Jumat, 10 Agustus 2012

3428 mdpl part 3: dari Pos 2 hingga Pos 9


Kami berjalan menembus dinginnya malam di Gunung Slamet. Sejak dari Pos 1, track yang kami lalui terus dan terus menanjak. Sedikit sekali kami temui ‘bonus’ alias tanah datar. Dengan bantuan sinar head-lamp [dipinjami Mas Hono, senterku tidak terlalu terang sih :p], aku berjalan di depan menyusuri jalan setapak di pekatnya malam. Mas Arifin berjalan di belakangku. Sesekali kami berhenti untuk istirahat. Atau sekedar menandai pohon yang kami lewati. Ini kami lakukan untuk berjaga-jaga saja. Menghindari resiko tersesat. Mengingat reputasi Gunung Slamet yang ‘katanya’ sering membuat banyak pendaki tersesat. Lega rasanya ketika menjumpai bendera kecil yang diikat di ranting pohon di jalan yang kami lalui. Itu tandanya kami tidak tersesat :). Kami tidak pernah berhenti terlalu lama. Malam semakin pekat dan dingin semakin menyengat. Kami harus berlomba dengan waktu sekaligus berusaha me-manage energi kami sendiri. Dengan tujuan ingin segera sampai agar tidak meninggalkan kawan di Pos 2 terlalu lama.

jalur pos 2 menuju pos 3, diambil siang hari saat turun gunung

1 jam berjalan akhirnya plakat kecil Pos 3 terlihat. Pondok Cemara istilahnya. Alhamdulillah... Semangat kami menyala lagi. Berjalan lagi untuk mencapai Pos 4. Rute yang kami lalui memang istimewa. Hanya ada tanjakan yang sepertinya tiada henti. Beruntung tanah hutan yang kami pijak. Bukannya pasir. Atau lebih tepatnya ‘belum’ pasir.


Kurang dari satu jam kami mencapai Pos 4. Pondok Samarantu. Bisa dibilang kami sangat singkat mampir di pos ini. Aku dan Mas Arifin tidak banyak berbincang. Hanya sekedar memastikan kami masih berada di posisi masing-masing dan masih baik-baik saja :). Dan entah mengapa saat kami berhenti dan berbincang, volume suara kami otomatis mengecil :p. Sepanjang perjalanan dari Pos 4 ke Pos 5 kami menemukan aneka barang milik pendaki lain yang nampaknya terjatuh. Mulai dari matras sampai charger ha-pe. Hihi..



Kamis, 17 Mei 2012

Jam 1 dini hari kami sampai di Pos 5. Salah satu dari 3 pos Gunung Slamet yang memiliki Bedeng. Kami sudah lelah. Dan udara benar-benar dingin malam itu. Kami putuskan istirahat di Pos 5. Semakin dekat dengan bedeng, kami melihat beberapa orang bergelung dalam sleeping bag di bagian luar bedeng. Kami pun mengumumkan barang temuan kami yang langsung disambut ceria oleh mereka. Ternyata mereka si empunya matras. Ahaha..

Setelah ditelusur, beberapa orang yang kami temui pertama kali itu tidur di luar Bedeng karena Bedeng bagian dalam sudah penuh oleh pendaki yang juga memutuskan istirahat :D. Jadilah aku dan Mas Arifin hanya kebagian daerah luar pojok Bedeng :( . Berseberangan pojok saja dengan si empunya matras-jatuh. Aku pun menggelar sleeping bag. Mencoba memejamkan mata. Mas Arifin tampak masih duduk-duduk. Ah biarlah. Aku harus istirahat walau sejenak, pikirku. Tidur.

Jam 4 aku terbangun. Bukan karena suara kokok ayam pastinya :p. Melainkan karena dinginnya udara. Brrr....dingiiiinnn... Padahal aku sudah memakai 3 jaket. Tapi masih saja menggigil badan ini :o . Mas Arifin sudah mulai membuat kopi. Niatnya mau makan-makan apalah gitu. Tapi mendadak saja kami tercengang. Nampaknya kami terlalu buru-buru di Pos 2 tadi. Makanan yang kami bawa benar-benar minim. Hanya ada satu bungkus sari roti yang sudah kempes karena kegencet muatan lain dalam carrier dan oreo besar yang isinya tinggal separuh. Selebihnya hanya coklat-coklat berukuran kecil. Tapi tak apalah. Kami minum kopi panas dan beberapa potong oreo. Azan subuh memang tak terdengar. Tapi kami memperkirakan sudah, jadi ya sholat saja :D.

Setelah mengemasi semua barang kami, kami pun berpamitan dengan rombongan pojok sebelah [mereka padahal niatnya mau jalan jam 2 loh :p]. Melanjutkan perjalanan dalam cuaca sedingin itu membuat tangan dan kaki rasanya kebas. Matahari belum lagi tampak. Fotosintesis belum terjadi. Jadi kami pun harus berebut oksigen dengan semua tanaman yang ada disana *lebay*. Membuat nafas kami tersengal *ini seriusan*. Harus beberapa kali berhenti untuk mengkondisikan diri.

Melintasi Pos 6 yang dinamakan Pondok Syamyang Jampang. Langit sudah mulai sedikit terang. Semburat-semburat merah mulai terlihat. Tapi Mas Arifin melarangku terpana terlalu lama -,-. Lihat dari tempat yang lebih atas, katanya. Iya, baiklah. Rimbunnya pepohonan di kanan-kiri kami membuat pandangan sedikit terhalang. Semburat merah sudah mulai bercampur dengan warna kuning. Menciptakan jingga yang sempurna. Langkah kaki pun dipercepat. Berharap di depan sana ada tanah lapang dan tak terhalang pohon. Jadi kami bisa memandang keajaiban di pagi hari ke-17 di bulan Mei :).

Alhamdulillah Bedeng Pos 7 nampak di depan mata. Di depan Bedeng ada pelataran yang tak terhalang pepohonan. Matahari belum menampakkan diri. Namun kami bersedia menanti. Dan akhirnya...kami, dua anak manusia, di Pos 7 Gunung Slamet, menjadi saksi kemunculan pertama bola api raksasa pagi itu. Begitu indah. Begitu sempurna. Subhanallah... 


Pemandangan pagi itu sungguh luar biasa. Menatap keatas, kami mendapati eksotisnya cakrawala pagi. Dengan gradasi warna langit yang begitu sempurna dengan matahari sebagai fokus utama. Melirik ke bawah, gumpalan awan putih seolah permadani terhampar luas. Pun tampak puncak-puncak gunung lain. Entah itu gunung mana saja. Kami pun kalap. Pepotoan sembarangan. Hahaha.. Rasanya semua ingin difoto. Ingin diabadikan. Semua sudut pagi itu begitu indah. Tak ingin melewatkan sedikitpun semua elemen yang ada disana.











Tapi sekali lagi, kami harus memanfaatkan waktu dengan baik. Dengan berat hati, kami meninggalkan pagi maha indah di Pos 7. Melanjutkan perjalanan. Menghampiri Pos 8, Pos Pondok Syamyang Ketebon. Dengan pagi yang semakin menghangat, kami melangkah mantap. Menelusur jalur yang terus menanjak. Rasa-rasanya tanah datar menjadi semakin jarang saja.

rute dari Pos 7 menuju Pos 8

Langit membiru. Matahari mulai meninggi. Terang. Jalan setapak semakin jelas terlihat. Dan uap-uap udara yang keluar dari hidung dan mulut menghilang :D. Tubuh kami menghangat. Pos 8 pun akhirnya kami lewati sudah.


 Bumi terus berputar. Waktu terus bergulir. Kami terus melangkah. Pepohonan mulai jarang. Menyisakan sedikit pohon dengan batang yang kehitaman, ranting yang tak berdaun. Gersang. Jalan setapak pun tak lagi hanya berupa tanah. Kini sudah bercampur dengan pasir dan kerikil. Semakin keatas semakin sedikit tanahnya. Menyisakan pasir dan kerikil sebagai komponen utama.





Sudah hampir masanya, pikirku. Masa dimana tantangan terbesar menampakkan diri. Masa dimana semangat, kemauan, dan keyakinan akan menjadi energi terbesar untuk melanjutkan pendakian.

Dan kemudian, Pos 9. Pos terakhir. Batas vegetasi Gunung Slamet. Entah apa sebutan untuk pos ini. Plakat yang kami temukan sudah tidak utuh lagi. Patah. Tak terbaca. Mungkin terkena angin kencang.

tampak bayangan pohon terakhir di batas vegetasi

Dan disinilah kami berdiri. Menginjak tanahnya, pasirnya. Merasai udaranya. Meresapi hembusan angin gunung yang sejuk namun membakar.

Dan disinilah kami berdiri. Menatap jauh lurus ke depan. Menatap gundukan berukuran raksasa dengan pasir dan kerikil sebagai komponen utama.

Tak ada tanah hutan yang berwarna coklat gelap. Tak ada akar pepohonan yang melintang. Tak ada ilalang yang dapat disentuh. Tak ada pepohonan yang menaungi. Tak ada apa-apa. Hanya ada kami, langit, udara, pasir dan batu. Itu saja.

Dan perjuangan terberat kami di Gunung Slamet pun dimulai...

bersambung 3428 mdpl part 4 : dua gila menjejak puncak...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar