Jumat, 11 April 2014

kembar



Mereka bilang kami kembar. Kurasa tidak. Rambutnya hitam berkilau. Seperti ibu. Rambutku coklat. Tidak seperti ayah ataupun ibu. 

Mereka bilang kami kembar. Kurasa tidak. Matanya hitam cemerlang. Seperti ayah. Mataku coklat. 

Mereka bilang kami kembar. Tapi kurasa tidak. Perangainya lembut sekali. Gemar memasak dan menanam bunga. Seperti ibu. Aku menyukai olahraga. Tinju.

Mereka bilang kami serupa benar. Sama-sama pendiam. Kurasa tidak. Tidak sama sekali. Dia sering bicara. Cerewet sekali. Dia sering bicara pada malam, pada bintang, pada hujan. Aku tidak.

Mereka bilang kami kembar. Kurasa tidak. Dia suka menatap pelangi setelah hujan. Aku suka melihat kecoa gepeng di bawah sandalku.

Mereka bilang kami kembar. Tidak. Sungguh tidak. Dia begitu girang ketika melihat gaun-gaun yang dibelikan ibu untuk kami. Dan aku selalu senang menemani ayah membeli alat pertukangan. Palu, paku, gergaji.

Mereka bilang kami kembar. Kenapa sih mereka harus selalu mengatakan hal yang sama berulang-ulang? Dia selalu membayangkan pangeran tampan berkuda putih. Dan aku selalu membayangkan bagaimana sosok malaikat pencabut nyawa.

Mereka bilang kami kembar. Dan aku mulai muak. Karena kurasa tidak. Tidak.

Mereka bilang akhir-akhir ini tingkah kami serupa sekali. Benarkah? Dia menjadi seperti aku? Atau aku menjadi seperti dia?

Mereka bilang kami kembar. Aku benar-benar kesal dibuatnya. Tidak. Tidak. Tidak.

Suatu malam kudatangi dia yang sedang menatap bintang di beranda kamar tidur kami. Dia tersenyum. Aku tidak. Dia mulai bicara. Aku diam saja. Dia bercerita. Aku mulai kesal. Dia bersenandung. Aku benar-benar geram. Dia memeluk lenganku, menyandarkan kepala di pundakku. Rambutnya mengenai wajahku. Wangi sekali. Aku muak. Lalu kosong. Hitam. Mendadak segalanya berhenti. Tak ada beranda kamar. Tak ada bintang-bintang. Tak ada dia. Kosong. Kosong. Kosong. Hitam. Hitam. Hitam.

Teriakan ibu membawaku kembali. Pada beranda kamar. Pada bintang-bintang. Pada dia. Dia. Dia tergeletak bersimbah darah. Rambutnya yang coklat kusam berantakan sekali. Matanya yang coklat menatapku kosong. Kosong. Tak bernyawa. Mati.

Mereka bilang kami kembar. Dan ya, kami kembar. Kami kembar.