
depan menyusuri jalan setapak di pekatnya malam. Mas Arifin berjalan di
belakangku. Sesekali kami berhenti untuk istirahat. Atau sekedar menandai pohon
yang kami lewati. Ini kami lakukan untuk berjaga-jaga saja. Menghindari resiko
tersesat. Mengingat reputasi Gunung Slamet yang ‘katanya’ sering membuat banyak
pendaki tersesat. Lega rasanya ketika menjumpai bendera kecil yang diikat di
ranting pohon di jalan yang kami lalui. Itu tandanya kami tidak tersesat :).
Kami tidak pernah berhenti terlalu lama. Malam semakin pekat dan dingin semakin
menyengat. Kami harus berlomba dengan waktu sekaligus berusaha me-manage energi kami sendiri. Dengan tujuan ingin
segera sampai agar tidak meninggalkan kawan di Pos 2 terlalu lama.
 |
jalur pos 2 menuju pos 3, diambil siang hari saat turun gunung |
1 jam berjalan akhirnya plakat kecil Pos 3 terlihat. Pondok
Cemara istilahnya. Alhamdulillah... Semangat kami menyala lagi. Berjalan lagi
untuk mencapai Pos 4. Rute yang kami lalui memang istimewa. Hanya ada tanjakan
yang sepertinya tiada henti. Beruntung tanah hutan yang kami pijak. Bukannya
pasir. Atau lebih tepatnya ‘belum’ pasir.
Kurang dari satu jam kami mencapai Pos 4. Pondok Samarantu.
Bisa dibilang kami sangat singkat mampir di pos ini. Aku dan Mas Arifin tidak
banyak berbincang. Hanya sekedar memastikan kami masih berada di posisi
masing-masing dan masih baik-baik saja :). Dan entah mengapa saat kami berhenti
dan berbincang, volume suara kami otomatis mengecil :p. Sepanjang perjalanan
dari Pos 4 ke Pos 5 kami menemukan aneka barang milik pendaki lain yang
nampaknya terjatuh. Mulai dari matras sampai charger ha-pe. Hihi..
Kamis, 17 Mei 2012
Jam 1 dini hari kami sampai di Pos 5. Salah satu dari 3 pos
Gunung Slamet yang memiliki Bedeng. Kami sudah lelah. Dan udara benar-benar
dingin malam itu. Kami putuskan istirahat di Pos 5. Semakin dekat dengan
bedeng, kami melihat beberapa orang bergelung dalam sleeping bag di bagian luar
bedeng. Kami pun mengumumkan barang temuan kami yang langsung disambut ceria
oleh mereka. Ternyata mereka si empunya matras. Ahaha..
Setelah ditelusur, beberapa orang yang kami temui pertama
kali itu tidur di luar Bedeng karena Bedeng bagian dalam sudah penuh oleh
pendaki yang juga memutuskan istirahat :D. Jadilah aku dan Mas Arifin hanya
kebagian daerah luar pojok Bedeng :( . Berseberangan pojok saja dengan si empunya
matras-jatuh. Aku pun menggelar sleeping bag. Mencoba memejamkan mata. Mas Arifin
tampak masih duduk-duduk. Ah biarlah. Aku harus istirahat walau sejenak,
pikirku. Tidur.
Jam 4 aku terbangun. Bukan karena suara kokok ayam pastinya
:p. Melainkan karena dinginnya udara. Brrr....dingiiiinnn... Padahal aku sudah
memakai 3 jaket. Tapi masih saja menggigil badan ini :o . Mas Arifin sudah
mulai membuat kopi. Niatnya mau makan-makan apalah gitu. Tapi mendadak saja
kami tercengang. Nampaknya kami terlalu buru-buru di Pos 2 tadi. Makanan yang
kami bawa benar-benar minim. Hanya ada satu bungkus sari roti yang sudah kempes
karena kegencet muatan lain dalam carrier dan oreo besar yang isinya tinggal
separuh. Selebihnya hanya coklat-coklat berukuran kecil. Tapi tak apalah. Kami
minum kopi panas dan beberapa potong oreo. Azan subuh memang tak terdengar.
Tapi kami memperkirakan sudah, jadi ya sholat saja :D.
Setelah mengemasi semua barang kami, kami pun berpamitan
dengan rombongan pojok sebelah [mereka padahal niatnya mau jalan jam 2 loh :p].
Melanjutkan perjalanan dalam cuaca sedingin itu membuat tangan dan kaki rasanya
kebas. Matahari belum lagi tampak. Fotosintesis belum terjadi. Jadi kami pun
harus berebut oksigen dengan semua tanaman yang ada disana *lebay*. Membuat
nafas kami tersengal *ini seriusan*. Harus beberapa kali berhenti untuk
mengkondisikan diri.
Melintasi Pos 6 yang dinamakan Pondok Syamyang Jampang.
Langit sudah mulai sedikit terang. Semburat-semburat merah mulai terlihat. Tapi
Mas Arifin melarangku terpana terlalu lama -,-. Lihat dari tempat yang lebih
atas, katanya. Iya, baiklah. Rimbunnya pepohonan di kanan-kiri kami membuat
pandangan sedikit terhalang. Semburat merah sudah mulai bercampur dengan warna
kuning. Menciptakan jingga yang sempurna. Langkah kaki pun dipercepat. Berharap
di depan sana ada tanah lapang dan tak terhalang pohon. Jadi kami bisa
memandang keajaiban di pagi hari ke-17 di bulan Mei :).
Alhamdulillah Bedeng Pos 7 nampak di depan mata. Di depan
Bedeng ada pelataran yang tak terhalang pepohonan. Matahari belum menampakkan
diri. Namun kami bersedia menanti. Dan akhirnya...kami, dua anak manusia, di
Pos 7 Gunung Slamet, menjadi saksi kemunculan pertama bola api raksasa pagi
itu. Begitu indah. Begitu sempurna. Subhanallah...
Pemandangan pagi itu sungguh luar biasa. Menatap keatas, kami
mendapati eksotisnya cakrawala pagi. Dengan gradasi warna langit yang begitu
sempurna dengan matahari sebagai fokus utama. Melirik ke bawah, gumpalan awan
putih seolah permadani terhampar luas. Pun tampak puncak-puncak gunung lain.
Entah itu gunung mana saja. Kami pun kalap. Pepotoan sembarangan. Hahaha.. Rasanya semua
ingin difoto. Ingin diabadikan. Semua sudut pagi itu begitu indah. Tak ingin
melewatkan sedikitpun semua elemen yang ada disana.
Tapi sekali lagi, kami harus memanfaatkan waktu dengan baik.
Dengan berat hati, kami meninggalkan pagi maha indah di Pos 7. Melanjutkan
perjalanan. Menghampiri Pos 8, Pos Pondok Syamyang Ketebon. Dengan pagi yang
semakin menghangat, kami melangkah mantap. Menelusur jalur yang terus menanjak.
Rasa-rasanya tanah datar menjadi semakin jarang saja.
 |
rute dari Pos 7 menuju Pos 8 |
Langit membiru. Matahari mulai meninggi. Terang. Jalan
setapak semakin jelas terlihat. Dan uap-uap udara yang keluar dari hidung dan
mulut menghilang :D. Tubuh kami menghangat. Pos 8 pun akhirnya kami lewati
sudah.
Bumi terus berputar. Waktu terus bergulir. Kami terus melangkah.
Pepohonan mulai jarang. Menyisakan sedikit pohon dengan batang yang kehitaman,
ranting yang tak berdaun. Gersang. Jalan setapak pun tak lagi hanya berupa
tanah. Kini sudah bercampur dengan pasir dan kerikil. Semakin keatas semakin
sedikit tanahnya. Menyisakan pasir dan kerikil sebagai komponen utama.
Sudah hampir masanya, pikirku. Masa dimana tantangan
terbesar menampakkan diri. Masa dimana semangat, kemauan, dan keyakinan akan
menjadi energi terbesar untuk melanjutkan pendakian.
Dan kemudian, Pos 9. Pos terakhir. Batas vegetasi Gunung
Slamet. Entah apa sebutan untuk pos ini. Plakat yang kami temukan sudah tidak
utuh lagi. Patah. Tak terbaca. Mungkin terkena angin kencang.
 |
tampak bayangan pohon terakhir di batas vegetasi |
Dan disinilah kami berdiri. Menginjak tanahnya, pasirnya. Merasai udaranya. Meresapi
hembusan angin gunung yang sejuk namun membakar.
Dan disinilah kami berdiri. Menatap jauh lurus ke depan.
Menatap gundukan berukuran raksasa dengan pasir dan kerikil sebagai komponen
utama.
Tak ada tanah hutan yang berwarna coklat gelap. Tak ada akar
pepohonan yang melintang. Tak ada ilalang yang dapat disentuh. Tak ada
pepohonan yang menaungi. Tak ada apa-apa. Hanya ada kami, langit, udara, pasir
dan batu. Itu saja.
Dan perjuangan terberat kami di Gunung Slamet pun dimulai...
bersambung 3428 mdpl
part 4 : dua gila menjejak puncak...