Kukira musim telah tak beraturan
sekarang. Tak tahu benar musim apa kali ini. Tapi hujan tak hendak reda kurasa.
Dan pada akhirnya seperti yang sudah-sudah setiap hujan turun, terkenang juga aku padamu. Pada hari dimana kali pertama kau
berkunjung ke rumahku.
***
“Kujerangkan air sebentar, kau
mau kubuatkan minum apa?” tanyaku begitu kau sampai rumahku. Alih-alih menjawab
pertanyaan, lekat kau pandangi aku. Salah tingkah aku dibuatmu.
“Sini, duduk sebelahku,” kau
menepuk kursi di sebelah tempatmu duduk.
“Tapi aku jerang air dulu.”
“Nanti saja. Duduk dulu disini.”
“Ada apa?” tanyaku setelah duduk
tepat di sebelahmu.
Kurasa pelukan adalah pengganti
kalimat jawaban dari pertanyaanku. Lalu kau genggam erat pula tanganku setelah
itu. Lagi, kau pandangi aku dengan lekat.
“Maafkan. Kau harus tanggungkan
semuanya sendirian selama ini,” katamu seolah akan menangis. Seolah segala yang
terjadi adalah kesalahanmu.
“Tak apa. Itu sebab aku memilihmu
dari yang lain-lain. Sebab percaya bahwa kau akan bahagiakanku,” jawabku
tersenyum.
Kau peluk lagi aku. Kumaknakan
sendiri pula pelukanmu, bahwa kau setuju untuk bahagiakan aku setelah
segala-gala yang kutanggungkan seorang diri di dunia ini. Lalu kau usapi
pipiku, lekat kau tatap mataku. Kurasai diri menjadi begitu berarti buatmu. Bahagia.
“Boleh sekarang aku jerang air
untuk membuatkanmu minuman?”
“Hahaha..,” kau tertawa. Mengangguk.
Kau tahu, waktu itu fikirku
bahagia adalah kita. Tak kurasai beban barang sedikit. Percaya aku padamu. Tak ada
prasangka bahwa luka dan perih akan jumpai kita di kemudian hari.
***
Sekuat apa aku bertahan menahan
tangis bila terkenang akan engkau sekarang? Kau tahu, lelah benar aku wujudkan
bahagia di depan orang-orang. Sandiwara segalanya. Boleh kau pilih aku sebagai
pemeran sandiwara terbaik untuk peran berpura-pura bahagia. Hingga tak ingat
benar aku yang mana yang berpura-pura dan yang mana yang sesungguhnya. Tapi aku
ingat hari terakhir kau di rumahku.
***
“Maafkan untuk segala salahku
padamu. Aku rindu,” katamu.
Pun aku. Tapi apa mampu
kukatakan? Tak ada. Tangis saja yang keluar.
“Maafkan tak mampu bahagiakanmu,”
katamu lagi.
Kenapa baru sekarang kau datang?
“Kau hiduplah berbahagia.”
Apa kau kata? Tak mengertikah
bahwa pernah kutitipkan segala cita-cita bahagia itu padamu? Kuharapkan segala
hal yang indah-indah bersamamu. Hanya tak kukatakan. Aku perempuan.
***
Sesal? Terlambat? Salah pengertian?
Tak inginkan segala hal itu ada pada kita. Bahwa keseluruhan yang terjadi
adalah kesalahan aku dan kau. Tapi, tak ada hal buruk yang ingin aku kenangkan
darimu. Aku ingin mengingatmu sederhana saja. Aku ingin mengingatmu bahagia
saja. Karena pernah, suatu waktu di masa lalu, kau ingin bahagiakanku, pun aku
ingin kau bahagia denganku. Karena pernah, suatu waktu di masa lalu, kita
berbahagia.
[sengaja mencoba gaya menulis lain dari yang biasa saya tulis. maafkan bila banyak kurang ^.^v]