Rabu, 01 Januari 2025

Educated



"Aku lebih menyukai keluarga yang telah kupilih, daripada keluarga yang telah diberikan padaku..."
- halaman 422 -

Dadaku terasa sesak mau meledak alih-alih menangis saat membaca buku ini. Sebuah memoar Tara Westover yang luar biasa. Tara membawa pembaca ke dunianya, ke dunia yang tersembunyi, yang keberadaannya tidak kusangka masih ada.

Tara Westover lahir dan tumbuh di Buck's Peak, pegunungan Idaho. Jauh dari masyarakat kebanyakan sehingga tidak ada yang tahu apakah anak-anak Westover pergi ke sekolah atau tidak. Dan bahkan saat salah seorang kakak laki-laki Tara melakukan kekerasan, tidak ada yang benar-benar turun tangan. Seolah itu sesuatu yang normal terjadi. Ketika kakak laki-lakinya yang lain masuk ke perguruan tinggi, Tara pun ingin mencoba kehidupan baru. Perjalanan pencariannya akan pengetahuan mengubah Tara. Membawanya jauh sampai ke universitas-universitas terbaik di dunia, Harvard dan Cambridge. Juga membawanya pada banyak hal yang ternyata bertentangan dengan apa yang selama ini ia yakini sebagai kebenaran. Apakah kelak keluarga Westover akan menerima Tara kembali dengan segala perubahannya? Atau sudah tidak ada lagi jalan untuk kembali pulang?

Tara kecil tidak pernah pergi sekolah. Sesekali ibunya mengajari membaca dan berhitung. Selebihnya Tara menghabiskan waktu membantu orang tuanya bekerja, memilah rongsokan bersama ayah dan kakaknya juga meracik ramuan bersama ibunya. Usianya tujuh belas ketika pertama kali masuk ruang kelas. Karena tidak pernah bersekolah formal sebelumnya, Tara berjuang begitu keras agar tidak ketinggalan. Dan meski harus dijauhi teman-temannya karena kebiasaannya yang tidak seperti kebanyakan orang, Tara berhasil bertahan dan beradaptasi. Otaknya yang cemerlang tidak lagi mampu disembunyikan dari diri Tara yang kikuk. Dia pun melesat jauh, mengambil kesempatan-kesempatan yang mungkin diperolehnya. Meski dia harus membayar itu semua dengan makin "jauhnya" dia dengan keluarganya.

Dalam perjalanannya, Tara menemukan bahwa yang selama ini ayahnya katakan tidak selalu benar. Tumbuh dalam keluarga patriarki, Tara harus menerima bahwa ayahnya selalu benar. Bahkan bila seluruh dunia berkata ayahnya salah, Tara dan saudara-saudaranya harus meyakini bahwa ayahnyalah yang benar. Ada sebuah bagian menyedihkan dimana Tara bahkan sampai meragukan dirinya sendiri, ingatannya, juga apa yang diyakininya benar. Dia hampir yakin bahwa dirinya salah. Aku tidak bisa membayangkan betapa sulitnya bagi Tara untuk menerima itu semua. Pendidikan membuat Tara menemukan banyak hal yang tidak diketahuinya dan juga yang selama ini disalahpahami olehnya. Tapi mendapatkan pengetahuan itu juga membuatnya merasa telah mengkhianati keluarganya.

Sesat. Bahkan ayahnya mengatakan Tara telah tersesat. Tidak sampai di situ saja, ketika Tara berusaha menolong keluarga itu dan mengungkap tentang kekerasan yang dilakukan salah satu kakak laki-lakinya, dia dikhianati oleh keluarganya sendiri. Oleh kakak perempuannya. Juga oleh ibunya. Jujur di bagian itu, rasanya sesak sekali. Aku seperti ingin melompat dan menyeret Tara keluar dari keluarga itu. Aku ingin berkata padanya untuk menyudahi itu semua. 

"Ketika hidup itu sendiri tampak gila, siapa yang tahu di mana letak kegilaan itu?"
- halaman 451 -

Aku tahu, bahkan ketika keluargamu sendiri memperlakukanmu begitu buruk, kamu tidak bisa serta merta melepaskan diri. Sekalipun rasanya kamu mampu. Lebih nyaman untuk merasa diterima, dibanding harus merasa berbeda dan berjuang sendirian. Sekalipun apa yang diperjuangkan itu kebenaran. Kita seringkali tidak sadar telah sangat jauh memberikan diri kita sendiri kepada orang-orang yang kita cintai.

Kupikir, Tara Westover menulis memoar 500 halaman ini dengan sangat baik. Tara dengan berani membawa kisahnya yang tak biasa dan menuliskannya dengan indah. Meski aku yakin, banyak hal menyakitkan yang harus dia ingat kembali.  Setelah membaca memoar ini, aku tidak berharap apapun selain kebaikan dan kebahagiaan untuk Tara. Dia pantas mendapatkan itu.

Omah Petroek, Rumah Budaya dengan Seribu Patung

Hujan turun hampir setiap hari. Pada musim seperti ini suara hujan yang berpadu dengan aroma petrikor seringkali membawa pikiran ke tempat yang lain, di waktu yang telah lalu. Kali ini aku teringat sebuah perjalanan ketika mengunjungi Omah Petroek bersama suami. Saat itu bulan September dan udara terasa begitu panas. Mengunjungi tempat yang lebih tinggi dengan hawa yang lebih dingin terdengar seperti ide yang bagus. 

1 September 2024

Kaget gak?

Omah Petroek adalah rumah budaya yang berada di kawasan Kaliurang, tepatnya di Hargobinangun, Pakem, Sleman. Didirikan di bawah naungan Yayasan Basis, sebuah yayasan di bidang majalah kebudayaan, Omah Petroek dikelola oleh Romo Sindhunata, seorang Romo yang sekaligus budayawan dan juga penulis. Pada mulanya, Omah Petroek digunakan oleh Romo Sindhunata sebagai tempat menyepi dan mencari inspirasi. Seiring berjalannya waktu dengan dukungan dari berbagai pihak, Omah Petroek berkembang semakin luas dengan fasilitas yang lebih baik dan beragam. Ada galeri seni, museum, area menginap yang disewakan, taman, toko buku dan juga kedai kopi.


Nama Omah Petroek diambil dari tokoh pewayangan Jawa, Petruk. Petruk dalam pewayangan Jawa adalah sosok yang sederhana, jenaka, cerdas, pendengar yang setia juga kawan yang baik. Sepertinya itu juga yang mendasari Romo Sindhunata membuat slogan "Kita Berteman Sudah Lama" di Omah Petroek, untuk meneladani sosok Petruk.


Dengan membayar tiket seharga Rp 20.000 per orang (kami berkunjung di akhir pekan), kami sudah bisa bebas mengunjungi seluruh area di Omah Petroek. Begitu melewati pos tiket, kami disambut oleh patung Bung Karno yang menjulang. 

Patung Bung Karno


Dikelilingi banyak patung lain di sana sini, tidak berlebihan rasanya kalau Omah Petroek mendapat julukan sebagai tempat seribu patung. Kami berkeliling ke museum, galeri seni, taman dan area outdoor, area penginapan, toko buku dan berakhir di kedai kopi yang bernama Kopi Petroek Nusantara. 



Di museum kita akan disuguhi banyak benda dari masa lalu terutama yang berhubungan dengan majalah Basis dan Romo Sindhunata. Di galeri seni kita akan menjumpai karya seni seperti patung, lukisan, seni instalasi juga bermacam karya seni lainnya dari banyak seniman. 

Museum Anak Bajang






Di taman dan area outdoor terdapat banyak sekali patung, kolam, dan juga miniatur bangunan peribadatan lintas agama seperti langgar (mushola), kapel, klenteng, dan juga candi. 

Mbok Turah


Langgar/mushola dengan patung Gus Dur

Kapel

Klenteng


Candi

Karya favoritku di Omah Petroek adalah patung sekumpulan lelaki paruh baya berpakaian adat jawa yang sedang berkumpul dalam sebuah acara tumpengan. Kesan yang ditimbulkan saat melihat patung-patung itu rasanya kompleks sekali. Perpaduan antara unik, tradisional, hangat sekaligus mistis.




Menikmati banyak karya seni dengan suasana yang teduh dan sejuk dikelilingi hijaunya pepohonan menghadirkan perasaan damai dan tentram. Beruntung saat kami berkunjung tidak terlalu ramai, sehingga kami bisa menikmati suasana Omah Petroek dengan tenang. Setelah mengelilingi seluruh area di Omah Petroek, tur kami akhiri dengan menikmati sajian di Kopi Petroek Nusantara. Kopi Petroek Nusantara adalah kedai di kawasan Omah Petroek yang menyajikan beraneka hidangan dan kopi dari beragam biji kopi khas Nusantara. Kedai ini dapat dikunjungi tanpa harus masuk ke museum/galeri Omah Petroek. Sambil menunggu pesanan makanan siap, aku masuk dan melihat-lihat toko buku yang berada persis di sebelah kedai.

Penginapan



Setelah cukup lelah berkeliling Omah Petroek, perut pun terasa lapar. Melahap sajian Kopi Petroek Nusantara rasanya jadi nikmat sekali. Usai menandaskan makanan yang dipesan, kami bersantai sejenak sebelum pulang. Kunjungan ke Omah Petroek kami kali ini menjadi perjalanan yang menyenangkan dan kupikir bisa dijadikan alternatif destinasi yang menarik untuk dikunjungi di Jogja. Terima kasih sudah membaca sampai selesai dan sampai jumpa lagi di perjalanan kami berikutnya.

Sampai jumpa lagi